Nasib Kabupaten Natuna, Daerah Rawan Bencana tapi Tak Punya BPBD

Meski termasuk sebagai daerah rawan bencana, pada kenyataannya Kabupaten Natuna, Provinsi Kepri, masih belum memiliki Badan Penanggulangan Bencana.

oleh Liputan6.com diperbarui 29 Sep 2020, 19:00 WIB
Ilustrasi

Liputan6.com, Natuna - Meski termasuk sebagai daerah rawan bencana, pada kenyataannya Kabupaten Natuna, Provinsi Kepri, masih belum memiliki Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).

Kepala Seksi Kedaruratan, Logistik, Rehabilitasi dan Rekonstruksi, Dinas Pemadam Kebakaran (Damkar) Kabupaten Natuna, Elkadar Lismana di Natuna, Senin (28/8/2020) menyampaikan, Bidang Penanggulangan Bencana masih tergabung dengan Dinas Pemadam Kebakaran (Damkar) Kabupaten Natuna.

Namun, pihaknya sudah menyelesaikan kajian akademis pembentukan BPBD, bahkan raperda dan perbup-nya sudah ada, hanya tinggal menunggu disahkan.

"Mudah-mudahan awal 2021 sudah disahkan BPBD Natuna," sebut Elkadar dikutip Antara.

Menurut dia, dengan berdirinya BPBD Natuna maka pihaknya akan mendapat kucuran dana dari Pemerintah Pusat melalui BNPB dan BPBD Provinsi Kepri.

"Kalau masih tergabung dengan Damkar tidak bisa, karena menyangkut serah terima bantuan, nanti bisa jadi temuan BPK," tuturnya.

Saat ini, lanjut dia, bidangnya sangat keterbatasan dari segi anggaran, sehingga tidak maksimal untuk menangani dampak bencana alam di Natuna.

Anggaran yang ada hanya cukup untuk operasional saja, bahkan sarana prasarana, personel, dan SDM tidak memadai.

"Makanya, kami berharap segera berdiri BPBD, apalagi Natuna ini pulau terluar Indonesia dengan rentang kendali yang jauh," tutur dia.

Masih menurut Elkada, bencana alam yang terjadi di Natuna sejak tiga tahun terakhir (2018-2020) mencapai sekitar 400 kasus.

"Untuk Januari hingga September 2020 saja sudah sekitar 150 kasus bencana alam di Natuna," imbuhnya.

Bencana alam dimaksud, misalnya angin puting beliung, di mana selama Januari-September 2020 terdapat 40 rumah rusak akibat bencana tersebut. Puting beliung menyasar hampir semua kecamatan.

"Untuk perbaikan rumah yang rusak ditangani Dinas Sosial Natuna, karena kami memang tidak punya anggaran untuk itu," ucapnya.

Bencana lainnya yang kerap terjadi yakni banjir, angin kencang, hingga abrasi pantai.

Khusus abrasi pantai, katanya, Natuna harus melalukan mitigasi bencana minimal dengan membangun tembok pemecah ombak guna mencegah air menembus sisi pantai, karena dikhawatirkan makin mengikis daratan.

"Semakin Pulau Natuna ini makin kecil akibat abrasi," tuturnya.

Bencana lainnya yang juga terjadi ialah operasi tangkap tawon karena sampai menimbulkan adanya korban terkena gigitan hewan mematikan tersebut.

Salah seorang tokoh pemuda yang juga terlibat aktif dalam aksi kemanusiaan untuk bencana di Natuan, Cherman menyampaikan, kondisi cuaca di Natuna saat ini (bulan September) sangat ekstrem sekali.

Baru-baru ini puting beliung berskala sedang melanda di sejumlah kecamatan, misalnya Kecamatan Bunguran Utara, Kecamatan Pulau Laut, dan Kecamatan Midai.

Selain itu kondisi kecepatan angin dalam beberapa hari terkahir juga cukup kencang, sehingga memicu gelombang tinggi mencapai tiga hingga empat meter di perairan Natuna.

Bahkan sekitar beberapa hari yang lalu, persisnya Sabtu malam (26/9/2020), sebuah kapal pompon nelayan di Kecamatan Bunguran Barat tenggelam diterjang gelombang tinggi.

"Sekarang cuaca memang sedang tidak menentu, setiap hari mendung," tuturnya.

Lanjut dia, Damkar Natuna gencar patroli keliling guna memantau daerah-daerah rawan bencana puting beliung, terutama kawasan pesisir.

Berbagai langkah antisipasi terus dilakukan, seperti sosialiasi bencana puting beliung serta melakukan aksi penebangan pohon yang berada tidak jauh dari pemukiman warga.

"Pohon yang berada dekat dengan rumah dan dianggap berbahaya dipotong dengan peralatan mesin senso. Warga juga diimbau tetap waspada dan berhati-hati, termasuk mengurangi aktivitas di laut karena kondisi cuaca ekstrem," kata Cherman.

Cherman tidak menampik bahwa warga pesisir di Natuna paling beresiko dihantam puting beliung dan bencana lainnya, seperti pasang surut air laut serta gelombang tinggi yang dapat menyebabkan rumah roboh.

"Warga Natuna cukup banyak yang memilih membangun tempat tinggal di atas laut, karena biaya materialnya lebih murah dan ditambah mereka tidak punya lahan di darat. Seharusnya di darat lebih aman, tapi mau bagaimana lagi, daratan Natuna juga tidak begitu luas," sebut Cherman.

Warga pun berharap kucuran dana Pemerintah Pusat maupun Pemprov Kepri untuk mendukung penanganan bencana alam di pulau yang berbatasan dengan Laut China Selatan tersebut.

Simak juga video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya