Liputan6.com, Jakarta Bagi orangtua yang bekerja di rumah sembari harus berperan membimbing anak untuk belajar dari rumah, kondisi semacam itu bisa menimbulkan stres.
Psikolog klinis Tara de Thouars mengatakan bahwa stres yang muncul pada orangtua ketika berkegiatan di rumah juga terkait dengan adanya ekspektasi.
Advertisement
"Situasi stres akan terjadi apabila kita punya ekspektasi tertentu tetapi ekspektasi kita tidak bisa terealisasi. Itu biasanya akan menimbulkan stres," kata Tara dalam sebuah seminar daring oleh Allianz Indonesia pada Kamis (24/9/2020).
Tara mengatakan, dalam situasi WFH (work from home) dan SFH (school from home), orangtua sering berekspektasi dirinya bisa melakukan sesuatu dengan baik ketika mendapatkan peran baru sebagai guru, pekerja, suami, atau istri.
"Contohnya ibu merasa, 'saya harus bisa mengajarkan anak dengan sempurna, dengan baik, kalau tidak nanti siapa lagi yang mengajari' tapi di waktu yang sama, 'saya mendapat pekerjaan dari atasan yang juga harus dilakukan dengan baik, sekaligus harus tetap masak enak buat keluarga, sekaligus harus tetap melayani suami.'"
"Jadi terbayang semua ekspektasi ini kalau kita berharap bisa mengerjakan semua itu dengan baik, itu pasti akan menimbulkan stres yang sangat tinggi."
Simak Juga Video Menarik Berikut Ini
Ekspektasi Tak Sesuai Realita
Selain itu, stres juga bisa muncul dari pekerjaan yang muncul terus menerus secara berlebihan ketika di rumah.
"Bisa jadi beban kerja yang diberikan oleh kantor juga tidak berkurang lho. Malah sebagian besar bertambah banyak load-nya atau bahkan waktunya tidak ada jadi patokannya," kata psikolog dari klinik Lighthouse ini.
Terakhir, ekspektasi orangtua terhadap anak pun juga bisa memicu stres.
Tara mengatakan, seringkali orangtua berpikir bahwa anak akan meringankan bebannya. Contohnya, anak diharapkan bisa mandiri dan belajar dengan cepat sehingga orangtua tak perlu mengurusi hal-hal kecil. Namun, harapan ini tak sesuai dengan realitas dan terjadi sebaliknya.
Ia menambahkan, hal ini tak hanya sebatas pada ekspektasi saja. Tara mengatakan, ketika seseorang tidak menyukai sesuatu, kondisi itu harusnya tidak berpengaruh pada mentalnya.
"Kalau itu begitu mempengaruhi mental kita, berarti harusnya ada sesuatu yang lebih besar lagi di balik ini semua," kata Tara.
"Jadi kalau dalam situasi SFH dan WFH ini, saya banyak menemukan dari pasien bahwa mereka tidak sekadar rumah berantakan atau ada hal yang tidak sesuai perencanaan, tetapi punya ketakutan tidak mampu, takut menjadi ibu yang buruk, takut gagal dalam pekerjaan, takut tidak sesuai, takut tidak sempurna."
"Ketakutan-ketakutan ini yang memicu emosi kita jadi lebih intens."
Advertisement