Tak Ingin Dikenal, Pria Pemasok Daging McDonald's Ini Ternyata Berharta Rp 44,4 Triliun

Sheldon Lavin diperkirakan punya kekayaan USD 3 miliar dan memulai debutnya di Forbes 400 tahun ini.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 25 Sep 2020, 09:33 WIB
Menu Ini Rasa Kita! dari McDonald's Indonesia. (dok. McDonald's Indonesia/Dinny Mutiah)
Liputan6.com, Jakarta
Dari Chicago sampai China, jutaan roti Big Macs dan McChicken meluncur setiap harinya dari ban berjalan di lusinan pabrik milik produsen OSI. Dagingnya dibekukan dengan cepat dan kemudian dikirim, siap untuk dipanaskan kembali dan diberi acar, saus khusus dan roti wijen.
 
Meskipun tak banyak dikenal, OSI merupakan salah satu perusahaan swasta terbesar di Amerika Serikat (AS), dan salah satu pemasok daging terbesar dan tertua di McDonald.
 
Perusahaan yang berbasis di Illinois ini telah memproduksi rantai pasok ikonik selama lebih dari setengah abad, dan sekarang melakukannya di lebih dari selusin negara.
 
OSI secara resmi dikendalikan oleh miliarder tertutup Sheldon Lavin, pria berusia 88 tahun yang memiliki sebagian besar bisnis senilai USD 6,3 miliar (proyeksi angka penjualan di 2019 lalu).
 
Lavin, yang diperkirakan punya kekayaan USD 3 miliar (Rp 44,4 triliun) dan memulai debutnya di Forbes 400 tahun ini, dikenal jarang berbicara dengan pers. Itu membuatnya menjadi mitra di belakang layar yang sempurna untuk beberapa brand seperti Oscar Mayer dari Kraft Heinz.
 
Pelanggan baru bertambah tahun lalu, yakni Impossible Foods, perusahaan rintisan produsen daging imitasi berbahan kedelai yang membuat Impossible Whoppers untuk Burger King dan sandwich untuk sarapan di Starbucks.
 
Terlepas dari daftar pelanggan blue chip-nya, hanya sedikit yang tahu banyak tentang dia. Salah satunya mantan Presiden OSI Doug Gullang, yang bekerja bersama Lavin selama 30 tahun.
 
"Itu selalu jadi motonya, tak banyak bicara. Sheldon selalu menjadi orang yang sangat tertutup. Dengan OSI menjadi perusahaan swasta, tidak perlu bagi kami untuk menarik banyak ketenaran," kata Gullang seperti dikutip Forbes, Kamis (24/9/2020).
 
Meskipun ia kini sudah di penghujung karir, Lavin kerap sedikit membuka diri. Ketika ia menolak beberapa permintaan wawancara, dia hanya buka suara di sebuah blog Professional Tales pada 2019, dan memposting ulang interview di blog Medium-nya.
 
"Saya punya bakat untuk membangun perusahaan. Saya cenderung senang melihat potongan rencana yang saling cocok seiring waktu," ujar Lavin.
 
Lavin menyelaraskan nasib bisnisnya dengan nasib McDonald. OSI memulai perjalanannya pada 1909 sebagai toko daging yang dijalankan imigran Jerman Otto Kolschowsky di pinggiran Chicago. Bisnisnya berkembang pesat pasca putra Kolschowsky menjalin kesepakatan dengan agen waralaba McDonald, Ray Kroc pada 1955.
 
Kroc pada saat itu baru saja membuka restoran McDoland pertama di Des Plaines, Illinois, sementara Otto & Sona menjadi pemasok daging hamburger pertama dari franchise tersebut. Ketika McDonald berkembang di seluruh Amerika, begitu pula pemasoknya. Dalam satu dekade, mereka mengirimkan 150 daging segar setiap harinya.
 
Ketika teknologi pembekuan flash kriogenik tersedia pada akhir periode 1960, Kroc secara drastis mengurangi jumlah pemasoknya dan menawarkan satu dari lima slot kepada Otto & Sons. Tapi keluarga tersebut membutuhkan modal untuk membangun pabrik daging skala industri pertamanya, dengan kapasitas pembekuan untuk memenuhi permintaan pelanggan.
 
Itulah sebabnya pada 1970 Lavin (pada saat itu bankir berusia 38 tahun) diminta untuk cari pembiayaan. Lavin kemudian mendapatkan sejumlah uang dari perusahaan (jumlahnya tak pernah diungkapkan) dan berhasil menarik kesan petugas kredit, sehingga menyarankan Lavin harus memiliki saham di perusahaan itu.
 
Dia pada saat itu menolak. Tapi satu dekade kemudian ketika Otto senior pensiun, Lavin bergabung penuh waktu sebagai mitra dan mengambil sepertiga saham atas desakan McDonals. Tak lama setelah itu ia menjadi CEO, dan Otto & Sons berganti nama jadi OSI.
 
Ketika salah seorang anak Otto memutuskan untuk menjual sahamnya dekade setelahnya, Lavin menjadi pemilik separuh perusahaan.
 
"Saat saya benar-benar mengambil kendali pada 1980-an, saya memutuskan tidak ada alasan untuk saya bertahan jika saya tidak membangun OSI jadi perusahaan besar," ungkap dia pada 2013.
 
"Saya mungkin bakal kembali ke sektor keuangan. Saya tidak akan bertahan jika saya tidak bisa menumbuhkannya," tegas Lavin.
 
 
 
 
 

Tonton Video Ini


PBB Desak Miliarder Bantu Tangani Kelaparan yang Ancam 30 Juta Orang di Dunia

Ilustrasi Miliarder (pixabay.com)

Direktur Eksekutif Program Pangan Dunia PBB (WFP) David Beasley mendesak para miliarder dunia membantu menyelamatkan sekitar 30 juta orang yang berisiko meninggal karena kelaparan.

Dilansir dari Reuters, Sabtu (19/9/2020), tercatat sekitar 270 juta orang berada di ambang kelaparan dunia. WFP berharap, setidaknya dapat memberikan bantuan kepada sebagian 138 juta orang tahun ini.

"Kami membutuhkan USD 4,9 miliar untuk memberi makan orang-orang selama satu tahun," kata Beasley kepada Dewan Keamanan PBB.

Tercatat, sebanyak 2.000 miliarder dunia dengan kekayaan bersih USD 8 triliun. Bahkan beberapa di antaranya menghasilkan miliaran dolar AS selama pandemi COVID-19, seperti Jeff Bezos hingga Elon Musk.

Menurut laporan Institute for Policy Studies (IPS) pada Juni, kekayaan miliarder AS melonjak lebih dari 19 persen atau USD 0,5 triliun sejak pandemi corona melanda AS.

Dalam waktu 11 pekan sejak 18 Maret hingga 15 September, kekayaan Jeff Bezos, Mark Zuckerberg dan Elon Musk meroket tajam hingga membawa Musk sebagai orang terkaya ketiga dunia. Padahal tahun lalu, Musk masih di peringkat 20-an.

"Sudah saatnya bagi mereka yang memiliki kekayaan lebih untuk membantu orang-orang yang kesulitan. Dunia membutuhkan Anda sekarang dan inilah waktunya untuk melakukan hal yang benar," ujar Beasley.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya