Kegagalan Kudeta G30S dan Lolosnya Jenderal Besar Nasution dari Penculikan

Pasukan berseragam Cakrabirawa datang tanpa diundang ke rumah Nasution. Dengan beringas mereka memberondong siapa pun yang ditemui....

oleh Ika Defianti diperbarui 30 Sep 2020, 13:34 WIB
(Ist)

Liputan6.com, Jakarta - 30 September 1965 malam, udara yang sangat panas membuat nyamuk berseliweran di kamar Abdul Haris Nasution. Sang Jenderal Besar pun tak bisa memejamkan mata.

Kala hari berganti, masih dini hari, Nasution dan istrinya, Yohana Sunarti, serta putri bungsu mereka, Ade Irma Suryani, dikejutkan oleh desingan senjata.

Sekitar pukul 03.30-04.00 WIB, pasukan berseragam Resimen Cakrabirawa (pasukan pengawal kepresidenan) datang tanpa diundang. Mereka dengan beringas memberondong siapa pun yang ditemuinya di rumah yang terletak di Jalan Teuku Umar, Gondangdia, Menteng, Kota Jakarta Pusat.

Mereka diperintah harus membawa Nasution dan enam jenderal TNI AD lainnya dalam keadaan hidup ataupun mati.

Petrik Matanasi dalam buku Untung Cakrabirawa dan G30S menyebutkan, ada satu setengah kompi yang dikerahkan ke rumah para jenderal di Menteng yang terbagi menjadi tujuh kelompok atau regu.

Pasukan-pasukan ini menggunakan jalan bebas hambatan dari Lubang Buaya lalu memotong Jalan Rawamangun menuju Menteng.

Menurut Agus Salim dalam bukunya, Tragedi Fajar: Perseteruan Tentara-PKI dan Peristiwa G 30S, hampir dua pleton sendiri yang dikerahkan untuk menyeret Nasution ke Lubang Buaya. Jumlah pasukan yang lebih banyak daripada penjemput enam jenderal lainnya.

Agus Salim menyebut, Nasution merupakan target utama dalam operasi tersebut.

Ini terkait dengan sikap dan pandangannya terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI). Pengaruhnya dalam tubuh TNI juga disinyalir masih besar sebagai jenderal senior di sana.

Terlebih, Nasution merupakan Menteri Pertahanan dan Keamanan dan merangkap sebagai Wakil Panglima Besar Komando Tertinggi saat itu.

Tiba di rumah Pak Nas, sapaan akrab Nasution, Cakrabirawa membuka pagar dan membalas setiap gerakan kecil penjaga dengan tembakan.

Mereka kemudian masuk melewati pintu utama dan mencari Nasution di sejumlah ruangan.

Keadaan pun semakin mencekam. Buru-buru Sunarti menggendong Ade Irma yang masih berusia 5 tahun. Dia lalu mencegah Nasution membuka pintu kamar dan memintanya lari.

Setelah itu, Sunarti membuka pintu kamar dan disambut dengan tembakan pasukan Cakrabirawa.

Bekas prajurit Cakrabirawa, Sulemi menuturkan cerita yang agak berbeda. 1 Oktober 1965 dini hari, dia dan rekannya disambut oleh satu pleton penjaga kediaman Nasution yang berasal dari Kostrad. Mereka diantar ke rumah.

Namun, ketika masuk, 10 penjemput tak menemukan Nasution. Mereka lantas mencarinya di beberapa kamar. Tiba-tiba, dari salah satu kamar, Nasution membuka pintu.

Melihat ada tiga prajurit Cakrabirawa di depan pintu, Nasution kembali mengunci pintu. Sulemi lantas meminta Nasution membuka pintunya. Namun, tak ada jawaban.

Dua pasukan, Kopral Sumarjo dan Hargiono, membuka paksa kunci besi dengan rentetan senjata sten atau senapan serbu.

Muntahan peluru merusak pintu kamar Nasution hingga terbuka. Tetapi Nasution sudah tak ada di kamarnya. Saat inilah, anak bungsu Nasution tertembak di dekapan sang ibu.

Kala itu, Sulemi mendengar ada suara tembakan dari luar rumah. Nasution kabur melompat pagar. Namun, mereka tak mengejarnya. Sebab, mereka diperintah menjemput tanpa menganggu tetangga sekitar.

Agus Salim dalam bukunya menyebut, Nasution lari ke rumah Duta Besar Irak.

Sementara, Victor M Fic dalam bukunya, Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Konspirasi menyebut, bangunan tempat Nasution bersembunyi adalah rumah Dr Leimena di Jalan Teuku Umar 36.

Nahas, kegaduhan di luar rumah itu membuat Lettu Pierre Tendean terbangun. Kamarnya memang terpisah dari rumah utama.

Dia kemudian berlari menuju sumber suara dengan membawa senjata. Pasukan penjemput kemudian bertanya tentang identitasnya. Tendean menjawab sebagai ajudan Nasution. Namun, sebagian besar pasukan salah mendengar dan mengiranya sebagai Nasution.

Tendean diikat dan dibawa ke truk. Tak lama, bunyi peluit terdengar. Isyarat misi penculikan jenderal berhasil dilakukan. 

Tepat pukul 04.08 WIB, mereka meninggalkan rumah itu.

Sementara, anak sulung Nasution, Hendrianti Saharah dan perawatnya, Alfiah, selamat setelah berlari dan bersembunyi ke rumah pondok ajudan yang berlokasi di samping rumah utama.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Keluar dari Persembunyian

Sekitar dua jam bersembunyi, Nasution kembali ke rumah. Victor M Fic menyebut, Nasution bersembunyi di rumah tetangga hingga pukul 06.00 WIB, 1 Oktober 1965.

Sembari tertatih-tatih, dia kembali ke rumahnya melalui pagar. Dia kemudian meminta ajudan dan iparnya untuk membawanya ke Departemen Pertahanan dan Keamanan.

Komandan Staf Markas Besar AD (Kostrad), Letkol Hidajat Wirasondjaja; ajudannya, Mayor Sumargono; dan iparnya, Bob Sunarjo Gondokusumo kemudian mengantarnya menggunakan mobil.

Pada hari yang sama, Nasution, mengirimkan kabar kepada Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto mengenai keadaannya, masih hidup dan aman. Dia pun meminta agar Soeharto melakukan sejumlah langkah terkait keamanan saat itu.

Soedjono dalam Monumen Pancasila Cakti menyebut, istri Nasution lah yang melapor ke Mabes KKo/ALRI, saat membawa Ade Irma ke RSPAD. Saat itu, dia mampir ke mabes untuk meminta bantuan ke penjaga.

Pukul 04.09 WIB, ajudan Nasution, AKP Hamdan Mansyur menelepon Pangdam V/Jaya Mayjen Umar Wirahadikusumah dan melaporkan peristiwa di rumah Nasution. Sekitar pukul 04.30 WIB, Umar tiba di rumah Nasution dan menyaksikan bekas kekejaman G30S.

Pukul 06.30 WIB, barulah diadakan usaha untuk mengambil Nasution dari persembunyiannya. Pukul 19.00 WIB, Nasution kemudian dibawa ke Makostrad untuk mengatur siasat penumpasan pemberontak G30S.

4 Oktober 1965, Lettu Pierre Tendean dan enam jenderal TNI AD ditemukan di sebuah sumur berdiameter 75 sentimeter dan kedalaman 12 meter dalam keadaan tidak bernyawa....

 


Lolosnya Nasution Sebab Kudeta PKI Gagal?

M Fuad Nasar dalam buku Kegagalan Kudeta G30S PKI menyebut, ada tiga momentum yang tak terlupakan bagi Nasution dari peristiwa itu. Salah satunya, dia melihat langsung Ade Irma tertembak peluru pasukan Cakrabirawa.

Punggung Ade Irma terkena tembakan dan akhirnya meninggal dunia setelah mendapatkan perawatan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Jakarta Pusat, pada 6 Oktober 1965.

Nasution pun mengaku tidak memiliki firasat apapun tentang peristiwa 1 Oktober dini hari. Dia bahkan sempat mengisi ceramah di Universitas Muhammadiyah Jakarta bersama ajudannya, Letnan Satu Pierre Andreas Tendean.

Memang, berdasarkan buku AH Nasution Pencipta Perang Gerilya Indonesia oleh Tempo Publishing, Pak Nas sempat mendapat informasi tentang adanya orang yang membuntutinya.

Informasi tersebut didapatnya setelah mengisi acara di Universitas Muhammadiyah.

Lolosnya Nasution itupun disebut-sebut sebagai akar kegagalan kudeta PKI.

Tidak demikian menurut Nasution. Perwira tinggi asal Sumatera Utara ini menyebut, ada satu kesalahan fatal yang dilakukan PKI yang menyebabkan rencana kudeta mereka gagal. Mereka hanya memiliki satu rencana.

"Mereka tidak membuat rencana alternatif. Mereka yakin dengan satu rencana saja. Artinya secara strategis mereka telah gagal, karena tidak siap dengan rencana pengganti," ujar Nasution.

Oleh karena itu, upaya penumpasan pemberontakan G30S yang disusun Nasution dan kawan-kawan bisa menghancurkan rencana kudeta tersebut.

 

 


Mengenang Nasution

Rabu, 6 September 2000, AH Nasution berpulang ke rahmatullah. Pukul 07.30 WIB, dia tertidur untuk selamanya.

Usia yang menginjak 82 tahun, menyebabkan tubuh rentanya tak mampu bertahan karena diabetes dan serangan stroke.

Sebelum meninggal, dia sempat menjalani perawatan di di RSPAD Gatot Subroto Jakarta selama lima hari dan koma. Dia pun diistirahatkan di Taman Makam Kalibata, Jakarta Selatan.

Nasution adalah salah satu konseptor modernisasi Tentara Nasional Indonesia.

Sebelum menjadi seorang perwira, Pak Nas mengawali kariernya dengan menjadi guru di Bengkulu dan Palembang. Bahkan pernah menjadi pegawai di Kotapraja, Bandung.

Dia baru masuk militer pada 1943. Usai mengenyam pendidikan, Nasution langsung menjabat sebagai Komandan Divisi III Siliwangi/TKR-TRI Bandung pada 1945-1946.

Nasution juga sempat menjabat sebagai Komandan Divisi I Bandung pada 1946-1948.

Sejak itulah, karier pria kelahiran Kotanopan, Mandailing Natal, 3 Desember 1918 tersebut melesat cepat hingga menjadi Panglima Komando Jawa dan Kepala Staf Angkatan Darat.

Dia juga dikenal sebagai sosok pemikir dengan lahirnya 77 buku, jurnal, dan makalah dari tangannya.

Buku Pokok-Pokok Gerilya menjadikan nama Nasution mendunia dan diakui sebagai penggagas perang gerilya yang kemudian banyak diterapkan militer negara lain. Buku tersebut berisi pengalaman Pak Nas saat berjuang dan mengorganisasi perang gerilya selama perang mencapai Kemerdekaan Indonesia.

Sebagai Ketua Dewan Penyantun Masjid Cut Meutia yang terletak dekat rumahnya, Pak Nas dikenal sebagai tokoh yang religius. Bahkan dalam kondisi sakit, dia masih mengusahakan salat Jumat berjemaah.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya