Liputan6.com, Jakarta - Pandemi Corona Covid-19 belum usai. Namun, sebentar lagi Indonesia akan dihadapkan pada ajang lima tahunan yaitu Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020.
Mengingat saat ini kita masih berjuang melawan Corona Covid-19, ada cukup banyak pihak yang mengusulkan agar pelaksanaan Pilkada 2020 ditunda.
Advertisement
Salah satunya adalah mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla atau JK yang juga merupakan Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI).
JK meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) mempertimbangkan kembali untuk menggelar Pilkada 2020. Apalagi, angka kasus pasien terkonfirmasi positif Covid-19 sampai saat ini terus meningkat.
"Saya sarankan ditunda dulu sampai beberapa bulan sampai dengan vaksin ditemukan dan sampai vaksin ditemukan nanti langsung menurun itu," kata JK di Balai Pertemuan Metro Jaya (BPMJ), Sabtu, 19 September 2020.
Tak hanya JK, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) juga meminta kepada KPU, pemerintah, dan DPR RI untuk menunda pelaksanaan Pilkada 2020, demi mencegah penyebaran Covid-19.
Berikut mereka yang mengusulkan agar pelaksaan Pilkada 2020 ditunda dihimpun Liputan6.com:
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Komnas HAM
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengusulkan agar pelaksanaan tahapan Pilkada Serentak 2020 ditunda.
Karena sudah lebih dari 210.000 kasus Covid-19 terjadi di Indonesia dengan korban jiwa lebih dari 8.500 orang.
Bahkan menurut catatan, 110 dokter dan sekitar 70 paramedik meninggal dalam tugas merawat pasien Covid-19.
Belum lagi dengan adanya penambahan jumlah kasus harian yang terus melonjak hingga Kamis, 10 September kemarin berada di posisi tertinggi. Dengan angka di atas 3.800 kasus baru.
"KPU, pemerintah dan DPR untuk melakukan penundaan pelaksanaan tahapan pilkada lanjutan sampai situasi kondisi penyebaran Covid-19 berakhir atau minimal mampu dikendalikan berdasarkan data epidemologi yang dipercaya," ujar Ketua Tim Pemantau Pilkada 2020 Komnas HAM, Hairansyah, dalam keterangannya di Jakarta, Jumat, 11 September 2020.
Menurut Komnas HAM, belum terkendalinya Covid-19 membuat penundaan tahapan pilkada memiliki landasan yuridis yang kuat.
Karena dikhawatirkan pelaksanaan tahapan selanjutnya akan membuat penyebaran Covid-19 semakin tak terkendali.
"Sedangkan dari segi HAM, potensi nyata penyebaran Covid-19 dalam setiap tahapan pilkada berpotensi menimbulkan pelanggaran hak untuk hidup, hak atas kesehatan dan hak atas rasa aman," jelas Hairansyah dilansir Antara.
Dalam rekomendasinya, Komnas HAM menginginkan agar seluruh proses yang telah berjalan tetap dinyatakan sah dan berlaku untuk memberikan jaminan kepastian hukum untuk para peserta pilkada.
Menurut Komnas HAM, tahapan pilkada setelah pendaftaran pasangan calon dinilai paling krusial, yakni penetapan calon yang diikuti deklarasi calon pilkada damai, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara dan penetapan calon terpilih yang akan melibatkan massa.
Sementara sebelumnya, dalam tahapan pendaftaran saja nampak protokol kesehatan tidak dilaksanakan dengan disiplin, misalnya pendaftaran dengan arak-arakan.
Bawaslu mencatat terdapat sebanyak 243 dugaan pelanggaran protokol kesehatan dalam proses pendaftaran bakal pasangan calon kepala daerah.
Selain itu, berdasarkan data rekap pendaftaran pasangan calon Pilkada 2020 tanggal 4-6 September 2020 yang dikeluarkan KPU RI, terdapat 728 bakal pasangan calon yang sudah terdaftar dan telah diterima.
Dari jumlah itu, sebanyak 59 pasangan di antaranya terkonfirmasi positif Covid-19. Terdapat pula penyelenggara yang terkonfirmasi positif dan dikhawatirkan terus bertambah.
Advertisement
Perludem
Pilkada Serentak 2020 tetap dilaksanakan pada 9 Desember 2020 meski situasi pandemi Covid-19 belum berakhir. Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) khawatir bila pilkada tetap dilaksanakan.
"Kami di Perludem khawatir sekali dengan perkembangan akhir-akhir ini, ada 60 bacalon positif Covid-19. Semakin banyak penyelenggara pemilu yang tertular Covid-19, banyaknya pelanggaran protokol Covid-19 di tahapan pilkada," kata Peneliti Perludem Nurul Amalia, Minggu, 13 September 2020.
Dia menuturkan, sejak awal Perludem dan masyarakat sipil lain menyuarakan agar pilkada ditunda. pertimbangannya adalah perilaku masyarakat yang cenderung abai dan tidak disiplin pada protokol Covid-19.
"Nah, kekhawatiran kami terbukti dengan temuan Bawaslu bahwa ada lebih dari 200 daerah yang tidak mematuhi protokol Covid-19 saat pendaftaran bapaslon," ucapnya.
Dia pun menyinggung bila pemerintah melihat kasus negara lain sebagai contoh bahwa pemilu bisa dilakukan di masa pandemi.
Menurutnya, keputusan itu bisa diterapkan karena dua hal yaitu pelaksanaan protokol Covid-19 yang ketat dan masyarakat disiplin mematuhi protokol kesehatan.
"Jadi, menurut kami, selama tidak ada komitmen dari penyelenggara pemilu, pihak paslon, dan pihak keamanan untuk menerapkan dan mematuhi protokol Covid-19 secara ketat berikut sanksi yang tegas, sulit sekali pilkada bebas Covid-19. Terus terang, risikonya besar jika pilkada terus dilanjutkan," ucap Nurul Amalia.
Perludem pun setuju dengan Komnas HAM jika tahapan pilkada ditunda. Dia memaparkan, bahwa pihaknya mendapatkan laporan di KPU 50 Kota bahwa pasca penerimaan pendaftaran bacalon seluruh komisioner KPU, seluruh staf, Bawaslu, kepolisian, satpol PP, dan pihak terkait dilakukan swab tes karena salah satu calon bupati dinyatakan positif covid-19.
"Hal seperti di KPU 50 kota terjadi juga di daerah-daerah lain yang ada calon positif Covid dan datang mendaftar ke KPU. Akhirnya, Pilkada kita jadi sangat mahal karena perlu biaya tambahan untuk tes semua orang yang berkontak dengan orang-orang yang positif Covid," ucapnya.
"Dan penyelenggara pemilu sebagai pekerja yang tidak bisa membawa pekerjaan mereka ke rumah juga merasa tidak aman menyelenggarakan tahapan," jelas dia.
Survei
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Polmatrix Indonesia, publik meminta agar Pilkada Serentak 2020 ditunda di tengah situasi pandemi Covid-19.
"Temuan survei menunjukkan publik lebih memilih opsi Pilkada Serentak 2020 untuk ditunda di seluruh daerah, sebanyak 72,4 persen responden. Mereka khawatir kerumunan massa dalam Pilkada akan menciptakan klaster baru COVID-19," kata Direktur Eksekutif Polmatrix Indonesia Dendik Rulianto dalam siaran persnya, di Jakarta, Rabu, 16 September 2020, dilansir Antara.
Sementara itu, sebanyak 12,1 persen lebih memilih Pilkada ditunda di daerah-daerah yang berstatus zona merah atau berisiko tinggi.
Sedangkan yang menginginkan Pilkada tetap dilanjutkan sesuai jadwal sebanyak 10,6 persen, dan sisanya 4,9 persen menyatakan tidak tahu/tidak jawab.
Pada 9 Desember nanti, setidaknya 738 pasangan calon yang bakal berlaga memperebutkan posisi kepala daerah.
"Bisa dibayangkan luasnya daerah yang menggelar pilkada dan banyaknya kontestan yang akan beradu merebut suara pemilih di tiap daerah," ujar Rulianto.
Diketahui, sedikitnya 63 orang bakal calon kepala daerah diketahui positif Covid-19, dan jumlahnya diperkirakan masih terus bertambah.
"Demikian pula dengan penyelenggara pemilu, dari komisioner KPU dan KPUD, Bawaslu, hingga petugas di tingkat bawah yang terjangkit. Hal ini membuat ppsi protokol kesehatan dalam Pilkada diragukan efektivitas-nya, terbukti dari banyaknya pelanggaran yang ada," ungkapnya.
Dendik mengatakan, tanpa ada Pilkada saja penyebaran virus masih terus berlangsung, apalagi bila Pilkada tetap diselenggarakan.
"Dengan pola kampanye yang masih mengandalkan pengumpulan massa, virus akan lebih cepat menular. Dampaknya daerah-daerah tersebut bisa menerapkan kembali PSBB yang berujung pada hancurnya perekonomian dan penghidupan masyarakat," tutur Dendik.
Survei Polmatrix Indonesia dilakukan pada 1-10 September 2020, dengan jumlah responden 2.000 orang mewakili seluruh provinsi di Indonesia.
Metode survei dilakukan dengan menghubungi melalui sambungan telepon terhadap responden survei sejak 2019 yang dipilih secara acak. Margin of error survei sebesar ±2,2 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Advertisement
Jusuf Kalla
Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) Jusuf Kalla atau JK meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) mempertimbangkan kembali untuk menggelar Pilkada 2020.
Apalagi, angka kasus pasien konfirmasi Covid-19 sampai saat ini terus meningkat. Dia pun mengusulkan pelaksanaan pilkada ditunda.
"Saya sarankan ditunda dulu sampai beberapa bulan sampai dengan vaksin ditemukan dan sampai vaksin ditemukan nanti langsung menurun itu," kata JK di Balai Pertemuan Metro Jaya (BPMJ), Sabtu, 19 September 2020.
JK menyampaikan, penundaan itu apabila pasangan calon yang berkompetisi di Pilkada nanti tidak dapat menertibkan pendukungnya. Misalnya, mengabaikan imbauan pemerintah terkait larangan berkerumun.
"Kalau memang sulit dan ternyata susah untuk mencegah perkumpulan orang hanya 50 sesuai aturan yang dikeluarkan oleh masing-masing gubernur, maka lebih manfaat ke masyarakat itu bisa ditunda pilkada," ujar mantan Wakil Presiden ini.
Menurut JK, banyak wali kota dan bupati masa baktinya habis pada tahun depan. "Jadi sebenarnya tidak apa-apa dari segi pemerintahan bisa ditutup dengan pejabat sementara," ucap dia.
JK mengatakan, andai KPU tetap berkukuh menggelar pilkada pada Desember nanti maka yang harus diperhatikan adalah aturan berkerumun. Meski, JK berharap KPU menunda waktu pelaksanaan Pilkada.
"Saya kira KPU harus membikin syarat-syarat berkumpul atau apa. Kalau terjadi pelanggaran syarat-syarat katakanlah kampanye hanya 50 tapi terjadi 200. Kalau terjadi kecenderungan itu ya lebih baik dipertimbangkan kembali waktunya," ucap dia.
PBNU
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU), pemerintah, dan DPR menunda penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020.
Hal ini diungkap Ketua Umum PBNU K.H. Said Aqil Siroj dalam pernyataan sikapnya di Jakarta, Minggu, 20 September 2020.
Menurut Said Aqil, meski pelaksanaan pilkada diterapkan dengan protokol kesehatan yang ketat, NU menilai akan sulit terhindar dari konsentrasi orang dalam jumlah banyak dalam seluruh tahapannya.
"Meminta kepada Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk menunda pelaksanaan tahapan Pilkada Serentak 2020 hingga tahap darurat kesehatan terlewati," kata Ketua Umum PBNU dilansir Antara.
Nahdlatul Ulama juga meminta untuk merealokasikan anggaran Pilkada 2020 bagi penanganan krisis kesehatan dan penguatan jaring pengaman sosial.
NU juga mengingatkan kembali terkait rekomendasi Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2012 di Kempek Cirebon, yakni perihal perlunya meninjau ulang pelaksanaan pilkada yang banyak menimbulkan mudarat berupa politik uang dan politik biaya tinggi.
"Pernyataan sikap itu mencermati perkembangan penanggulangan pandemi Covid-19. Upaya pengetatan PSBB perlu didukung tanpa mengabaikan ikhtiar menjaga kelangsungan kehidupan ekonomi masyarakat," jelas Said Aqil.
Nahdlatul Ulama berpendapat bahwa melindungi kelangsungan hidup (hifdz al-nafs) dengan protokol kesehatan sama pentingnya dengan menjaga kelangsungan ekonomi (hifdz al-mâl) masyarakat.
Namun, karena penularan Covid-19 telah mencapai tingkat darurat, prioritas utama kebijakan negara dan pemerintah selayaknya diorientasikan untuk mengentaskan krisis kesehatan.
Advertisement
Muhammadiyah
Usai Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta pemerintah, DPR, serta KPU menolak Pilkada 2020, kini giliran Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyatakan hal yang sama di tengah pandemi Covid-19.
Adapun itu termuat dalam pernyataan pers PP Muhammadiyah tentang penanganan pandemi Covid-19, yang langsung ditandatangani Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nasir dan Sekretaris Umum Abdul Mu'ti, Senin, 21 September 2020.
"Terkait dengan Pemilihan Kepada Daerah (Pemilukada) tahun 2020, Pimpinan Pusat Muhammadiyah menghimbau Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk segera membahas secara khusus dengan kementerian dalam negeri, DPR, dan instansi terkait agar pelaksanaan Pemilukada 2020 dapat ditinjau kembali jadwal pelaksanaannya maupun aturan kampanye yang melibatkan kerumunan massa," demikian salah satu potongan poin.
Dalam lanjutannya, PP Muhammadiyah meminta menunda Pilkada 2020, untuk mengutamakan kepentingan kesehatan masyarakat. Dan tak menciptakan klaster baru penularan virus Covid-19.
"Bahkan di tengah pandemi Covid-19 dan demi keselamatan bangsa serta menjamin pelaksanaan yang berkualitas, KPU hendaknya mempertimbangkan dengan seksama agar Pemilukada 2020 ditunda pelaksanaannya sampai keadaan memungkinkan. Keselamatan masyarakat jauh lebih utama dibandingkan dengan pelaksanaan Pemilukada yang berpotensi menjadi klaster penularan Covid-19," lanjut poin tersebut.
Pengusaha Logistik
Senada, Asosiasi Logistik dan Forwarding Indonesia (ALFI) mendesak Pilkada 2020 ditunda karena mengkhawatirkan ancaman penularan Covid-19 meskipun diakui pula penundaan tersebut juga akan berdampak pada pendapatan jasa logistik.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) ALFI Akbar Djohan mengatakan, walaupun potensi pendapatan jasa logistik juga akan tertunda, namun jauh lebih penting untuk memutus rantai penyebaran Covid-19.
"Artinya, dapat menyelamatkan nyawa masyarakat Indonesia dibanding pendapatan yang masih bisa didapatkan di saat Covid-19 ini hilang dari bumi Indonesia tercinta," katanya seperti dikutip dari Antara, Selasa, 22 September 2020.
Akbar mengatakan penundaan Pilkada karena pandemi Covid-19 bukanlah bentuk kegagalan dalam berdemokrasi.
Pemerintah justru bisa dinilai tanggap melindungi rakyat dari penularan Covid-19, jika menunda pilkada serentak.
"Pilkada itu kan tahapan yang orang ketemu, berkumpul, sementara pandemi kan tidak seperti itu, harus jaga jarak, harus lebih banyak di rumah. Ketika situasi Covid-19 ini belum membaik, bahkan angkanya cenderung meningkat, maka walaupun nanti memutuskan untuk menunda (Pilkada) itu bukan berarti KPU gagal, Bawaslu gagal, ataupun pemerintah gagal dalam kita berdemokrasi. Justru masyarakat akan apresiasi," jelas dia.
Advertisement