Keputusan Parlemen Tunda Reformasi Konstitusi Tuai Kemarahan Demonstran Thailand

Kemarahan pengunjuk rasa di Thailand terjadi ketika Parlemen memutuskan untuk menunda reformasi konstitusi.

oleh Natasha Khairunisa AmaniLiputan6.com diperbarui 25 Sep 2020, 14:53 WIB
Pemimpin mahasiswa pro demokrasi mengibarkan salam tiga jari, simbol perlawanan saat aksi protes di Bangkok, Thailand, Minggu (20/9/2020). (AP Photo/Wason Wanichakorn)

Liputan6.com, Bangkok- Anggota parlemen Thailand memutuskan untuk menunda keputusan tentang reformasi konstitusi pada 24 September 2020. 

Dilansir VOA Indonesia, Jumat (25/9/2020), keputusan itu kemudian memicu kemarahan pengunjuk rasa di luar parlemen, yang menuntut perubahan pada konstitusi yang disusun militer dan reformasi kerajaan yang tidak bisa tersentuh. 

Anggota parlemen diharapkan memberikan suara untuk membentuk sebuah rancangan komite reformasi. Pemberian suara untuk membentuk rancangan komite reformasi itu diharapkan dapat berperan sebagai tanggapan atas gerakan pro-demokrasi yang sedang berkembang. 

Pekan lalu, gerakan tersebut melibatkan 30.000 demonstran, sebuah unjuk kekuatan terbesar di kerajaan itu sejak kudeta 2014. Namun, penundaan diputuskan terhadap langkah pemungutan suara itu, ketika partai yang berkuasa mengusulkan agar komite parlemen mempelajari lebih lanjut enam amandemen yang diusulkan.

Saat berada di antara lebih dari seribu pengunjuk rasa di luar parlemen, penyelenggara Tattep "Ford" Ruangprapaikitseree mengatakan bahwa pemerintah berusaha "mengulur waktu" dengan langkah tersebut.

Ia juga menyebutkan bahwa hal tersebut menunjukkan ketidaktulusan mereka terhadap rakyat Thailand dan tidak bisa diterima.

Saksikan Video Berikut Ini:


Plakat Rakyat dalam Aksi Unjuk Rasa

Demonstran pro-demokrasi menghadiri protes di Sanam Luang dengan The Grand Palace menyala di latar belakang di Bangkok, Thailand (19/9/2020). (AP Photo/Sakchai Lalit)

Saat para penjaga keamanan melakukan pengawasan, para pengunjuk rasa tampak berdiri di atas pagar untuk memasang stiker pro-demokrasi di puncak gerbang parlemen yang tertutup.

Pengunjuk rasa lainnya juga dilaporkan tampak menyemprotkan cat stensil pada sebuah plakat yang dipasang selama protes akhir pekan di taman Sanam Luang yang bersejarah.

Kemudian, "Plakat Rakyat" itu dicabut polisi.

Plakat tersebut diketahui merujuk pada sebuah plakat yang memperingati berakhirnya absolutisme kerajaan pada 1932, yang tiga tahun lalu menghilang secara misterius. 

Didukung oleh militer kerajaan dan klan miliarder kerajaan, Raja Maha Vajiralongkorn duduk di puncak kekuasaan Thailand. Keluarga kerajaan menikmati dukungan dari sebagian besar kaum konservatif yang lebih tua. 

Pada 23 September, puluhan di antaranya menuju parlemen untuk mengajukan petisi yang menentang perubahan konstitusi dengan 130.000 tanda tangan. 

Raja tersebut diketahui menghabiskan sebagian besar waktunya di Eropa. Namun menurut laporan media setempat, pada 24 September, ia sedang berada di Bangkok untuk menghadiri peringatan Hari Pangeran Mahidol, dan meletakkan karangan bunga di patung kakeknya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya