Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat pertumbuhan kredit pada Agustus 2020 hanya sebesar 1,04 persen (yoy). Perlu diketahui, angka tersebut lebih rendah dibandingkan penyaluran kredit per Juli 2020 yang mampu tumbuh sebesar 1,53 persen .
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya kredit lambat di bulan Agustus lalu. Pertama, adalah faktor permintaan yang masih lambat.
Advertisement
"Kredit di bulan Agustus memang rendah 1,04 persen. Dari sisi penawaran pemelahan kredit terjadi akibat faktor risiko kredit rendah," kata Perry dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI terkait Laporan Semester I Kinerja Bank Indonesia, di Komplek Parlemen, Senin (28/9/2020).
Kedua, kredit lambat ini, diperparah oleh risiko kredit yang masih membayangi perbankan. "Kalau dilihat lebih banyak faktor permintaan juga masih rendah," sambungnya.
Terakhir, Perry mengungkapkan faktor yang masih membayangi kinerja kredit perbankan ialah masih berlangsungnya pandemi. Imbasnya menghentikan sementara berbagai kegiatan ekonomi masyarakat.
Maka dari itu, Bank sentral mencatat saat ini kondisi tabungan masyarakat cenderung meningkat setelah tidak adanya mobilitas ekonomi. Bahkan angkanya lebih tinggi dibandingkan Juli lalu.
"Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) masih tinggi sampai 11 persen. lebih tinggi dari semester satu. Bahkan dari Juli yang hanya 7,95 persen. Ini karena masyarakat dalam konteks seperti ini pendapatannya lebih baik ditabung," paparnya.
Namun, BOS BI ini menilai kondisi sektor keuangan masih sangat kuat dan cenderung stabil. Sebagaimana terukur dari permodalan Lembaga jasa keuangan juga terjaga stabil pada level yang memadai. Dimana Capital Adequacy Ratio (CAR) bank umum konvensional (BUK) tercatat sebesar 23,16 persen.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
OJK: Kredit Bermasalah Bank Naik itu Wajar
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat sampai bulan Juli 2020, angka kredit bermasalah (NPL) gross naik menjadi 3,22 persen dibandingkan bulan sebelumnya 3,11 persen. NPL gross merupakan gabungan dari kredit macet, kurang lancar dan diragukan.
Menanggapi ini, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wimboh Santoso mengatakan dalam situasi perlambatan ekonomi akibat Covid-19, naiknya NPL tidak dapat dihindari.
"NPL meningkat ini situasi yang kita tidak bisa hindari. Kalau tidak naik malah jadi pertanyaan," kata Wimboh dalam konferensi pers virtual, Jakarta, Kamis (27/8/2020).
Namun, secara khusus angka kredit macet justru menurun di bulan Juli 2020 menjadi 1,12 persen dibandingkan pada bulan Juni 2020 mencapai 1,13 persen. Wimboh mengatakan hal ini didorong oleh penerapan POJK 11 tahun 2020 tentang restrukturisasi kredit.
Dia berharap restrukturisasi kredit ini bisa membuat industri keuangan semakin sehat. Apalagi angka NPL masih dinilai wajar dan jauh dari threshold 5 persen.
"Saya rasa peningkatan ini di tahap yang wajar, masih 3,22 persen, jauh dari minimum threshold. Kalau di atas 5 persen, bank bisa kita masuk untuk pengawasan intensif," tutur Wimboh.
OJK juga mencatat, rasio kecukupan modal (CAR) bank umum konvensional per Juli menguat 23,1 persen dibandingkan bulan sebelumnya 22,59 persen. Hal ini didukung faktor likuiditas yang terjaga karena adanya kebijakan strategis dari bank sentral yakni penurunan giro wajib minimum sebesar 200 bps untuk bank umum dan 50 bps untuk bank umum syariah.
Selain itu, dana pihak ketiga (DPK) pada Juli 2020 tumbuh 8,53 persen (yoy) atau Rp 6.308 triliun. Namun penyaluran kredit pada bulan Juli 2020 menurun 1,53 persen. Semula Rp 5.549 triliun pada Juni 2020 menjadi Rp 5.536 trilun.
Advertisement