Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta pengelola Komplek Gelora Bung Karno (GBK) meninjau ulang kerja sama terkait 13 objek aset atau mitra kerja sama dalam pemanfaatan aset milik GBK. Dengan demikian, kerja sama yang terjalin dapat memberikan manfaat negara, terutama terkait pemasukan keuangan negara.
"Kontrak yang sedang berjalan harus tetap dihormati terlepas dari prosesnya dahulu. Prinsipnya penyesuaian kontrak harus dilakukan secara persuasif dan win-win," kata Koordinator Wilayah KPK Asep Rahmat Suwandha dalam keterangannya, Senin (28/9/2020).
Advertisement
Permintaan tersebut disampaikan Asep kepada pengelola GBK dalam rapat yang digelar secara daring pada Jumat, 25 September 2020. Dalam rapat tersebut turut dihadiri perwakilan dari Kementerian Sekretariat Negara (Kemsetneg).
Dalam rapat Asep mengatakan, akan segera mengundang para mitra terkait untuk mendapatkan masukan dari sisi mitra untuk memperjelas duduk persoalan. Hal tersebut, menurutnya, dilakukan KPK sebagai upaya fasilitasi, mediasi dan percepatan optimalisasi aset GBK.
Asep mengingatkan perlunya identifikasi target quick win untuk dapat dicapai dalam waktu dekat. Dengan demikian, diharapkan pada akhir Desember 2020 sudah ada titik terang terkait optimalisasi aset atau minimal komitmen para pihak untuk menyelesaikan tunggakan.
"Renaksi (rencana aksi) yang telah dipaparkan oleh pengelola GBK hari ini dibuat dalam kondisi capaian ideal. Karenanya, perlu juga dipikirkan beberapa alternatif renaksi," kata Asep.
Selain itu, Asep meminta pengelola GBK menganalisis dengan mempertimbangkan kebijakan relaksasi yang diambil oleh pemerintah dalam kondisi saat ini. Sehingga, solusi atau kerja sama yang terbangun ke depan menguntungkan kedua belah pihak dengan berpegang pada prinsip-prinsip yang tertuang dalam perjanjian maupun regulasi.
"Relaksasi bukan berarti mengurangi atau menghapus kewajiban. Para pihak tetap harus memenuhi kewajiban sesuai perjanjian dan peraturan yang ada," ucap Asep.
Sementara, Direktur Utama GBK Winarto menyampaikan daftar 13 objek aset serta mitra kerja sama dan permasalahan terkaitnya yang merupakan temuan dari BPK.
Pihaknya telah menyusun rencana aksi dengan melakukan pemetaan terhadap ke-13 objek aset yang saat ini dimanfaatkan atau dimiliki oleh pengusaha, lembaga pemerintah, hingga masyarakat, baik yang didasarkan atas perjanjian kerja sama maupun tidak.
"Selain pemanfaatan dan/atau penguasaan aset oleh pihak ketiga, kewajiban lainnya adalah terkait kontribusi aset komersil yang perlu ditinjau ulang," kata Winarto dalam rapat.
Winarto mencontohkan, salah satu mitra tercatat memiliki piutang sampai dengan 31 Agustus 2020 sebesar USD 101.062 untuk kewajiban atas bisnis utamanya dan sebesar Rp 2,5 miliar kewajiban bagi hasil atas pengelolaan bisnis sampingan.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Tidak Ada Kemajuan
Selain itu diketahui, terdapat bisnis baru tanpa adanya bagi hasil. Intinya, menurut Winarto, perjanjian yang ada saat ini tidak sesuai dengan PMK 136 tahun 2016 atau PMK 129 Tahun 2020.
"Tidak ada kontribusi variabel, sanksi keterlambatan pembayaran, tanggal pembayaran, terminasi, dan keadaan kahar," kata Winarto.
Winarto berharap hasil akhir pendampingan oleh KPK dapat menyesuaikan kerja sama dengan mitra-mitra tersebut berdasarkan peraturan, dengan bagi hasil yang lebih baik.
Sementara itu, Sekretaris Kemensetneg Setya Utama menyampaikan upaya penyelesaian aset ini sudah dimulai sejak tahun 2016 karena ada desakan dari Komisi II DPR dan menindaklanjuti rekomendasi temuan BPK. Bahkan, menurutnya, panitia kerjanya sudah mengundang mitra bisnis dari GBK menanyakan kontribusi dan lain-lain.
"Namun, dalam pelaksanaannya sulit bahkan tidak ada kemajuan ketika kita bicara angka-angka. Semoga kerja sama dengan KPK dapat membuat para mitra bisnis berkontribusi lebih baik," kata Setya.
Advertisement