Liputan6.com, Jakarta Penyesuaian diri bagi anak tunanetra di lingkungan baru seperti sekolah dapat menjadi tantangan tersendiri. Dua kemungkinan yang bisa didapat adalah keberhasilan atau kegagalan dalam menyesuaikan diri.
Menurut peneliti Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, Ginanjar Rohmat, selain penyesuaian diri positif, penyesuaian diri anak tunanetra juga dapat menjadi negatif bila anak tunanetra tersebut mengalami kegagalan dalam melakukan penyesuaian diri.
Advertisement
Ia mengutip buku M. Nur Ghufron & Rini Risnawita S (2014: 52) yang mengemukakan bahwa seseorang dikatakan tidak mampu menyesuaikan diri bila di dalam dirinya berkembang kesedihan, kekecewaan, atau keputusasaan dan memengaruhi fungsi fisiologis dan psikologisnya.
“Menurut Enung Fatimah (2006: 197), penyesuaian diri yang negatif ditandai dengan sikap dan tingkah laku yang serba salah, tidak terarah, emosional, sikap yang tidak realistik, dan membabi buta,” tulis Ginanjar dikutip pada Selasa (22/9/2020).
Secara garis besar, bentuk-bentuk reaksi dalam penyesuaian diri anak tunanetra yang negatif dapat digolongkan menjadi tiga kelompok. Enung Fatimah (2006: 197-198) menyatakan bahwa bentuk-bentuk reaksi dalam penyesuaian diri anak tunanetra yang negatif di sekolah adalah reaksi bertahan, reaksi menyerang, dan reaksi melarikan diri.
Simak Video Berikut Ini:
Reaksi Bertahan
Enung Fatimah (2006: 197-198) mengemukakan bahwa reaksi bertahan seseorang yang tidak mampu menyesuaikan diri ditunjukkan dengan sikap seolah-olah tidak sedang mengalami kesulitan atau kegagalan.
Bentuk-bentuk khusus dari reaksi bertahan adalah mencari-cari alasan yang masuk akal untuk membenarkan tindakan yang salah (Rasionalisasi), menekan perasaan /pengalaman yang kurang menyenangkan atau menyakitkan ke alam tidak sadar (Represi), mencari alasan yang dapat diterima dengan menyalahkan pihak lain atas kegagalannya (Proyeksi), dan memutarbalikkan fakta atau kenyataan (“sour grapes” atau anggur kecut).
Advertisement
Reaksi Menyerang
Seseorang menunjukkan sikap dan perilaku yang bersifat menyerang (konfrontasi) untuk menutupi kekurangan atau kegagalan yang dialaminya dalam menyesuaikan diri.
“Bentuk-bentuk khusus dari reaksi menyerang adalah selalu membenarkan diri sendiri, selalu ingin berkuasa dalam setiap situasi, merasa senang bila menganggu orang lain, suka menggertak, menunjukkan sikap permusuhan secara terbuka, bersikap menyerang dan merusak, keras kepala dalam sikap dan perbuatannya, suka bersikap balas dendam, memerkosa hak orang lain, serta tindakannya suka serampangan (Enung Fatimah, 2006: 198).”
Reaksi Melarikan Diri
Reaksi lain yang dapat ditunjukkan oleh seseorang yang mengalami kegagalan dalam menyesuaikan diri adalah reaksi melarikan diri.
Menurut Enung Fatimah (2006: 198), dalam reaksi ini, individu akan melarikan diri dari situasi yang menimbulkan konflik atau kegagalannya. Bentuk-bentuk dari reaksi melarikan diri adalah suka berangan-angan atau berfantasi untuk memuaskan keinginan yang tidak tercapai (seolah-olah sudah tercapai), banyak tidur atau melakukan hal-hal negatif (suka minum minuman keras, menjadi pecandu narkoba, hingga bunuh diri), dan kembali pada tingkah laku kekanak-kanakan (Regresi).
Advertisement
Pada Anak Tunanetra
Mengacu pada pendapat-pendapat tersebut, seorang anak tunanetra dikatakan memiliki penyesuaian diri yang negatif bila:
(a) Menunjukkan adanya ketegangan emosional yang berlebihan, seperti menunjukkan sikap dan tingkah laku yang serba salah.
(b) Menunjukkan adanya mekanisme pertahanan yang salah, seperti menunjukkan sikap yang penuh emosional.
(c) Menunjukkan adanya frustasi, seperti berkembangnya kesedihan, kekecewaan, dan keputusasaan di dalam dirinya.
(d) Tidak memiliki pertimbangan yang rasional dalam pengarahan diri, sehingga sikap dan tingkah lakunya tidak terarah.
(e) Tidak mampu belajar dari pengalaman.
(f) Bersikap tidak realistik dan tidak objektif.
(g) Tidak merasa puas dalam usaha yang dilakukannya untuk memenuhi kebutuhannya.
(h) Menghadapi berbagai konflik.
Infografis Disabilitas
Advertisement