Liputan6.com, Jakarta - Jumat 1 Oktober 1965, sekitar pukul 05.15 WIB, Mangil Martowidjojo, Komandan Detasemen Kawal Pribadi (DKP) dari Resimen Cakrabirawa menerima telepon dari salah seorang anggota DKP yang bertugas di Wisma Yaso.
Wisma Yaso kini Museum Satria Mandala di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Saat itu Wisma Yaso merupakan kediaman istri Sukarno, Ratna Sari Dewi. Hari itu, Sukarno berada di sana.
Advertisement
Mangil yang saat itu merupakan orang yang bertanggung jawab atas keselamatan Presiden RI itu menerima laporan dari petugas, bahwa hubungan telepon keluar Istana diputus Telkom atas perintah militer. Mendapat kabar itu, Mangil bergegas pergi ke Wisma Yaso. Dalam waktu setengah jam ia sudah tiba di Wisma Yaso.
Sekira pukul 06.00 WIB, Mangil kembali mendapat kabar rumah Menteri Pertahanan dan Keamanan serta Kepala Staf ABRI (Menko Hankam/Kasab) Jenderal Abdul Haris Nasution dan Wakil Perdana Menteri II J Leimena ditembaki.
Tak lama kemudian, Bung Karno keluar dari kamarnya dan langsung menghampiri Mangil. Rupanya, Presiden juga sudah mendapat kabar singkat soal apa yang terjadi di kediaman Nasution. Kepada Mangil, Bung Karno meminta penjelasan rinci tentang apa yang terjadi.
"Bapak rupanya sudah dilapori soal penembakan itu," ujar Mangil sebagaimana dituturkan dalam majalah Tempo edisi 6 Oktober 1984 berjudul Kisah-kisah Oktober 1965.
Tapi, Mangil yang ditanya tidak bisa menjawab secara lengkap. Ketidaktahuan sang pengawal pribadi itu membuat Sukarno berang.
"Mengapa kejadian pukul empat pagi sampai sekarang kamu belum tahu," demikian hardik Bung Karno, seperti dikutip dari Tempo edisi 24 September 1988 dengan judul Satu Hari Setelah Tragedi Berdarah.
Ternyata, pada malam 30 September 1965 atau dini hari 1 Oktober 1965 itu, tepatnya antara pukul 03.30 WIB dan 04.00 WIB, meledak suatu peristiwa berdarah yang kemudian mengubah wajah negeri ini. Enam jenderal diculik dari rumahnya, diangkut dengan truk militer ke Lubang Buaya, Pondok Gede, tak begitu jauh dari Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.
Tiga di antara enam jenderal itu telah mereka habisi sebelum dilempar ke dalam truk, Menteri Pangad Ahmad Yani, Asisten Intel Mayjen. S. Parman, dan Asisten IV Brigjen. D.I. Panjaitan.
Sementara itu, Asisten II Pangad Mayjen. Soeprapto, Asisten III Pangad Haryono M.T., dan Oditur Jenderal/Kepala Kehakiman AD Brigjen. Soetojo Siswomihardjo telah mereka bunuh secara kejam di tengah sorak sorai kaum pemberontak, di Lubang Buaya.
Adalah Jenderal A.H. Nasution yang luput dari sergapan pemberontak, yang antara lain mengenakan seragam Cakrabirawa, pasukan elite pengawal Presiden RI. Menko/Kastaf Angkatan Bersenjata (KSAB) itu, atas desakan istrinya, sempat melompat pagar rumahnya, lalu bersembunyi di balik drum di pekarangan Kedubes Irak, di Jalan Teuku Umar 38, sesaat setelah gerombolan bersenjata menggedor pintu rumahnya seraya melepaskan tembakan.
Nasution selamat, tapi Ade Irma Suryani, putri kedua Nasution yang masih bocah, kemudian meninggal karena ditembus peluru di punggungnya.
Pasukan Cakrabirawa yang mengganas di pagi buta itu, sehabis melucuti para penjaga, kemudian membawa Letnan Satu Pierre Tendean, ajudan Jenderal Nasution, ke Lubang Buaya. Pierre kemudian dibunuh, lalu dipendam di dalam sumur yang dalam bersama enam jenderal. Para penculik mungkin mengira, laki-laki ganteng itulah Nasution.
Di saat bersembunyi di Kedubes Irak seperti dituturkan dalam bukunya, Nasution bertanya-tanya, mengapa justru Pasukan Kehormatan Pengawal Istana/Presiden yang mau membunuhnya.
"Apa sebab Istana/Presiden sudah kena fitnah, dan memerintahkan pasukan Cakrabirawa menembak mati saya, di rumah saya sendiri, zonder vorm van proses? (Tanpa proses yang jelas)," tanya Nasution.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kenapa Bandara Halim?
Suasana yang penuh tanda tanya itu agaknya juga memenuhi benak Presiden. Pagi itu, sekitar pukul 06.30 WIB, setelah selesainya peristiwa berdarah, Letnan Kolonel Suparto, sopir pribadi Presiden Sukarno baru melapor kepada Presiden tentang pengepungan rumah Nasution dan Leimena.
Namun saat Sukarno meminta laporan lengkap kepada Mangil, sang pengawal pribadi itu masih menunggu hasil pengecekan yang dilakukan anak buahnya.
Masih dikutip dari majalah Tempo edisi 6 Oktober 1984 berjudul Kisah-kisah Oktober 1965, Mangil mengatakan, Bung Karno saat itu langsung memerintahkan Letnan Kolonel Suparto untuk membawanya ke Istana Merdeka, di bawah pengawalan Mangil dan anak buahnya.
Ketika iring-iringan mobil sampai di Jalan Thamrin, persis di depan gedung Bank Indonesia, Mangil memerintahkan agar berbelok ke kiri, memasuki Jalan Budi Kemuliaan.
Perintah Mangil itu lantaran dirinya menerima laporan melalui radio mobil, ada sepasukan tentara di sekitar Istana Merdeka. Baru kemudian diketahui, yang dicurigai tadi adalah pasukan dari Divisi Diponegoro dan Brawijaya. Mereka ditempatkan di dekat Istana menjelang hari ABRI 5 Oktober, yang menurut rencana, kabarnya, akan berlangsung besar-besaran.
Tak lama berselang masuk panggilan radio dari Kolonel Maulwi Saelan, Wakil Komandan Resimen Cakrabirawa. Saelan ketika itu ada di rumah Haryati, istri ke-4 Bung Karno, di daerah Grogol, Jakarta Barat.
Saelan kemudian meminta Mangil membawa Bung Karno ke rumah Haryati.
"Segera putar arah ke Grogol. Saya menunggu di sana," kata Maulwi via radio.
Sekitar pukul 07.00 WIB, Bung Karno bersama pengawal tiba di Grogol. Maulwi lalu melaporkan informasi yang dia terima. Mendengar ada penembakan di rumah para jenderal serta pasukan tak dikenal di sekitar Istana, Bung Karno terkejut.
"Wah, Ik ben overrompeld. Wat wil je met me doen? (Aku diserbu. Apa yang kamu mau aku lakukan?)," tanya Bung Karno.
Mendengar ucapan Bung Karno, Saelan kemudian mencari keterangan lebih jauh terkait penembakan para jenderal dan 'pengepungan' Istana Negara kepada Panglima dan Kodam Jaya. Setelah setengah jam berlalu Saelan menyarankan Bung Karno segera beranjak.
"Kita tidak bisa terlalu lama di sini," kata Saelan.
Saelan, Mangil dan Suparto berunding mencari lokasi lain yang bisa menjadi tempat alternatif persembunyian Bung Karno.
Dikutip dari Maulwi Saelan: Penjaga Terakhir Soekarno, dia menerangkan, sesuai SOP Tjakrabirawa, ada dua pilihan tempat evakuasi Bung Karno dari Istana dalam keadaan darurat.
Pertama, Halim Perdanakusuma karena di sana ada pesawat kepresidenan Jetstar C-140. Kedua, dibawa ke Tanjungpriok, Jakarta Utara, tempat kapal kepresidenan Varuna I-II bersandar.
Bung Karno akhirnya memutuskan pergi ke Pangkalan AU Halim Perdanakusuma daripada harus berlindung di sebuah rumah di Jalan Wijaya 1, Kebayoran Baru. Bung Karno kemudian memerintahkan Suparto agar segera mencari Panglima AU Omar Dhani di rumahnya, di Kebayoran Baru. Namun, Omar Dhani sejak 30 September malam sudah menyingkir ke Halim.
Sekitar pukul 08.30 WIB, Sang Proklamator dan rombongan berangkat menuju Halim dan tiba satu jam kemudian.
Advertisement
Halim dan Markas Kostrad
Jam menunjukkan sekitar pukul 09.30 WIB, ketika mobil VW biru tua yang ditumpangi Bung Karno tiba di Bandara Halim. Saat itu suasana masih sepi karena tak ada latihan personel Angkatan Udara. Presiden yang ditemani Jaksa Agung Muda Sunario menuju gedung Komando Operasi (Koops) AURI.
Di tempat ini Bung Karno bertemu Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Omar Dhani dan Panglima Koops Komodor Leo Wattimena.
Tak lama kemudian, tiga perwira Angkatan Darat datang menemui Bung Karno. Mereka adalah Panglima Tempur Mandala Siaga Brigjen Supardjo dan Mayor Bambang Supeno dan Mayor Sukirno, Komandan Batalyon Dharma Putra Kostrad.
Kepada Sukarno, Supardjo melaporkan tentang insiden penembakan antarpasukan ABRI yang langsung diperintahkan Presiden untuk dihentikan. Demikian pula saat Supardjo meminta Bung Karno mendukung Gerakan 30 September, yang ditolak tegas Presiden.
"Sewaktu Brigjen Supardjo meninggalkan Koops AURI Halim, wajahnya kelihatan lesu dan kecewa sekali," kenang Saelan dalam bukunya.
Setelah kepergian Brigjen Supardjo, Bung Karno meminta seluruh petinggi ABRI dipanggil untuk memberi keterangan yang lebih akurat. Ia memanggil Panglima AD, Panglima AL Laksamana RE Martadinata, Panglima Angkatan Kepolisian Sitjipto Judodihardjo dan Pangdam V Jaya Mayjen Umar Wirahadikusuma.
Pertemuan dilakukan di rumah Komodor Udara Susanto yang sehari-hari bertugas sebagai pilot pesawat kepresidenan Jetstar. Sebelum pukul 12.00 WIB, petinggi ABRI yang dipanggil Presiden mulai berdatangan, kecuali Pangdam V Jaya Umar Wirahadikusuma.
Kombes Pol Sumirat bersama Bambang Widjanarko datang menjemput Pangdam V Jaya Umar Wirahadikusuma di Markas Kodam V Jaya. Namun, Umar tak di sana. Umar diketahui sedang di markas Kostrad.
Alasan ketidakhadiran Umar disampaikan Pangkostrad Jenderal Soeharto yang mengatakan agar seluruh instruksi untuk AD disampaikan melalui dia karena Panglima AD Ahmad Yani tak di tempat.
Raut muka Sukarno nampak kecewa saat Sumirat menyampaikan pesan Soeharto. Pertemuan itu pun dilanjutkan tanpa kehadiran Pangdam V Jaya.
Selama pertemuan berlangsung, para perwira berjaga di luar. Ada yang sekadar ngobrol namun ada juga yang sibuk mendengarkan siaran lewat radio transistor. Hal ini karena mereka tak mengetahui kejadian yang sebenarnya di Jakarta, saking minimnya informasi yang mengalir melalui jalur tradisional.
"Baru sekitar pukul 12.00 WIB, kami mendengar adanya pengumuman dari Letkol Untung mengenai Dewan Revolusi dan pembubaran kabinet. Ini berarti telah terjadi kudeta," kata Saelan.
Radio yang sedang menyiarkan berita itu pun langsung dibawa ke Sukarno untuk diperdengarkan. Sore harinya, putra-putri Presiden diberangkatkan menuju Bandung dengan helikopter.
Dalam rapat terbatas di rumah Komodor Susanto, Presiden mengangkat Jenderal Pranoto Reksosamudro sebagai caretaker Menteri/Panglima AD. Bambang Widjanarko-lah yang diutus untuk menjemput Pranoto.
Usai mencari tahu keberadaan Pranoto, Bambang menuju Kostrad dan menemui Soeharto. Soeharto sempat menanyakan posisi Presiden Soekarno dan meminta Bambang menyampaikan pesan jika Panglima AD Jenderal Ahmad Yani tak ada sehingga kepemimpinan sementara di tangannya. Ia juga meminta Bambang menyampaikan Pranoto tak dapat menghadap Soekarno.
Sekitar pukul 18.00 WIB, Pangkalan Udara Halim kedatangan pasukan Angkatan Darat yang belakangan diketahui pasukan yang sama yang mengepung Istana dan pendukung G 30 S. Namun, mereka dilarang masuk dalam lingkungan pangkalan dan memilih menunggu di sepanjang jalan Jakarta by Pass.
Kedatangan pasukan ini dinilai sebagai ancaman untuk Bung Karno. Karena itu, Presiden direncanakan dibawa ke Istana Bogor agar tetap dapat memantau perkembangan di Jakarta. Bung Karno pun menyetujui, namun meminta waktu untuk menunggu Bambang yang bertugas memanggil Pranoto.
Bambang Widjanarko baru tiba di Halim sekitar pukul 20.00 WIB. Ia menyampaikan bahwa Pranoto berada di Markas Kostrad tapi tak mau menghadap. Ia juga menyampaikan pesan Soeharto yang ingin seluruh hal menyangkut AD melalui persetujuannya.
Mendengar itu, Bung Karno marah. Namun, seakan tak peduli dengan kemarahan itu, Bambang menyarankan agar Presiden meninggalkan Bandara Halim karena paling lambat keesokan paginya pasukan Kostrad akan menyerbu.
Dalam kondisi genting itu, Bung Karno mendapat kabar bahwa pasukan Mayor Sukirno dan Mayor Bambang Supeno telah diberi ultimatum untuk menyerah ke Kostrad atau akan digempur.
Tak lama kemudian, Ratna Sari Dewi yang dijemput sopir pribadi Bung Karno tiba di Bandara Halim. Setelah itu, secara diam-diam sekitar pukul 22.30 WIB Sukarno dan rombongan keluar dari Bandara Halim.
Setelah Presiden dalam perjalanan menuju Bogor, anggota DKP diperintahkan untuk menghubungi Soeharto untuk memberitahu bahwa Presiden sedang menuju Istana Bogor. Sekitar pukul 24.00 WIB, Saelan dihubungi Soeharto dan ia melaporkan bahwa Soekarno telah tiba dengan selamat di Istana Bogor.
Tugas belum selesai, usai berkoordinasi dengan Soeharto, Saelan menghubungi Pangdam VI Siliwangi Ibrahim Aji untuk melaporkan keberadaan Presiden Sukarno di Istana Bogor.
"Setelah mengadakan pengaturan, pengecekan, dan pengamanan seperlunya di sekitar Istana Bogor, saya kemudian istirahat," ucap Saelan.