Dewan Jenderal, Hoaks yang Memicu Tragedi G30S

Sebelum G30S/PKI, berembus kabar adanya Dewan Jenderal yang hendak merebut kekuasaan dari Sukarno. Tak hanya PKI, loyalis Sukarno dari AD juga disebut percaya.

oleh Muhammad AliDelvira Hutabarat diperbarui 30 Sep 2020, 11:12 WIB
(Ist)

Liputan6.com, Jakarta - Hawa panas menyelimuti ruangan kediaman Jenderal AH Nasution di Teuku Umar No.40 Jakarta Pusat, Jumat dinihari, 1 Oktober 1965 silam. Serangan nyamuk-nyamuk ke tubuh Ade Irma yang tengah tertidur pulas, membuat Nasution berupaya melindungi sang buah hatinya tersebut. Sang jenderal berupaya membubarkan nyamuk yang tengah berpesta mengisap darah.

Di tengah kesibukannya menjaga Ade Irma dari serbuan para nyamuk, tiba-tiba Ia dikejutkan suara gaduh dari arah depan rumahnya. Bunyi itu bukan sesuatu yang biasa. Beberapa kali suara letusan tembakan terdengar.

Istri Nasution, Sunarti yang juga bangun kala itu, langsung bergegas keluar kamar. Dia membuka kunci pintu depan. Namun sebelum pintu dibuka, pikiran buruknya langsung muncul begitu melihat rombongan tentara berseragam Tjakrabirawa yang tergabung dalam pasukan Pasopati, sudah merangsek di depan rumahnya.

Dia pun kembali ke kamar tanpa mengunci kembali pintu tersebut. Sunarti mengabarkan kepada suaminya bahwa yang datang adalah Tjakrabirawa.

Pasukan Pasopati sendiri merupakan tim yang berkekuatan kurang dari satu batalyon resimen Tjakrabirawa yang di dalamnya terdapat unsur Brigif-1 Jayasakti, satu kompi batalyon infanteri 454/Riders, dan peleton-pleton dari sukarelawan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pasukan Pasopati ini dipimpin Letnan Satu (Infanteri) Dul Arief dari resimen Tjakrabirawa di bawah komando Letkol Untung Samsuri.

Demikian itu dilansir dari Agus Salim dalam Tragedi Fajar, Perseteruan Tentara-PKI dan Peristiwa G30S.

Usai mengetahui ada tamu tak diundang, insting seorang istri berbicara agar Nasution tidak keluar kamar. Dia memohon Nasution agar tetap di dalam. Sunarti menyimpan firasat buruk atas kedatangan pasukan elite penjaga Presiden Sukarno tersebut. Tak sadar, suara bicara keduanya membuat Ade Irma terbangun yang lantas menghampiri dan berdiri di dekat sang Ibunda. Nasution yang kurang yakin dengan penjelasan istrinya, memutuskan untuk keluar rumah.

Mobil dinas Jenderal AH Nasution yang menjadi saksi kasus 30 September 1965. (Istimewa)

“Saya akan bicara sendiri dengan orang-orang itu,” ujar Nasution dalam otobiografinya, Memenuhi Panggilan Tugas Jilid VI: Masa Kebangkitan Orde Baru.

Tekad kuat Nasution untuk menemui mereka tak dapat dibendung lagi, kendati telah dihalangi oleh sang istri. Namun alangkah terkejutnya saat membuka pintu kamar, Ia mendapati pasukan Pasopati itu sudah merapat di depan kamar. Spontan, dia pun langsung membanting pintu. Brakk...!!! tak berapa lama, renteten tembakan menyalak dari luar kamar. Nasution tiarap. Dan Sunarti pun bersusah payah untuk kembali mengunci pintu tersebut.

“Beberapa Tjakrabirawa menggasak pintu dengan senjata, sampai retak-retak,” kata Nasution.

Di tengah kekalutan suasana, tanpa mengindahkan maut yang menyasar dirinya, Sunarti menarik Nasution untuk lari keluar kamar. Melalui kamar sebelah dan lorong di depan toilet, Nasution lari menuju ke samping rumah. Dia pun memanjat tembok pembatas rumahnya dengan gedung Kedutaan Besar Irak kedutaan Irak.

“Saya naik ke tembok. Dari atas tembok saya menoleh, dan baru jelas betul bahwa anak perempuan saya Ade terkena tembakan di bagian punggungnya,” kenang Nasution.

Dari atas tembok, hati Nasution tercekat bercampur pilu menyaksikan buah hati tercintanya berlumuran darah. Terbersit pikiran untuk kembali turun dan membalas tindakan biadab para prajut itu. Namun Ia dicegah oleh Sunarti. “Selamatkan diri! Selamatkan diri!” teriak Sunarti.

Sejumlah Pramuka mengabadikan patung tujuh pahlawan revolusi di Monumen Pancasila Sakti, Jakarta, Selasa (29/9/2015). Pemerintah akan mengadakan upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober mendatang. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Sejurus imbauan Sunarti, rentetan tembakan tiba-tiba terdengar. Nasution langsung tersadar. Dia pun meloncat ke halaman Kedubes Irak dan bersembunyi di balik tumpukan drum di pekarangan gedung tersebut.

Tentara bersenjata ini tak berhasrat untuk menyelidiki lebih jauh sosok yang melompat tembok tersebut. Mereka bisa jadi menyadari akan memberikan efek negatif bagi diplomatik Indonesia - Irak jika memasuki pekarangan kedubes.

Jelang pukul 05.00 WIB, lengkingan pluit terdengar menyaring. Suaranya menembus kesunyian pagi buta. Sejurus kemudian, puluhan orang bersenjata muncul dari setiap sudut rumah Nasution. Mereka bergegas naik ke kendaraan masing-masing; 3 truk dan dua jip.

Ajudan Nasution, Letnan Satu Pierre Andreas Tandean turut diangkut dalam operasi itu, dan akhirnya ditembak mati yang jasadnya dimasukkan ke sumur tua di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Nasution akhirnya selamat dari maut. Pasukan Pasopati meluncur meninggalkan Teuku Umar Jakarta dengan membawa kegagalan menculik sang jenderal . "Saya lolos karena 'tangan Tuhan'," kata Nasution dalam Kisah Mencekam Perebutan Bandara Halim Perdanakusuma pada Pemberontakan G30S.

Ternyata malam durjana itu bukan hanya dirasakan Jenderal AH Nasution saja. Pasukan yang dipimpin Letkol Untung Samsuri juga menyasar 6 jenderal lainnya. Namun nasib mereka tidak semujur Nasution. Para jenderal itu gugur di tangan para tentara bersenjata. Mereka diculik dan dibunuh serta jasadnya dimasukkan ke dalam sumur di Lubang Buaya, Jakarta.

Para jenderal yang diculik pada malam yang berakhir tragis adalah Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi), Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi), Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan).

Kemudian Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen), Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik), Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat).

Selain itu, ada juga beberapa orang lainnya yang turut menjadi korban dalam operasi ini. Mereka adalah Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena), Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta), Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta).

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Desas Desus Dewan Jenderal

Sejumlah pengunjung melihat dioarama di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta, Minggu (1/10). Bertepatan dengan hari Kesaktian Pancasila, mereka melakukan napak tilas peristiwa G30S. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Bagi pasukan G30S, Nasution yang kala itu menpejabat Menko/KSAB menjadi target utama terkait sikapnya yang selama ini tanpa kompromi terhadap PKI serta pandangannya yang selalu berjarak dengan Presiden Sukarno

Meski sudah melepaskan jabatan KSAD pada 1962, Nasution sang perwira paling senior dan satu-satunya yang menyandang pangkat jenderal saat itu dinilai memiliki pengaruh yang masih kuat pada TNI Angkatan Darat. Bahkan dalam isu dewan jenderal serta draf kabinet dewan jenderal disebutkan Nasution akan didudukkan sebagai pejabat perdana menteri.

Desas-desus soal adanya Dewan Jenderal ini mencuat sebelum tragedi berdarah itu terjadi. Dewan Jenderal ini berisikan anggota dari sejumlah jenderal Angkatan Darat yang dikatakan sedang merancang rencana untuk menggulingkan pemerintahan yang kala itu dipimpin Sukarno. Momentum terdekatnya adalah peringatan Hari ABRI 5 Oktober 1965. Ditambah suhu politik di Jakarta kala itu sedang genting.

Dokumen CIA juga pernah melacak kebenaran Dewan Jenderal ini. Namun lebih banyak sumber mengatakan isu tersebut masih dalam bentuk wacana. Kendati demikian, untuk memahami kebenaran tentang Dewan Jenderal, menurut Sejarawan dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Romo Baskara T Wardaya, dapat terlebih dahulu mengetahui kegentingan kondisi saat itu.

“Ada konteks dalam negeri dan luar negeri,” kata Romo Baskara T. Wardaya kepada Liputan6.com, Kamis 24 September 2020.

Konteks luar negeri, jelas Romo, adalah Amerika ingin Sukarno dan PKI turun. Tidak hanya Amerika, Inggris juga disebut mulai gerah dengan sikap keras Sukarno terkait Malaysia. Kala itu, hubungan Indonesia-Malaysia memanas terkait rencana pembentukan Negara Federasi Malaysia. Sehingga Sukarno memunculkan kampanye ganyang Malaysia.

“Dari konteks luar negeri, memang sudah ada maksud menggulingkan Sukarno dan menghabisi PKI,” ucap Romo.

“Bung Karno juga yakin Amerika dan Inggris sedang berencana menurunkan dia. Jadi bukan hanya Bung Karno mencurigai beberapa orang tapi juga mencurigai Amerika dan inggris,” imbuh dia.

Sementara konteks dalam negeri, sudah menjadi rahasia umum bahwa ada ketegangan antara TNI AD dengan PKI yang saat itu begitu mesra dengan Sukarno. Ketegangan itu terkait perebutan siapa yang paling berkuasa.

“Konteks dalam negeri, memang terjadi ketegangan kekuasan antara PKI, Bung Karno dan AD. Mereka berebut ingin berkuasa,” ujar Romo.

Adanya dua faktor tersebut, menurut Romo, menjadi pemantik munculnya isu Dewan Jenderal yang berakhir tewasnya enam jenderal secara tragis.

“Konteks seperti itu layaknya jerami sudah kering, ada api kecil bisa menyala. Api kecil itu adalah Dewan Jenderal, api kecil adalah kabar Sukarno sakit keras, api kecil lain adalah Dubes Inggris menyebut beberapa dengan sebutan 'our local army friends',” jelas Romo Baskara

"Entah (Dewan Jenderal) hoaks atau bukan, ketiga kabar ini beredar. Info mengenai Dewan Jenderal sebagai salah satu pemantik atau pemicu ketegangan,” imbuh Romo Baskara T. Wardaya

Namun menurut dia, isu keberadaan Dewan Jenderal tak hanya diyakini oleh kalangan beberapa elite PKI saja. Melainkan juga ada dari tubuh AD yang mempercayai kabar tersebut.

“Yang yakin ada (Dewan Jenderal) itu sebenarnya bukan hanya PKI, tapi tampaknya juga AD yang loyalis Sukarno. Ini bukan hanya monopoli PKI melainkan loyalis Sukarno,” kata Romo.

Awalnya, kata dia, keyakinan terkait adanya Dewan Jenderal bukan merupakan sikap resmi PKI. Melainkan hanya keyakinan pimpinan PKI DN Aidit. Aidit diketahui memiliki kedekatan dengan Bung Karno.

“Yang yakin ada Dewan Jenderal bukan PKI sebagai partai tapi DN Aidit sebagai ketua partai dan biro khusus,” tegas Romo Baskara.

Hal itu karena menurutnya, yang mengetahui rencana gerakan 30 September hanya DN Aidit dan Sjam Kamaruzaman. Selain itu, cuma DN Aidit yang melarikan diri usai peristiwa pembantaian para jenderal tersebut. Sementara  pejabat PKI di Jakarta yang lain tidak ada yang kabur atau mempersenjatai diri untuk menghadapi serangan dari pasukan Angkatan Darat.

“Bahwa mereka (PKI) tidak mengorganisir diri, mempersenjatai diri, artinya mereka tidak menduga di Jakarta akan ada ramai (G30S). Selain itu, yang melarikan melarikan diri hanya DN Aidit. Kalau (PKI) tahu seharusnya paling tidak PKI Jakarta melarikan diri,” ujar Romo Baskara.

Oleh karena itu, Romo Baskara menjelaskan bahwa penamaan G30S/PKI kurang tepat. Sebab, Gerakan 30 September itu murni dilakukan militer.

“G30S itu murni kelompok militer. Pemimpinnya tiga kolonel Angkatan Darat. Mereka menamai sendiri gerakan 30 September yang anggotanya para loyalis Bung Karno,” jelasnya.

Romo menyebut, adanya DN Aidit tidak serta merta berarti yang memimpin Kolonel Untung dan kawan-kawan dalam pembantaian di malam 30 September itu. Sebab, dalam militer tidak ada teori militer dipimpin oleh sipil.

“Dalam dunia militer itu enggak ada pimpinan sipil, kecuali presiden. Jadi kalau Aidit pimpin G30S ya enggak mungkin,” katanya.

“Tentara menggandeng Aidit, tapi Aidit tidak gandeng anak buanya, karena anak buahnya 3 juta lebih,” tambahnya.

Selain itu, dalam G30S itu tidak diketahui pasti siapa pemimpin tertinggi. Romo Baskara menyebut, bisa jadi Letkol Untung Samsuri, namun dari segi pangkat, Untung hanya letkol.

“Jadi tidak jelas siapa pemimpin di tiga orang ini. Untung kan letkol. Latif kolonel, Soepardjo Brigjen. Menurut John Roosa (sejarawan) sistem komando gerakan ini kacau,” jelasnya.

 


Respons Sukarno Soal Isu Dewan Jenderal

Sementara terkait Bung Karno, Romo Baskara menyatakan belum ada dokumen yang menyatakan Sukarno mempercayai benar keberadaan Dewan Jenderal. Meski demikian, Sukarno memiliki firasat adanya gerakan dari Angkatan Darat untuk menggulingkan kepemimpinannya.

“Sepertinya Bung Karno merasa bahwa sedang ada gerakan untuk merebut kekuasan dari dia. Dia mendengar rumor, dia mendengar dari tentara Angkatan Darat yang loyal dengan dia,” ucap Romo.

Apalagi, Sukarno juga disebutkan mulai kewalahan menghadapi Angkatan Darat. Paham Nasakom yang digaungkan oleh Sukarno juga tidak mendapatkan dukungan dari Angkatan Darat. Ditambah, perintahnya untuk berkonfrontasi dengan Malaysia tidak dijalankan sepenuh hati sehingga menimbulkan anggapan Angkatan Darat tak loyal kepada Bung Karno.

"Kondisi ini mendorong Sukarno untuk tidak punya pilihan lain, kecuali mengganti Panglima Angkatan Darat, Letjen Ahmad Yani," kata Salim Said dalam bukunya Gestapu 65 PKI, Aidit, Sukarno, dan Soeharto terbitan Mizan, 2014.

Dengan begitu, Jenderal yang akan didapuk selanjutnya pengganti Yani akan sesuai dengan sosok pilihan Sukarno. Orang ini akan memberikan angin segar bagi kondisi politik kala itu.

"Pasca Yani akan lebih mudah diatur oleh Sukarno. Dengan cara itu diharapkan Angkatan Darat akan mendukung gagasan Nasakom dan lebih bersahabat kepada PKI seperti sikap angkatan udara di bawah Omar Dhani," ucap Salim Said.

PKI yang hubungannya terbilang mesra dengan Sukarno, juga menyimpan perseteruan hebat dengan Angkatan Darat. Gesekan keduanya semakin meruncing, seiring usulan PKI untuk membentuk angkatan ke-5 dengan mempersenjatai buruh dan tani ditolak TNI AD. Banyaknya aksi anti-Komunis yang digelar menambah panasnya situasi politik.

"PKI juga ikut melancarkan kampanye terhadap kelompok yang dituduh tidak loyal kepada Sukarno. Harian Rakyat, koran resmi PKI edisi 4 September bahkan secara terang-terangan menuduh para Perwira Angkatan Darat melancarkan taktik maling teriak maling dengan menyebut PKI yang sedang merencanakan sebuah kudeta," ujar Salim Said .

Selain itu, persaingan antara PKI dan Angkatan Darat pada masa itu juga terkait dengan rencana pembentukan Angkatan Kelima. Rencana yang diajukan PKI tersebut ditolak oleh Angkatan Darat.

"Di bawah pimpinan Jenderal AH Nasution dan Letnan Jenderal Ahmad Yani, Angkatan Darat juga menentang keras penyusupan kaum komunis dalam angkatan bersenjata. Berbagai pertentangan ini mendorong PKI menyebarkan isu adanya Dewan Jenderal yang berencana merebut kekuasaan dari tangan Sukarno," tulis Arin Kusumaningrum dalam Gerakan Makar 30S/PKI.

Sukarno yang mendengar isu Dewan Jenderal sebenarnya telah meminta klarifikasi kepada Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letjen Ahmad Yani. Pertemuan yang digelar di Istana Merdeka pada 26 Mei 1965 itu dihadiri ketiga panglima angkatan lain.

Di depan Sukarno, terkait dewan Dewan Jenderal, Ahmad Yani menyatakan dalam Angkatan Darat memang terdapat sebuah dewan yang anggotanya adalah para jenderal AD, namun dewan itu bukan Dewan Jenderal yang selama ini dicurigai. Dewan itu adalah Wanjakti atau Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi. Wanjakti ini bertugas memantau para perwira berpangkat Kolonel untuk dipersiapkan dan dipromosikan menjadi perwira tinggi.

"Dewan ini bukanlah sesuatu yang baru dalam lingkungan AD. Karena sebelumnya juga telah ada dewan Kolonel yang memiliki tugas untuk memantau dan menguji terhadap para perwira menengah yang berpangkat letnan Kolonel untuk dinaikkan menjadi Kolonel," tulis Agus Salim dalam Tragedi Fajar, Perseteruan Tentara-PKI dan Peristiwa G30S.

Mengakhiri klarifikasinya di hadapan presiden Sukarno, Ahmad Yani menyatakan bahwa seluruh slogarde Angkatan Darat akan selalu tetap taat dan setia kepada pemimpin besar revolusi presiden Soekarno dengan tanpa reserve.

Namun penjelasan dari Ahmad Yani itu tidak lantas menjadikan isu penting Dewan Jenderal itu telah selesai sama sekali. Bahkan di Jakarta, isu Dewan Jenderal semakin hari kian menguat seiring kencanganya ketegangan suhu politik Tanah Air sehingga dimungkinkan ada pihak-pihak menghendaki isu ini terus berembus.

"Dalam hal ini pihak yang disinyalir aktif untuk mengembuskannya adalah PKI karena jika isu Dewan Jenderal dan menguat maka partai tersebut akan mendapatkan keuntungan karena secara tidak langsung berhasil melakukan pukulan kepada lawan politiknya," tulis Agus Salim dalam Tragedi Fajar, Perseteruan Tentara-PKI dan Peristiwa G30S.

Dalam Buku Putih G30S/PKI terbitan Sekretariat Negara pada 1994 disebutkan, Ketua Umum PKI DN Aidit menyatakan gerakan merebut kekuasaan harus dimulai jika tak ingin didahului Dewan Jenderal. Gerakan ini pun dipimpin sendiri olehnya.

Terkait peristiwa gerakan 30 September, Aidit dikabarkan sempat membuat pengakuan sebanyak 50 lembar sebelum ditangkap pasukan pimpinan Kolonel Yasir Hadibroto. Pengakuan itu jatuh ke Risuke Hayashi, koresponden koran berbahasa Inggris yang terbit di Tokyo, Asahi evening news.

Menurut Asahi, Aidit mengaku sebagai penanggung jawab tertinggi gerakan 30 September. Rencana pemberontakan itu sudah mendapat sokongan pejabat PKI yang lainnya serta pengurus organisasi rakyat di bawah PKI. Alasan pemberontakan, disebutkan mereka tak puas dengan sistem yang ada.

"Misteri memang masih melingkupi peristiwa ini, menurut kami, PKI memang terlibat tapi terlibat seperti apa?" kata Adik DN Aidit, Murod Aidit dalam buku Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya