Liputan6.com, Pekanbaru - Masyarakat dan petinggi pemerintahan Provinsi Riau begitu akrab dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Sejak lembaga anti rasuah itu dibentuk, sudah puluhan pejabat di Bumi Lancang Kuning berurusan dengan penyidik.
Mulai dari anggota DPRD, kepala dinas, karyawan swasta, bupati hingga gubernur, pernah terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK. Bahkan, KPK hattrick karena tiga kali berturut-turut menahan tiga Gubernur Riau.
Baca Juga
Advertisement
Mulai dari Gubernur Saleh Yazid, lanjut ke gubernur dua periode, Rusli Zainal. Berikutnya suksesor Rusli dari Partai Golkar, Annas Maamun, yang sebelumnya dua periode menjabat Bupati Rokan Hilir.
Untuk Saleh dan Rusli, KPK menahan berdasarkan pengembangan dari tersangka lainnya. Sementara, Annas mengalami nasib sial begitu berada di rumah pribadinya di Cibubur.
Saleh Djasid sudah lama bebas karena terjerat pengadaan alat pemadam kebakaran. Sedangkan, Rusli yang dijuluki kolega separtainya sebagai bapak pembangunan Riau masih menjalani hukuman di Lapas Pekanbaru.
Sementara Annas Maamun cukup beruntung setelah mendapat grasi dari Presiden Joko Widodo. Hukuman 7 tahun dalam suap alih fungsi hutan Riau dikurangi sehingga Annas kini sudah dinyatakan bebas.
Akibat hattrick ini, Riau sempat masuk lima daerah supervisi KPK. Penerus Annas, yaitu Arsyadjuliandi Rachman dan Syamsuar lebih berhati-hati menjalankan roda pemerintahan meskipun terpaan isu korupsi selalu disematkan pihak lain.
Berikut kasus korupsi yang menyerat tiga gubernur tersebut:
Simak video pilihan berikut ini:
1. Saleh Yazid
Gubernur Riau pertama berurusan dengan KPK adalah Saleh Yazid. Gubernur periode 1999-2003 itu ditahan KPK karena terlibat kasus alat pemadam kebakaran (damkar) senilai Rp15,2 miliar.
Dalam kasus itu, Saleh divonis 4 tahun dan denda sebesar Rp200 juta, subsider 6 bulan penjara.
Pria kelahiran Pujud, 13 November 1943 itu terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 KUHP.
Majelis hakim menyatakan Saleh terbukti melakukan tindak pidana korupsi yang bertujuan untuk menguntungkan pihak lain, yaitu PT Istana Saranaraya dan sejumlah orang.
Dalam kasus ini, Saleh merasa tidak bersalah. Hal ini menjadi pertimbangan memberatkan hakim sebelum memvonis mantan Bupati Kampar itu.
Advertisement
2. Rusli Zainal
Sesudah Saleh, Gubernur Riau 2 periode (2003-2008 dan 2008-2013) Rusli Zainal juga berurusan dengan KPK. Ia tersangkut dugaan korupsi PON dan izin kehutanan di Kabupaten Pelalawan, Riau.
Dalam kasus ini, Rusli divonis 14 tahun penjara di Pengadilan Tipikor Pekanbaru. Sewaktu banding ke Pengadilan Tinggi Pekanbaru, hukumannya dikurangi 2 tahun.
Rusli dinilai secara sah dan meyakinkan oleh majelis hakim melanggar 3 dakwaan KPK. Dalam kasus kehutanan, Rusli dinilai terbukti melanggar Pasal 2 ayat 2 juncto Pasal 18 UU Nomor 31/1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP juncto Pasal 56 ayat 1 KUHP.
Rusli diinilai melanggar hukum karena mengesahkan Rencana Kerja Tahunan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (RKT-IUPHHKHT) terhadap belasan perusaan kayu di Pelalawan. Pengesahan itu menyebabkan penebangan hutan alam dan merugikan negara senilai Rp265 miliar.
Dalam kasus suap PON, Rusli Zainal dinilai terbukti melanggar Pasal 12 huruf a UU Nomor 31/1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Rusli juga terbukti melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Nomor 31/1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Menurut hakim saat itu, Bachtiar, Rusli terbukti memerintah pemberian suap ke anggota pansus Lapangan Menembak PON Riau senilai Rp900 juta. Ia juga dinilai memerintahkan suap Rp9 miliar ke Kahar Muzakkir dan Setya Novanto, anggota DPR RI.
Perintah penyuapan itu dipercayakan Rusli ke mantan Kadispora Riau Lukman Abbas.
Terakhir, Rusli dinilai terbukti menerima uang Rp500 juta dari PT Adhi Karya, sebagai pemulus penambahan anggaran PON dari pusat senilai Rp290 miliar.
3. Annas Maamun
Berakhirnya masa jabatan Rusli Zainal dan diselenggarakannya Pilkada sempat membuat harapan terpilihnya pemimpin baru yang bebas korupsi. Annas Maamun kemudian terpilih setelah melepas jabatannya sebagai Bupati Rokan Hilir.
Hanya saja setelah beberapa bulan dilantik, Annas, ditangkap KPK di kawasan Cibubur karena menerima sejumlah uang dari pengusaha terkait alih fungsi lahan.
Kasus ini kemudian mengungkap korupsi lainnya yang dilakukan pria dipanggil Atuk itu.
Adalah Riki Hariansyah, anggota DPRD Riau 2009-2014 datang ke KPK dan menceritakan sejumlah rekannya di dewan telah menerima janji Rp1,2 miliar dari Annas untuk membahas RAPBD-Perubahan 2014 dan RAPBD murni 2015.
Untuk kasus ini, Annas belum pernah menjalani sidang. Kondisi fisik yang hampir 80 tahun membuatnya tak bisa dipindahkan ke Lapas di Riau karena selalu jatuh sakit ketika mendengar akan dibawa ke Pekanbaru.
Kasus Annas terungkap saat KPK melakukan operasi tangkap tangan pada 25 September 2014 di Cibubur, Jakarta Timur bersama 9 orang lainnya. Dalam kasus suap alih fungsi hutan 140 hektare di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, KPK menyebut Annas menerima Rp2 miliar.
Dalam persidangan, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung memvonis Annas hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan. Ditingkat kasasi, hukuman Annas menjadi 7 tahun.
Majelis hakim menyatakan Annas terbukti menerima suap sebesar US$ 166,100 dari Gulat Medali Emas Manurung dan Edison Marudut.
Gulat dan Edison meminta area kebun sawit di Kabupaten Kuantan Sengingi seluas 1.188 hektare, Bagan Sinembah di Kabupaten Rokan Hilir seluas 1.124 hektare, serta Duri Kabupaten Bengkalis seluas 120 hektare masuk ke revisi rencana tata ruang tata wilayah atau bukan kawasan hutan di Provinsi Riau.
Selain itu, Annas terbukti menerima hadiah uang sebesar Rp500 juta dari Gulat agar memenangkan PT Citra Hokiana Triutama milik Edison dalam pelaksana proyek pada Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Riau.
Annas juga didakwa menerima uang Rp3 miliar untuk melicinkan lokasi perkebunan empat perusahaan di Kabupaten Indragiri Hulu. Hanya saja dakwaan ini tidak terbukti.
Dari kasus tersebut, KPK bahkan telah menetapkan tersangka korporasi, yakni PT Palma Satu. KPK menyangka anak usaha PT Duta Palma Group itu menyuap Annas terkait revisi alih fungsi hutan di Provinsi Riau tahun 2014.
Selain menetapkan tersangka korporasi, KPK juga menetapkan pemilik PT Duta Palma, Surya Darmadi dan Legal Manager PT Duta Palma Suheri Terta menjadi tersangka. Nama terakhir divonis bebas di Pengadilan Tipikor Pekanbaru.
KPK menyangka ketiga pihak itu menyuap Annas Rp3 miliar untuk mengeluarkan lokasi perkebunan milik PT Duta Palma dari kawasan hutan. Dengan begitu, produk perusahaan sawit tersebut mendapat predikat Indonesian Suistanable Palm Oil yang bisa diimpor ke luar negeri.
Advertisement