Liputan6.com, Jakarta - Covid-19 menjadi pandemi global. Wabah ini mengubah banyak sekali struktur kehidupan. Orang-orang dihimbau untuk tetap di rumah sebagai salah satu protokol kesehatan. Termasuk pelaksanaan proses pendidikan anak pun dari rumah.
Proses pendidikan dari rumah atau dikenal sebagai school from home (pembelajaran jarak jauh / PJJ) butuh beragam pendukung dalam pelaksanaannya, seperti ketersediaan sinyal, kuota, gawai, aplikasi, dan literasi digital baik dari si anak maupun orangtua yang mendampinginya.
PJJ tidak relevan bagi anak-anak Papua, terutama anak-anak di pedalaman. Sebut saja satu Kabupaten di pesisir selatan Papua, Kabupaten Asmat. Asmat adalah satu Kabupaten yang masing-masing distriknya dipisahkan oleh sungai dan laut. Dari segi mobilitas, Kabupaten Asmat sangat sulit dicapai.
Baca Juga
Advertisement
Syarat-syarat yang dibutuhkan dalam PJJ tidak relevan dan mustahil dipenuhi di distrik-distrik pedalaman Asmat. Agats, ibu kota kabupaten, titik paling maju di Kabupaten Asmat baru beberapa tahun ini mendapat fasilitas listrik 24 jam, kalau pasukan solar sedang terganggu karena kapal terganggu ombak laut, Agats bisa padam berhari-hari.
Tetangga distriknya seperti Atsj, listrik hanya menyala 12 jam dalam satu hari. Kampung dan distrik lainnya yang lebih pedalaman, tidak ada listrik sama sekali. Itu baru soal listrik.
Sinyal internet mengambil peran utama dalam PJJ untuk bisa melakukan koneksi ke aplikasi belajar seperti Zoom, Google Meet, Google Classromm. Dan sinyal di Asmat, sudah jelas tidak akan kuat untuk mengakses aplikasi-aplikasi itu.
Provider yang mampu ‘hidup’ di sana hanya Telkomsel, tapi sinyalnya pun sangat parah. Untuk berkirim pesan teks saja perlu 2 hari untuk terkirim. Internet yang ‘lumayan’ bisa didapat dengan membeli voucher wifi yang disediakan kios-kios seharga 50 ribu per dua jam dengan kuota tidak sampai 20mb.
Anak-anak Asmat, terutama di distrik pedalaman seperti di Kampung Pirimapun dan Kampung Bayun di Distrik Safan, hampir benar-benar terisolasi. Jangankan untuk memiliki gawai hingga mahir mengoperasikannya. Bahkan untuk memakai sepatu saja mereka tidak bisa. Mereka bertelanjang kaki sampai ada pihak yang memberikan sepatu dan pemahaman bahwa alas kaki penting untuk mereka.
Kondisi pendidikan tidak kalah memprihatinkan, tidak akan sulit bagi kita untuk menemukan anak-anak setingkat SMP bahkan SMA yang tidak bisa membaca, tidak mengenal angka dan huruf. Tidak perlu jauh pada literasi digital di mana anak-anak pandai mengoperasikan dan dan menemukan solusi dari gawai dan internet. Mereka masih jauh dari itu.
PJJ dilakukan dua arah, guru yang memberi materi di satu sisi, siswa dan orang tua yang mendampingi di sisi yang lain. Dilakukan serentak berbarengan melalui aplikasi. Tapi wajah PJJ yang seperti ini hanya akan ada di Jakarta atau daerah-daerah yang internetnya ekstra kencang dengan kondisi siswa yang berada memiliki gawai dan kuota. Mungkin tidak di Asmat.
Banyak guru-guru dan kepala sekolah yang tidak hadir. Sekolah hanya sebatas bangunan. Pemandangan ini banyak sekali dapat disaksikan di sebagian besar sekolah di sebagian besar kampung. Hanya guru dan kepala sekolah yang memiliki hati yang memilih untuk tetap tinggal, sisanya mereka kebanyakan berada di kota dan hanya akan datang ketika ujian.
Kalaupun sekolah berjalan sempurna dengan guru dan kepala sekolah yang hadir, siswa bisa saja tidak hadir karena tuntutan perut. Mereka harus ikut orang tua mereka ke hutan mencari sagu, ikan, atau berburu babi bermalam di bivak. Dan akan kembali beberapa minggu kemudian.
Anak-anak ini harus juga memecahkan masalah orang tua mencari makan. Jangankan menjadi pendamping yang duduk disamping anak ketika belajar melalui Zoom. Orang tua dan mungkin banyak orangtua di seluruh Indonesia masih harus berjuang bertahan hidup. Tidak memiliki gawai apalagi kemampuan menggunakannya.
Gambaran anak-anak Asmat mungkin menjadi gambaran sebagian besar anak-anak Papua dalam menjalani pendidikannya. Mereka harus masuk ke dalam sistem pendidikan yang benar-benar asing dan tidak akrab bagi mereka.
Pendidikan pada kenyataanya, kebijakannya tidak melibatkan anak pedalaman Papua sebagai sampel riset. Termasuk PJJ yang harus dilaksanakan dalam masa pandemi, tidak mengecualikan anak pedalaman Papua. Pembelajaran Jarak Jauh adalah bisa jadi penghentian pendidikan untuk anak-anak pedalaman.
Trias Yuliana Dewi, pegiat Papua
Tulisan ini hasil reportase dan opini pribadi penulis.
Saksikan Video Pilihan Ini
Advertisement