Liputan6.com, Jakarta - Untuk pertama kalinya, Mahkamah Agung Jepang memutuskan bahwa menato orang tanpa izin medis bukanlah tindakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Praktisi Medis. Konsekuensinya, para seniman tato Jepang kini dapat beroperasi secara legal tanpa lisensi medis.
Melansir Japan Times (22/9/2020), kemenangan komunitas tato ini diraih setelah Mahkamah Agung Jepang pada Rabu, 16 September 2020, menolak banding jaksa penuntut umum atas gugatan terhadap Taiki Masuda, seorang pria berusia 32 tahun yang telah memberi jasa tato kepada tiga orang dan dijatuhi denda 150 ribu yen, atau sekitar Rp21 juta.
Jaksa penuntut sebelumnya berpendapat bahwa menato orang dapat dianggap sebagai tindakan medis. Karena itu, penato harus memiliki izin medis, sedangkan Masuda kala itu tidak mengantongi izin medis.
Baca Juga
Advertisement
Merespons argumen tersebut, Makamah Agung Jepang mendefinisikan tindakan medis sebagai "Tindakan yang dianggap perawatan medis atau panduan kesehatan yang dapat menyebabkan kerusakan higienitas jika tidak dilakukan oleh dokter".
Lalu, dilanjutkan dengan pernyataan, "Tato membutuhkan keterampilan artistik yang berbeda dari kedokteran, dan tidak dapat diasumsikan bahwa dokter melakukan tindakan tersebut secara eksklusif." Pernyataan ini menyimpulkan bahwa praktik tersebut bukanlah bagian dari tindakan medis sehingga tidak memerlukan lisensi medis resmi.
Dalam pendapat yang sama, Ketua Umum Mahkamah Agung Jepang, Koichi Kusano mengatakan bahwa undang-undang baru harus dibuat jika diperlukan. Hal ini untuk menentukan batasan hukum yang jelas untuk mencegah risiko dari prosedur penatoan.
Dalam ringkasan dakwaan, Masuda didakwa karena menato tiga pelanggan wanita di sebuah studio di Kota Suita, Prefektur Osaka, Jepang barat. Tercatat layanan tersebut diberikan antara Juli 2014 dan Maret 2015 dalam kondisi tanpa izin medis.
Pengadilan Distrik Osaka kemudian memutuskan pria itu bersalah pada September 2017, dengan mengatakan bahwa tato menimbulkan bahaya yang menyebabkan gangguan kulit, serta pernyataan bahwa tato adalah bagian dari tindakan medis. Memperbaiki putusan sebelumnya, Pengadilan Tinggi Osaka mengatakan bahwa tato memiliki fitur dekoratif dan artistik, dan bukan untuk tujuan medis pada November 2018.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Perjuangan Seniman Tato Jepang
Meskipun sejak awal tato bukanlah tindak ilegal di Jepang, banyak stigma budaya yang melekat sehingga menempatkannya pada posisi abu-abu. Mengutip laman CNN (22/9/2020), tato di Jepang telah lama dianggap berhubungan erat dengan Yakuza, geng kejahatan terorganisir yang berjanji setia dengan tanda (tato) di seluruh tubuh. Akibatnya, siapa pun yang memiliki tato, apa pun profesinya, biasanya tidak dapat mengakses kolam renang umum, mata air panas, pantai, dan bahkan beberapa tempat gym.
Permasalahan terkait tato ini kembali menjadi konflik besar saat Masuda didakwa melanggar Undang-Undang Praktisi Medis. Hal itu mendorong gerakan para seniman tato yang mengklaim bahwa karya mereka adalah bentuk ekspresi diri dan karenanya harus dilindungi oleh konstitusi Jepang.
"Menjadi seorang dokter membutuhkan banyak waktu dan uang. Konyol jika Anda berpikir bahwa Anda akan mendapatkan lisensi medis untuk menjadi seniman tato," kata Masuda yang juga ikut mendirikan sebuah LSM bernama Save Tattoing in Japan, lapor CNN.
LSM itu mengatakan sekarang berafiliasi dengan sekitar 200 seniman tato, dan mengampanyekan hak mereka untuk mempraktikkan keahlian mereka dan kebebasan memilih terkait seni tubuh. Putusan Mahkamah Agung tentang status Masuda yang tidak bersalah menjadi titik terang bagi para seniman tato di Jepang selama lima tahun terakhir berjuang untuk keadilan.
”Tuntutan percobaan tentang praktik tato yang telah berusia 5 tahun ini akhirnya dipastikan tidak bersalah. Terima kasih banyak untuk kalian semua yang telah bersedia mendukung Masuda dan seni tato sejak lama,” tulis akun Instagram @save.tattooing.in.japan, Sabtu (19/9/2020).
”Di kemudian hari, kami harap industri tato di Jepang dapat berkembang dan lebih aktif lagi tampil di muka dunia.” (Brigitta Valencia Bellion)
Advertisement