Liputan6.com, Jakarta Inggris dikabarkan berencana melakukan studi vaksin COVID-19 dengan cara memberikan paparan virus corona penyebab penyakit tersebut, ke sukarelawan yang telah divaksinasi.
Meski berisiko, namun pendekatan ini dinilai akan mampu menghasilkan hasil studi yang lebih cepat dibandingkan cara-cara yang biasa dilakukan dalam uji klinis suatu vaksin.
Advertisement
"Diskusi ini adalah bagian dari pekerjaan kami untuk meneliti cara-cara mengobati, membatasi, dan diharapkan mencegah virus agar kita bisa mengakhiri pandemi dengan cepat," kata United Kingdom Department for Business, Enterprise, and Industrial Strategy dalam pernyataannya seperti dikutip dari AP News pada Jumat (25/9/2020).
Financial Times melaporkan, pengumuman lanjutan terkait studi yang didanai oleh pemerintah ini akan dilaporkan pekan depan. Kemungkinan, penelitian ini akan dimulai di London pada Januari tahun depan.
Nantinya, para relawan yang sudah diberikan vaksin COVID-19 akan dipaparkan virus SARS-CoV-2. Mereka lalu akan diawasi secara ketat dalam sebuah fasilitas karantina selama satu bulan.
Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini
Adanya Risiko pada Peserta
Dikutip dari The Guardian, "human challenge studies" semacam ini bukan hal baru dan sudah dilakukan sejak akhir abad ke 18. Dokter Edward Jenner, penemu vaksin cacar, telah melakukannya ketika menginokulasi seorang anak laki-laki delapan tahun dengan virus cacar sapi, lalu memaparkannya dengan cacar.
Metode ini juga digunakan dalam penelitian vaksin tifus, kolera, dan malaria. Namun, beberapa pakar ragu untuk melakukan paparan semacam ini mengingat penyakit yang diuji belum ada obatnya.
Selain itu, Juli lalu, Kelompok Kerja Vaksin di National Institutes of Health (NIH) Inggris menyatakan dalam makalah di The New England Journal of Medicine, bahwa risiko studi semacam ini sangat tidak dapat diprediksi, bahkan bisa membunuh beberapa orang berusia muda yang sehat.
"Satu kematian atau penyakit parah pada sukarelawan sehat akan menjadi tidak beralasan dan akan menghambat pengembangan," kata mereka.
Untuk meminimalkan risiko, para ilmuwan pun harus merencanakan studi ini terlebih dahulu dengan mengembangkan strain virus baru yang tidak terlalu kuat di laboratorium berkeamanan tinggi.
Mereka juga harus menentukan dosis yang tidak akan membuat sukarelawan terlalu bergejala parah. Proses ini dirasa akan melelahkan dan memakan waktu.
Advertisement
Pemahaman yang Lebih Cepat
Setidaknya, sudah ada sekitar 2 ribu sukarelawan di Inggris yang telah mendaftar ke gerakan 1Day Sooner, yang berkampanye dan mengajukan petisi ke parlemen Inggris untuk mengizinkan studi ini agar bisa segera dimulai.
Dr. Peter Horby, profesor penyakit menular darurat dan kesehatan global di University of Oxford mendukung gagasan ini. Ia mengatakan bahwa risiko pada orang muda dan sehat pun rendah.
Horby juga menambahkan, pengobatan untuk COVID-19 yang bergejala pun sudah ada. "Ini memiliki potensi nyata untuk memajukan sains dan membawa kita pada pemahaman yang lebih baik tentang penyakit dan vaksin dengan lebih cepat," ujarnya.
"Ada sejumlah manfaat, tidak hanya vaksin tetapi juga pemahaman yang lebih baik tentang tanggapan kekebalan terhadap virus," kata Horby.
Pada Mei lalu, World Health Organization mengeluarkan laporan tentang pertimbangan etis terhadap "challenge study." Mereka telah menetapkan kriteria yang dibutuhkan untuk membenarkan penelitian semacam ini.
Beberapa di antaranya termasuk meminimalkan potensi risiko bagi peserta, memastikan mereka masih muda dan sehat, memberikan perawatan suportif apabila terjadi kesalahan, serta mengamanatkan "persetujuan berdasarkan informasi yang ketat."
Infografis: Perjalanan Wabah dan Vaksinnya
Advertisement