Liputan6.com, Jakarta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mencatat penerimaan cukai dari Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) pada 2019 mencapai Rp 247,1 miliar. Jumlah ini setara 78,7 persen dari potensi penerimaan cukai HPTL saat itu sebesar Rp 542,5 miliar.
“Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal bea dan cukai, perkiraan produksi pada tahun 2019 ini sebanyak 1,7 juta pack setara dengan 34,7 juta batang nilai Iqos. Kemudian yang 4-liquid diperkirakan produksinya di Indonesia 15 juta botol atau setara 722,6 ribu liter,” papar Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Edy Sutopo dalam diskusi virtual, Senin (18/9/2020).
Advertisement
Lainnya, perkiraan produksi untuk molases sebanyak 2,2 juta pack atau setara 229,4 ton, produksi Pods sebanyak 721 ribu pack atau 1,6 juta Pods. Dan Perkiraan produksi Snus sebanyak 98,9 ribu pack atau 9,9 ton.
“Kalau kita lihat dari penerimaan Cukai dari Bea Cukai memperkirakan potensinya adalah Rp 542,5 miliar. Namun pada realisasi pada tahun 2019 mencapai Rp 427,1 miliar. Ini kalau kita lihat ada 238 pabrik yang aktif melakukan pemesanan pita Cukai, yang terbesar ini berasal dari Bandung,” kata dia.
Adapun capaian penerimaan tertinggi cukai PTL berdasarkan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Bandung senilai Rp 109,5 miliar. Sementara untuk capaian terendah berasal dari KPPBC Lhokseumawe. Yakni sebesar Rp 21,9 juta dengan 39 KPPBC yang aktif melakukan pemesanan pita cukai.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Petani Tembakau Tegas Tolak Simplifikasi dan Kenaikan Cukai Rokok di 2021
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI) Lestarie Moerdijat, memahami suara dan sikap Petani Tembakau nasional yang menolak keinginan Kementrian Keuangan yang akan menerapkan kebijakan Simplifikasi Cukai Rokok, pada tahun 2021 mendatang.
Lestarie Moerdijat meminta para petani tembakau menggalang dukungan yang lebh luas dari masyarakat. Termasuk berdialog dengan Komisi IV yang membidangi masalah perkebunan, Komisi XI yang membidangi masalah anggaran dan komisi-komisi lainnya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI). Sehingga keberatan tersebut pada akhirnya dapat disampaikan langsung oleh DPR RI kepada pemerintah. Baik Presiden maupun Menteri Keuangan.
“Sebenarnya tupoksi masalahnya ada di DPR RI, karena itu sebaiknya masyarakat Petani Tembakau atau industri hasil tembakau menyampaikan hal ini ke kawan kawan DPR RI. Saya sendiri sebagai anggota DPR RI akan menampung dan berusaha menyampaikan aspirasi dari masyarakat industri hasil tembakau ke komisi yang berkaitan di DPR RI," kata dia di Jakarta, Selasa (22/9/2020).
"Saya juga akan minta Fraksi Nasdem dan kawan kawan dari Fraksi Nasdem di Komisi IV untuk bisa memfasilitasi dan meneruskan suara masyarakat petani tembakau atau masyarakat industri hasil tembakau ke pihak -pihak yang berkompeten,” lanjut dia.
Menurut Lestari Moerdijat, isu tembakau selalu menjadi isu yang seksi dan hangat di bicarakan. Di satu sisi digugat oleh aktifis kesehatan. Setiap tahun selalu ada gerakan masyarakat anti rokok.
Di sisi lain, cukai rokok menjadi salah satu sumber pendapatan negara. Bukan hanya lewat cukai, industri rokok juga membuka lapangan pekerjaan dan menggerakan roda perekonomian nasional di kota maupun di daerah daerah. Memberikan keuntungan dan pendapatan bagi negara dan masyarakat.
“Karena itu saya sepakat dengan pendapat dan masukan pengurus APTI. Apapun permasalahannya, harus didudukan sesuai konteksnya. Harus duduk bersama diputuskan secara bersama, mencari jalan keluar yang terbaik. Karena itu, Masyarakat industri hasil tembakau atau pengurus APTI harus selalu berdiskusi dan melakukan konsolidasi melalui saluran yang benar dan tepat. Salah satunya lewat DPR RI sebagai wakil rakyat,” papar Lestari Moerdijat.
Masyarakat IHT yang diwakili Pengurus APTI mengadakan diskusi dengan wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat dan beberapa anggota DPR RI dari Fraksi Partai Nasdem, menyampaikan sikap masyarakat IHT yang keberatan atas rencana kenaikan. Kembali tarif cukai rokok di tahun 2021 sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) RI NO.077/2020. Dalam PMK tersebut selain akan Kembali menarikan tarif cukai di tahun 2021 pemerintah juga berkeinginan memberlakukan simplifikasi Penarikan cukai rokok.
Padahal Cukai rokok sudah dinaikan pemerintah lewat PMK No 152/2019 sebesar 23 persen. Sementara rencana Simplifikasi cukai hanya akan menguntungkan satu perusahaan rokok besar dari luar negeri dan mematikan industri rokok kelas menengah dan kecil yang berproduksi di tanah air.
“Sebaiknya pemerintah menunda rencana pemberlakukan kebijakan simplifikasi penarikan cukai rokok. Jika kebijakan tersebut jadi dilaksanakan, hanya akan menguntungkan satu perusahaan rokok besar asing, dari Amerika yang memang menginginkan adanya penerapan simplifikasi cukai," ungkap Ketua APTI Jawa Barat Suryana.
"Sementara perusahaan rokok kelas menengah dan kecil nasional akan mati. Karena dipaksa membayar cukai rokok lebih besar dan lebih mahal. Jika industri rokok menengah dan kecil mati, akan menyusahkan para petani tembakau. Juga akan menciptakan monopoli industri dan produksi serta penjualan rokok di tanah air. Ini merugikan kita semua,” tegas dia.
Advertisement