Belasan Tahun Dipakai Warga, Lahan di Bengkalis Mendadak Jadi Sengketa

Sejumlah anggota kelompok tani dilaporkan ke Polda Riau karena perusahaan menyebut lahan masyarakat masuk ke HGU dan menilai telah melakukan penyerobotan.

oleh M Syukur diperbarui 25 Sep 2020, 12:13 WIB
Sejumlah masyarakat Sakai dan anggota kelompok tani di Kabupaten Bengkalis berkumpul karena lahannya diklaim oleh perusahaan masuk HGU. (Liputan6.com/M Syukur)

Liputan6.com, Bengkalis - Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Riau memanggil Elias Semangat Sembiring terkait laporan PT Dermali Jaya Lestari. Pria yang bekerja sebagai pastor ini diduga menduduki lahan tanpa izin di Desa Balai Makam, Kecamatan Bathin Solapan, Kabupaten Bengkalis.

Elias bersama pastor lainnya yang tergabung dalam Kelompok Tani Mangalo Makam Labora dituding perusahaan berkebun dalam hak guna usaha (HGU) perusahaan. Lahan lebih kurang 150 hektare itu sudah dipasang plang tanda penyidikan beberapa waktu lalu.

Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Riau Komisaris Besar Andri Sudarmadi membenarkan laporan tersebut. Dia menyebut sudah ada beberapa saksi dipanggil dalam kasus ini.

"Untuk terlapor sudah dikirim undangan, masih panjang prosesnya, pelapor PT Dermali Jaya Lestari," ucap Andri, 24 September 2020.

Sementara itu, Kuasa Hukum PT Dermali Jaya Lestari, Mora SH belum mau berbicara banyak terkait laporannya. Dia mengaku berada di Medan sehingga belum bisa memberikan pernyataan resmi.

"Kapan-kapan saja pas ketemu di Pekanbaru, soalnya saya di Kualanamu," sebut Mora.

Data dirangkum, PT Dermali Jaya Lestari mendapatkan izin pelepasan kawasan tahun 1991 dengan izin prinsip menanam karet dan kakao. Adapun HGU baru diperoleh tahun 2002 dengan luasan 2.090,778 hektare.

Terkait lahan yang dilaporkan itu, wartawan berusaha menelusuri asal usul lahan yang diklaim perusahaan. Salah satunya dari warga Suku Sakai (tempatan), Bustami yang mengaku punya tanah di lokasi itu pada tahun 1994.

Bustami menjelaskan, dia mendapatkan tanah sebagai anak kemenakan Suku Sakai karena tanah itu merupakan ulayat. Untuk memperoleh itu, ada surat keterangan dari tetua adat atau Bathin sebelum perusahaan memperoleh HGU.

"Sejak tahun 1994 saya berkebun, tidak ada perusahaan datang ke kami menyebut itu miliknya, ataupun pembuatan tapal batas ," kata Bustami.

Bersama sejumlah pemilik lahan ulayat di sana, Bustami akhirnya menjual tanah itu kepada pria bernama Hendra alias Okim pada tahun 2008. Sebelum menjual, ada surat dari Lembaga Adat Suku Sakai Bengkalis sebagai majelis tertinggi bahwa lahannya itu ulayat pada tahun 2000.

 

Simak video pilihan berikut ini:


Membeli Dari Tangan Kedua

Ada sekitar 150 hektare yang akhirnya dijual bersama warga Suku lainnya. Saat penjualan pada tahun 2008, ada juga surat pernyataan sempadan dari perusahaan lain bahwa lahan tidak masuk ke arealnya.

Di saat bersamaan, PT Dermali melalui Kabag TU saat itu, Sulistiono juga menyatakan ada 128 hektare lahan belum diganti rugi sebagai syarat memperoleh HGU. Oleh karenanya, perusahaan menyatakan tidak akan berkebun di sana karena mengakui ulayat tadi.

"Kalau tanah saya yang dijual di lokasi itu ada 10 hektare, warga lain juga menjual. Hal ini diketahui Bathin Musa (kepala suku) saat itu," katanya.

Setelah jual beli tadi, tambah Bustami, Hendra membuat parit gajah untuk mengelilingi lahannya. Sejumlah alat berat diturunkan dan penggalian ini mendekati barak pekerja PT Darmali.

Saat itu, perusahaan tidak pernah melakukan protes hingga akhirnya terbuat kanal besar tadi. Lahan mulai ditanam bibit sawit.

Pada tahun 2013, Hendra menjual tanah ini kepada Pastor Elias Sembiring dan belasan pastor lainnya. Jual beli ini juga disaksikan pemilik lahan pertama dan dibuatkan akta notaris.

Dengan surat keterangan tebas (SKT) sebagai landasan, Pastor Elias dan lainnya menaikkan status surat tanahnya menjadi surat keterangan ganti rugi (SKGR). Pihak desa mengeluarkan SKGR dan mendapatkan resgistrasi dari pemerintah kecamatan.

Pastor Elias membuat kelompok tani dan mengembangkan kebun sawit secara swadaya. Hasilnya digunakan untuk membiayai kebutuhan hidup, pendidikan dan hari tua para pastor.

Barulah pada tahun 2019, PT Dermali melapor ke Polda Riau dengan dugaan tindak pidana menduduki lahan tanpa izin. Kasusnya ditingkatkan ke penyidikan beberapa bulan lalu.


Selalu Bayar Pajak

Untuk Bathin Musa, sebagai ketua Suku Sakai yang tahu asal muasal tanah ini sudah tidak bisa diajak komunikasi lagi. Usia yang sudah menginjak 100 tahun membuat Bathin Musa sulit berbicara.

Cucu Bathin Musa, Bathin Abiyan, ketika dikonfirmasi tak mengetahui persis kronologis lahan tersebut. Dia hanya membenarkan memang ada PT Dermali di daerahnya.

"Setahu saya, PT Dermali itu baru membuat kebun 700 hektare," katanya.

Sejak beroperasi, Bathin Abiyan menyebut Sakai sebagai suku asli Bengkalis tidak mendapat pola kemitraan atau plasma dari PT Dermali. Begitu juga dengan bantuan lainnya untuk pembinaan petani.

"Kami itu hanya dapat bantuan dari PT Chevron, mengelola bank sampah, perusahaan lain tidak ada," katanya.

Sementara kuasa hukum Elias Sembiring, Andreas Fransiskus Hutajulu SH dan kantor pengacara Andrian & Samuel Attorneys At Law mengaku heran dengan laporan PT Dermali ini.

"Klien saya membeli, ada surat-aurat, diketahui Bathin, kenapa pembeli dipidanakan," kata Andreas.

Kalau seandainya tanah kliennya itu ilegal, tambah Elias, tidak mungkin setiap tahun membayar pajak. Apalagi ada nomor registrasi dari kecamatan setempat untuk lahan kliennya itu.

"Ngapain kami bayar pajak bumi dan bangunan kalau tanah itu ilegal, kami ada bukti bayar pajaknya" cetus Andreas.

Andreas mengaku pernah diajak bermediasi oleh kuasa hukum PT Dermali di Medan. Hanya saja buntu karena perusahaan menawarkan ganti rugi Rp300 juta.

"Klien kami beli Rp4,8 miliar lho bang tanah itu, tidak sesuai dengan pengeluaran pengelolaan kebun yang ditaksir sudah hampir Rp7 miliar," ucap Andreas.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya