Liputan6.com, Jakarta - Mengenakan gamis berwarna cerah dan berbalut hijab berwarna pink, Jaksa Pinangki Sirna Malasari hadir dalam sidang perdana kasus dugaan suap dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) penanganan fatwa MA Djoko Tjandra. Ia pun memakai masker dan face shield.
Sidang yang digelar pada Rabu 23 September 2020 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini beragendakan pembacaan dakwaan. Tidak banyak komentar yang dilontarkan jaksa Pinangki sebelum memasuki ruang sidang.
Advertisement
Dalam sidang Jaksa mengungkapkan, kala itu, jaksa Pinangki menawarkan rencana bantuan upaya hukum pengurusan fatwa MA Djoko Tjandra. Diawali dengan pertemuan dengan Anita Kolopaking dan Rahmat, jaksa Pinangki meminta Rahmat memperkenalkannya dengan Djoko Tjandra.
Melalui sambungan telepon, Rahmat menyampaikan niatan tersebut. Djoko Tjandra pun mencari data dan foto jaksa Pinangki yang menemukannya berseragam kejaksaan.
Jaksa Pinangki dan Anita Kolopaking kemudian membicarakan pengurusan fatwa MA terkait putusan PK Nomor 12 tahun 2009 dan Putusan MK Nomor 33 tahun 2016.
"Karena Anita Kolopaking merasa punya banyak teman di Mahkamah Agung maka Anita Kolopaking berencana akan menanyakan hal tersebut kepada temannya yang merupakan seorang hakim di Mahkamah Agung, apakah bisa mengeluarkan fatwa agar tidak dilaksanakan eksekusi putusan PK Nomor 12 tahun 2009 tersebut," tutur jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (23/9/2020).
Jaksa Pinangki dan Rahmat selanjutnya berangkat ke Kuala Lumpur untuk menemui Djoko Tjandra. Dia kemudian memperkenalkan diri sebagai jaksa dan mengaku mampu mengurus upaya hukum Djoko Tjandra.
"Terdakwa kemudian mengatakan akan mengurus upaya hukum Djoko Soegiarto Tjandra tetapi meminta agar Joko Soegiarto Tjandra menjalani pidana terlebih dahulu, kemudian terdakwa akan mengurus upaya hukum tersebut," sebut jaksa.
Jaksa Pinangki kemudian meyakinkan Djoko Tjandra yang sejak awal tidak percaya rencana tersebut bisa berhasil. Hingga akhirnya, Djoko Tjandra menyetujui usulan jaksa Pinangki.
Namun, dia tidak mau bertransaksi langsung dengan Pinangki karena statusnya yang seorang jaksa. Pinangki kemudian menawarkan adanya pihak swasta yaitu Andi Irfan Jaya sebagai perantara uang.
Selanjutnya, jaksa Pinangki mengajak Rahmat dan Anita Kolopaking menemui Djoko Tjandra pada 19 November 2019. Anita diperkenalkan sebagai pengacara dan menawarkan dokumen berisi surat kuasa dan surat penawaran jasa bantuan hukum.
"Terdakwa juga menyarankan kepada Djoko Soegiarto Tjandra agar Djoko Soegiarto Tjandra harus kembali dulu ke Indonesia dan ditahan oleh kejaksaan, lalu terdakwa akan mengurus masalah hukumnya," ujar jaksa.
Akhirnya, Djoko Tjandra meminta agar jaksa Pinangki membuat proposal 'action plan' dan membuat surat ke Kejaksaan Agung untuk menanyakan status hukumnya. Hingga pembahasan berlanjut ke pembiayaan pengurusan fatwa MA melalui Kejaksaan Agung sebesar USD 100 juta.
"Saat itu terdakwa secara lisan menyampaikan bahwa terdakwa akan mengajukan proposal berupa 'action plan' yang isinya menawarkan rencana tindakan dan biaya untuk mengurus fatwa MA melalui Kejaksaan Agung sebesar USD 100 juta, namun pada saat itu Joko Soegiarto Tjandra hanya menyetujui dan menjanjikan sebesar USD 10 juta yang akan dimasukkan ke dalam action plan," kata jaksa.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Rencana yang Gagal
Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga mengatakan, awalnya pada 25 November 2019 jaksa Pinangki bersama Anita Kolopaking dan Andi Irfan Jaya menemui Djoko Tjandra di The Exchange 106 Kuala Lumpur.
Dalam pertemuan itu, jaksa Pinangki dan Andi Irfan Jaya menyerahkan proposal 'action plan' dan menjelaskan rencana pemulangan Djoko Tjandra lewat fatwa MA. Adapun rencananya adalah sebagai berikut:
1. Penandatangan Akta Kuasa Jual sebagai jaminan bila "security deposit" yang dijanjikan Joko Tjandra tidak terealissi dan akan dilaksanakan pada 13- 23 Febuari 2020. Penanggung jawab adalah Djoko Tjandra dan Andi Irfan Jaya.
2. Pengiriman Surat dari pengacara kepada pejabat Kejaksaan Agung Burhanuddin (BR) yaitu surat permohonan fatwa MA dari pengacara kepada Kejagung untuk diteruskan kepada MA yang akan dilaksankan pada 24-25 Februari 2020.
3. Pejabat Kejagung Burhanuddin (BR) mengirimkan surat permohonan fatwa MA kepada pejabat MA Hatta Ali (HA). Pelaksanan dilakukan pada 26 Februari-1 Maret 2020 dengan penanggung jawab Andi Irfan Jaya dan Pinangki.
4. Pembayaran 25 persen fee sebesar USD 250 ribu dari total fee USD 1 juta yang telah dibayar uang mukanya sebesar USD 500 ribu dengan penanggung jawab adalah Djoko Tjandra yang akan dilaksanakan pada 1-5 Maret 2020.
5. Pembayaran konsultan fee media kepada Andi Irfan Jaya sebesar USD 500 ribu untuk mengondisikan media dengan penanggung jawab Djoko Tjandra yang akan dilaksanakan pada 1-5 Maret 2020.
6. Pejabat MA Hatta Ali menjawab surat pejabat Kejagung Burhanuddin. Penanggung jawabnya adalah Hatta Ali atau DK atau AK yang akan dilaksanakan pada 6-16 Maret 2020.
7. Pejabat Kejagung Burhanuddin menerbitkan instruksi terkait surat Hatta Ali yaitu menginstruksikan kepada bawahannya untuk melaksanaan fatwa MA. Penanggung jawab adalah IF atau P yang akan dilaksanakan pada 16-26 Maret 2020.
8. Security deposit cair yaitu sebesar USD 10 ribu. Maksudnya, Djoko Tjandra akan membayar uang tersebut bila 'action plan' ke-2, ke-3, ke-6, dan ke-7 berhasil dilaksanakan. Penanggung jawabnya adalah Djoko Tjandra yang akan dilaksanakan pada 26 Maret-5 April 2020.
9. Djoko Tjandra kembali ke Indonesia tanpa menjalani eksekusi pidana penjara selama dua tahun. Penanggung jawab adalah Pinangki atau Andi Irfan Jaya atau Djoko Tjandra yang dilaksanakan pada April-Mei 2020.
10. Pembayaran fee 25 persen yaitu USD 250 ribu sebagai pelunasan atas kekurangan pemeriksaan fee terhadap Pinangki bila Djoko Tjandra kembali ke Indonesia seperti 'action' ke-9. Penanggung jawab adalah Djoko Tjandra yang akan dilaksanakan pada Mei-Juni 2020.
Jaksa melanjutkan, proposal action plan tersebut tidak terlaksana sehingga Djoko Tjandra membatalkannya pada Desember 2019.
"Atas kesepakatan 'action plan' tersebut tidak ada satu pun yang terlaksana padahal Joko Tjandra telah memberikan uang muka sebesar 500 ribu dolar AS, sehingga Joko Tjandra pada Desember 2019 membatalkan rencana aksi dengan cara memberikan catatan pada kolom notes dengan tulisan tangan NO, kecuali pada aksi ketujuh dengan tulisan tangan 'bayar nomor 4, 5' dan 'action' kesembilan dengan tulisan 'bayar 10 M' yaitu bonus kepada terdakwa bila Djoko kembali ke Indonesia," kata jaksa.
Advertisement
Didakwa Pencucian Uang dan Pemufakatan Jahat
Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa jaksa Pinangki Sirna Malasari dengan dakwaan berlapis. Dia didakwa menerima suap USD 500 ribu dari Djoko Tjandra, melakukan pencucian uang, dan permufakatan jahat.
"Telah menerima pemberian uang atau janji berupa uang sebesar USD 500 ribu dari sebesar USD 1 juta yang dijanjikan oleh Djoko Soegiarto Tjandra sebagai pemberian fee dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya," tutur jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (23/9/2020).
Uang tersebut diperoleh jaksa Pinangki dari suap pengurusan mengurus fatwa Mahkamah Agung (MA) melalui Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk Djoko Tjandra. Hal itu agar Djoko Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani hukuman pidana kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali.
Uang muka sebesar USD 500 ribu itu diberikan ke jaksa Pinangki melalui almarhum Herriyadi Angga Kusuma yang merupakan adik ipar Djoko Tjandra dengan perantara Andi Irfan Jaya.
"Atas kesepakatan sebagaimana dalam action plan tersebut tidak ada satu pun yang terlaksana padahal Djoko Soegiarto Tjandra sudah memberikan down payment kepada terdakwa melalui Andi Irfan Jaya sebesar USD 500 ribu sehingga Djoko Soegiarto Tjandra pada bulan Desember 2019 membatalkan action plan," kata jaksa.
Jaksa Pinangki yang telah menerima uang USD 500 ribu dari Djoko Tjandra melalui Andi Irfan Jaya, sebenarnya diminta memberikan USD 100 ribu kepada Anita Kolopaking. Namun nyatanya hanya diberikan USD 50 ribu saja.
"Sehingga terdakwa menguasai USD 450 ribu atau setidak-tidaknya sekitar sejumlah itu supaya mengurus fatwa MA melalui Kejaksaan Agung agar pidana penjara yang dijatuhkan pada Djoko Tjandra berdasarkan putusan PK nomor 12 tanggal 11 Juni 2009 tidak bisa dieksekusi sehingga Joko Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana yang bertentangan dengan kewajiban terdakwa selaku PNS atau penyelenggara negara yaitu sebagai jaksa," ujar jaksa.
Jaksa Pinangki Sirna Malasari pun mengajukan nota keberatan atau eksepsi atas dakwaan penerimaan suap dari Djoko Tjandra.
"Mohon izin yang mulia. Kami menggunakan hak untuk ajukan keberatan," tutur kuasa hukum Pinangki, Aldres Napitupulu, di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (23/9/2020).
Majelis hakim pun menerima dokumen nota keberatan tersebut. Persidangan kemudian ditunda hingga 30 September 2020.
"Maka sidang perkara ini akan ditunda untuk berikan kesempatan untuk eksepsi, untuk itu sidang ditunda sampai dengan Rabu 30 September 2020 dan sementara terdakwa berada di tahanan," kata Ketua Majelis Hakim Eko.