Liputan6.com, Jakarta - Direktur Utama PT Industri Kapal Indonesia (Persero) atau IKI Diana Rosa mengeluhkan biaya produksi kapal di industri galangan nasional yang terlampau besar. Itu disebutnya jadi kendala bagi pelaku industri kapal di Indonesia untuk dapat bersaing dengan negara-negara besar di sektor tersebut seperti China dan Korea Selatan.
"Memang kembali lagi, dengan materia impor otomatis HPP (Harga Pokok Penjualan) kami akan lebih besar. Itu kendalanya," ujar Diana saat berbincang virtual bersama Liputan6.com, dikutip Rabu (23/9/2020).
Advertisement
Kendala tersebut dikatakannya semakin dipersulit dengan ongkos bea masuk yang dikenakan untuk material impor bahan produksi. Oleh karenanya, ia berharap agar pemerintah bermurah hati untuk tidak memberatkan pelaku industri kapal dengan bea masuk tinggi.
"Tapi dari sisi kualitas, dari sisi teknologi, teknis, SDM, Insya Allah kami mampu," sambung Diana.
Diana kemudian merinci ongkos produksi kapal yang membuat harga jualnya menjadi mahal. Sebagai contoh dari sisi mesin atau engine, itu biayanya bisa 40 persen dari harga kapal.
"Belum lagi untuk produksinya engine, itu bisa sampai 8-9 bulan. Sehingga kami (harus) menunggu selama itu," ungkap dia.
"Karena itu banyak pelayaran-pelayaran lebih memilih di luar negeri, membeli atau membangun kapalnya. Itu tantangan buat kami, galangan kapal Indonesia," tandasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Industri Galangan Kapal Nasional Butuh Stimulus Pemerintah
Sebelumnya, Direktur Utama PT Industri Kapal Indonesia (Persero) atau IKI Diana Rosa mengatakan, industri galangan kapal nasional masih kesulitan untuk bersaing dengan perusahaan asing dalam memproduksi kapal laut.
Diana menyampaikan, salah satunya lantaran mayoritas bahan material industri masih sangat bergantung pada produk impor. Ongkos pengeluaran semakin membengkak akibat terkena bea masuk.
"Memang kembali lagi, dengan material impor otomatis HPP (Harga Pokok Penjualan) kami akan lebih besar. Itu kendalanya. Belum lagi bea masuk. Itu memang kendala kami yang perlu bantuan atau kebijakan dari pemerintah," ungkapnya saat berbincang virtual dengan Liputan6.com, Selasa (22/9/2020).
Lebih lanjut, Diana menceritakan, pemerintah sejak 2016 sebenarnya telah mendorong berkembangnya industri perkapalan Indonesia.
Namun karena adanya tumpang tindih kebijakan dari berbagai kementerian terkait, ternyata hasilnya belum efisien dan efektif.
"Salah satunya adalah masalah bea masuk. Dulu sudah ada sih satu kebijakan pemerintah diberikan, namun kita harus daftar dulu. Sementara kita belum tentu dalam setahun akan dapat order untuk pembangunan kapal. Itu masalah bea masuk," ujarnya.
Advertisement
Stimulus Lain
Selain itu, ia juga meminta kepada pemerintah agar pengenaan suku bunga bagi pelaku industri kapal di Tanah Air jangan terlalu tinggi. Menurutnya, itu turut membuat harga kapal di galangan nasional mahal.
"Kalau dipelajari di luar negeri misal di China, di Korea (Selatan), itu banyak kebijakan untuk menghidupkan bisnis lokal. Sehingga kami berharap memang sudah ada dari pemerintah, tapi bagaimana yang lebih efisien dan efektif," kata Diana.
Oleh karenanya, ia memohon kepada bank-bank yang masuk dalam kelompok Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) untuk bisa memangkas pengenaan suku bunga. Sehingga harga kapal produksi nasional bisa lebih bersaing dengan buatan luar negeri.
"Tadi bea masuk, terus kemudahan kami untuk modal kerjanya dari bank. Katakanlah dari bank Himbara, yaitu terkait panjang jangka waktu, sama suku bunga. Itu memberatkan kita dalam penentuan harga kapal. Di sana kita tidak bisa bersaing dengan kapal-kapal luar," pungkasnya.