Liputan6.com, Jakarta - Sungai dianggap semata 'halaman belakang', tak lagi dipersepsikan sebagai sumber kehidupan, apalagi tempat peradaban terbentuk. Padahal, keberadaannya, diakui maupun tidak, punya peranan penting dalam kehidupan manusia.
Sebelum ketidakpedulian ini tertanam lebih dalam, upaya pemberdayaan sungai sudah seharusnya kembali digalakkan. Satu dari sekian banyak opsi yang ditempuh adalah dengan mengubah sungai jadi destinasi wisata.
Indonesia sendiri punya banyak tawaran wisata sungai. Mulai dari Sungai Kampar dengan ombak Bono yang jadi destinasi primadona bagi peselancar dunia di Riau, hingga pasar terapung ikonis di Sungai Barito, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Baca Juga
Advertisement
Beberapa sungai di perkotaan pun bermaksud menambah panjang daftar itu. Sebut saja kawasan Kali Besar Kota Tua, Jakarta, yang telah mengubah parasnya sejak pertengahan tahun lalu. Mengutip laman Antara, Sabtu, 26 September 2020, proyek ini rupanya didesain menyerupai area Sungai Cheonggyecheon di Seoul, Korea Selatan.
Kali Besar Kota Tua disulap jadi lebih modern dengan dermaga terapung. Kawasan rekreasi publik di antara deretan gedung bergaya kolonial ini juga dihiasi berbagai macam bunga yang mempercantik area tersebut.
Kemudian, ada pula revitalisasi Kalimas di Surabaya, Jawa Timur. Sejak tahun lalu, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya mengembangkan wisata sungai Kalimas bersama Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA).
Menyusuri Kalimas menggunakan perahu wisata dijelaskan mirip seperti menelusuri peradaban kota Surabaya, mulai dari zaman kerajaan, kolonial, hingga milenial. Perjalanannya kian menyenangkan dengan tambahan aksen lampion dan pemugaran area di sekitar Kalimas.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pemanfaan Sungai sebagai Destinasi Alam
Tak hanya di kota, pemanfaatan sungai sebagai destinasi wisata pun terjadi di banyak wilayah lain. Salah satunya di Desa Darsono, Kecamatan Pringkuku, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur.
Sudah beberapa tahun lalu sejak warga setempat memberdayakan Sungai Maron sebagai obyek wisata. Nuansa asri sekitar sungai membuatnya disebut-sebut sebagai Amazon dari Pacitan.
Agus Priyanto selaku kepala dusun setempat menjelaskan, awalnya Sungai Maron semata dimanfaatkan untuk mengairi sawah petani. Namun, di satu waktu, ada turis yang menyewa perahu warga untuk menyusuri sungai.
Dari situ, pihaknya menyadari potensi wisata Sungai Maron. Efek domino dari pemanfaatan ini pun perlahan tampak. "Sekarang masyarakat sangat meningkat kesadarannya (menjaga kebersihan sungai)," katanya lewat pesan pada Liputan6.com, Jumat, 25 September 2020.
Perawatan sungai pun terus dilakukan lewat pembersihan rutin setiap Jumat pagi dengan melibatkan warga dan Kelompok Usaha Bersama (KUB). Juga, menambah benih ikan untuk nantinya jadi nilai tambah sungai.
Warga pun dilarang membuang sampah ke sungai dan menebang pohon di pinggirnya. Pihaknya bahkan terus berupaya menanam lebih banyak pohon, terutama di sepanjang daerah aliran sungai.
"Wisatawan pun selalu diingatkan untuk menjaga kebersihan. Misal, jangan buang sampah ke sungai, cukup ditaruh di perahu semisal mereka bawa bekal makanan maupun minuman," kata lelaki yang juga aktif dalam Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) tersebut.
Beroperasi selama pandemi, Agus menjelaskan, pihaknya mewajibkan wisawatan selalu memakai masker dan rutin cuci tangan. "Ada pemeriksaan suhu juga. Kalau lebih dari 37 derajat (celcius), kami isolasi dulu ke tempat yang sudah disediakan. 30 menit kemudian dicek kembali," ucapnya.
Bila masih bersuhu lebih dari batas tersebut, pihaknya mempersilakan pengunjung untuk kembali lain waktu. Kemudan, terdapat pula aturan jaga jarak selama di lokasi, mulai dari loket sampai di atas perahu.
Petugas di atas perahu pun memakai berbagai peralatan, seperti sarung tangan, masker, dan pelindung wajah. "Harus sesuai jalur karena kami buat pintu masuk dan keluar supaya tak ada kerumunan," tandasnya.
Advertisement
Perjalanan Masih Panjang
Menurut Nyoman Sukma Arida, Dosen Fakultas Pariwisata Universitas Udayana, perjalanan pengembangan wisata sungai masih panjang, terutama di wilayah perkotaan. "Masih banyak problem di sungai kita," katanya melalui teks, Jumat, 25 September 2020.
Sungai, kata Nyoman, belum jadi area membanggakan sehingga layak untuk dipertontonkan. Selama ini, pariwisata adalah soal kelebihan, bahkan kalau bisa keunikan. Sungai harus dipugar lebih dulu sehingga ekosistemnya kembali bersih, hijau, dan natural. "Dan itu akan lama," imbuhnya.
Jalan singkatnya, papar Nyoman, sungai bisa 'dijual' dengan pendekatan berbeda, yakni dikemas apa adanya dan memancing tumbuhnya eco volunteer tourism dari sana. Misal, jual paket membersihkan plastik di Sungai Tukad Badung.
"Selama tur, turis diajak melakukan aksi membersihkan plastik dan berinteraksi dengan warga sekitar sungai. Dengan hadirnya turis sebagai relawan, diharapkan masyarakat bantaran kali akan malu membuang sampah ke sungai. Berikutnya mereka mau terjun jadi relawan lingkungan menyelamatkan sungai," ungkapnya.
Sebagai contoh, Nyoman menyambung, di Jakarta pernah populer 'wisata kemiskinan', di mana orang asing diajak blusukan ke kampung-kampung kumuh, lalu berinteraksi dengan masyarakat, sekaligus berdonasi.
"Ini pernah menimbulkan kontroversi, terutama dari pemerintah. Namun, secara akademik, ini menarik karena dengan pariwisata minat khusus tersebut bisa jadi kegiatan advokasi masyarakat marginal," katanya.
Jika terealisasi, turis akhirnya tak cuma sebatas penikmat destinasi wisata, namun juga bertanggung jawab dalam melestarikan destinasi yang dikunjungi.