Rencana Revisi Undang-Undang BI Ganggu Pasar Keuangan

BI memastikan revisi Undang-Undang BI tak akan mengganggu independensi BI.

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Sep 2020, 16:23 WIB
Ilustrasi Bank Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI tengah menyusun RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI). Dalam pembahasannya, diusulkan untuk mengembalikan pengawasan perbankan kepada Bank Indonesia dan juga pembentukan Dewan Moneter. Sontak rencana kontroversial ini memicu polemik pada tataran masyarakat atas independensi BI.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, pasar keuangan dalam negeri sempat tergoncang akibat polemik tersebut. Sebagaimana terukur dari yield Surat Berharga Negara (SBN) yang melonjak ke level 6,8 persen dari level 6,6 persen juga pelemahan nilai tukar rupiah.

"Yield SBN sempat turun 6,6 persen. Tapi naik lagi di awal September yang berkaitan tempo hari masalah independensi BI membuat goncangan pasar (keuangan). Itu meningkatkan yield SBN dan melemahkan rupiah," ucap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI terkait Laporan Semester I Kinerja Bank Indonesia, di Komplek Parlemen, Senin (28/9/2020).

Untuk itu, BI memastikan revisi Undang-Undang BI tak akan mengganggu independensi BI. Sebab, sambung Perry, Presiden Jokowi sudah menjamin independensi BI selaku bank sentral.

"Pernyataan presiden (Jokowi) sudah jelas bahwa kebijakan moneter harus tetap kredibel, efektif dan independen," jelas dia.

Pun, Menteri Keuangan Sri Mulyani dinilai juga bersikap serupa. Terlebih saat ini pemerintah juga belum membahas revisi Undang-Undang BI yang diajukan Baleg beberapa waktu lalu.

"Dari keterangan pers beliau (Sri Mulyani) menyatakan mengenai revisi UU BI yang merupakan inisiatif DPR, pemerintah belum membahas sampai saat ini," terangnya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut bahwa revisi Undang-Undang tentang Bank Indonesia merupakan inisiatif DPR. Dia menegaskan, hingga kini pemerintah belum membahas amandemen tersebut.

"Mengenai revisi UU tentang Bank Indonesia (BI) yang merupakan inisiatif DPR, Pemerintah belum membahas hingga saat ini," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers online, Jakarta, Jumat (4/9).

Sri Mulyani mengatakan, penjelasan Presiden dalam hal posisi pemerintah, sudah jelas bahwa kebijakan moneter harus tetap kredibel, efektif, dan independent. Bank Indonesia dan Pemerintah bersama-sama menjaga stabilitas dan kepercayaan ekonomi.

"Hal ini untuk memajukan kesejahteraan rakyat demi kemakmuran dan keadilan yang berkesinambungan. Pemerintah berpandangan bahwa penataan dan penguatan sistem keuangan harus mengedepankan prinsip-prinsip tata kelola (governance) yang baik, pembagian tugas dan tanggung jawab masing-masing lembaga secara jelas, serta mekanisme check and balances yang memadai," jelasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Baleg Revisi UU BI, Ekonom Khawatirkan Respon Negatif Pasar

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan hasil Rapat Dewan Gubernur (RGD) Bank Indonesia di Jakarta, Kamis (19/12/2019). RDG tersebut, BI memutuskan untuk tetap mempertahankan suku bunga acuan 7 Days Reverse Repo Rate (7DRRR) sebesar 5 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, VP Economist Bank Permata, Josua Pardede mengkritisi rencana revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI). Sebab dia menilai revisi berpotensi menyebabkan gangguan terhadap independensi BI yang membuat para pelaku pasar termasuk investor asing memberikan respons negatif.

"Dengan rekomendasi dari Baleg (Badan Legislasi) tersebut,  berpotensi mengganggu independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral. Apalagi pemerintah juga memiliki hak voting dalam RDG. Maka, pelaku pasar termasuk investor asing tentu berpotensi merespon wacana/rencana dari Baleg DPR tersebut secara negatif, mengingat pasar mengapresiasi independensi Bank Indonesia dalam mengawal stabilitas nilai tukar rupiah yang pada akhirnya juga mendukung stabilitas perekonomian untuk mendukung pertumbuhan ekonomi," jelas dia saat dihubungi Merdeka.com, Selasa (1/9).

Josua menjelaskan, sesuai dengan UU No. 23/1999, BI merupakan lembaga negara  yang  independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dalam mencapai tujuannya yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang mengandung dua aspek. Yakni stabilitas nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta stabilitas terhadap mata uang negara lain.

Sehingga rekomendasi dari Baleg dianggap berpotensi mengganggu independensi BI sebagai bank sentral, kendati semangat revisi memiliki amanat untuk mendorong pertumbuhan dan mendukung penyerapan tenaga kerja.

"Tapi hal itu tetap berpotensi mengganggu independensi bank sentral," ujarnya.

Oleh karenanya, di mendorong independesi BI perlu diperkuat dalam rangka menciptakan stabilitas perekonomian. "Menurut saya, secara best practice, meskipun mandat bank sentral antar negara berbeda dalam fungsi masing-masing, namun ada kesepakatan global bahwa bank sentral memiliki tugas sebagai stabilisator ekonomi makro," jelasnya.

Kemudian, terkait dengan skema burden sharing antara BI dan Kementerian Keuangan saat ini, Josua menyebut koordinasi tersebut dapat dilakukan secara ad hoc di luar RDG.

"Dan terkait dengan skema burden sharing scheme, yakni koordinasi antara Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia menurut saya koordinasi tersebut dapat dilakukan secara ad hoc di luar RDG BI," tukasnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya