Liputan6.com, Jakarta - Pelaksanaan Pilkada di tengah meluasnya penyebaran covid-19 terus memunculkan persoalan-persoalan baru. Pada kasus mutakhir, virus corona telah menyebar di kalangan penyelenggara pemilu dan pasangan calon kepala daerah.
Ada tiga Komisioner KPU RI termasuk Ketua KPU RI yang sudah dinyatakan positif covid-19. Bahkan hingga tanggal 14 September 2020, menurut KPU, ada 60 bakal calon yang dinyatakan positif COVID-19.
Advertisement
"Meskipun kewajiban mematuhi protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian covid-19 telah diatur dalam Peraturan KPU, namun dalam praktiknya terjadi banyak pelanggaran terhadap aturan tersebut. Sejumlah aturan yang ditetapkan belum disertai dengan penegakan sanksi hukum yang tegas sehingga membuka peluang penyebaran virus corona secara lebih massif," kata Direktur Eksekutif Citra Institute Yusa’ Farchan dalam keterangannya, Rabu (23/9/2020).
Dia menilai, keputusan bersama Komisi II DPR RI dengan Mendagri, KPU, Bawaslu dan DKPP, dalam Rapat Dengar Pendapat, Senin 21 September 2020 yang tetap bersikukuh melaksanakan Pilkada 9 Desember 2020, semakin menegaskan kecenderungan bahwa pilkada di tengah pandemi covid lebih merefleksikan kehendak kepentingan elite dari pada kepentingan publik secara luas.
"Keputusan penyelenggaraan pilkada 9 Desember 2020 secara politik memang mengandung pesan optimisme dari stakeholders untuk bersatu melawan covid. Namun demikian, ruang-ruang pesimisme publik masih tetap menggelayuti mengingat kendala-kendala berat yang dihadapi," ucap dia.
Yusa' Farchan berpendapat argumentasi yang disampaikan Pemerintah, DPR RI dan penyelenggara pemilu tidak boleh dibangun berdasarkan perspektif dan pendekatan politik-kekuasaan saja, tetapi harus didasarkan pada pendekatan yang memperhatikan realitas di masyarakat, di mana momentum pilkada telah menjadi simpul baru penyebaran virus corona.
"UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UU, memberi ruang bahwa pemungutan suara serentak pada Desember 2020 dapat ditunda dan dijadwalkan kembali apabila tidak dapat dilaksanakan karena bencana nasional pandemi covid-19 belum berakhir," jelas dia.
Klausul hukum tersebut, lanjut Yusa’, jelas memberikan dasar konstitusional bagi penundaan pilkada. Menunda pilkada, bukan berarti tidak menjamin hak-hak politik konstitusional warga negara terkait dengan hak memilih dan dipilih.
"Menunda pilkada juga bukan berarti mengebiri proses rekonsolidasi demokrasi lokal yang sedang berlangsung," kata dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kualitas Pilkada
Yang dikhawatirkan justru adalah rendahnya kualitas penyelenggaraan pilkada jika pelaksanaannya ternyata menemui banyak kendala di lapangan, khususnya terkait dengan tahapan kampanye, proses pemungutan suara dan penghitungan suara.
"Tidak adanya jaminan dan keselamatan perlindungan warga negara khususnya pada saat tahapan pemungutan suara, justru berpotensi menyebabkan partisipasi politik masyarakat cenderung rendah. Kondisi ini jelas akan menurunkan kualitas pilkada sehingga berdampak pada rendahnya legitimasi politik kepemimpinan daerah hasil pilkada," ucap dia.
Untuk itu, Ia meminta DPR, pemerintah dan penyelenggara pemilu untuk menunda tahapan pelaksanaan pilkada sampai adanya indikator yang terukur dan akurat di mana penularan Covid-19 dapat dikendalikan.
"Meminta DPR, pemerintah dan penyelenggara pemilu untuk tidak semata-mata menggunakan pendekatan politik-kekuasaan, tetapi menggunakan pendekatan yang lebih komprehensif dengan memperhatikan aspek keselamatan dan perlindungan kesehatan warga negara," ujar dia.
Selain itu, juga meminta DPR, pemerintah dan penyelenggara pemilu untuk menyiapkan regulasi dan manajemen krisis kebencanaan yang lebih memadai terkait dengan manajemen pemilihan umum di tengah bencana, baik bencana alam maupun non-alam.
Advertisement