Terkait Mini Lockdown, Epidemiolog: Harus Melihat Jumlah dan Sebaran Kasus COVID-19

Mengenai strategi 'mini lockdown' ini, epidemiolog Universitas Indonesia Tri Yunis Miko menyatakan bahwa perlu melihat pada data jumlah dan sebaran kasus COVID-19 dalam penerapannya.

oleh Dyah Puspita Wisnuwardani diperbarui 29 Sep 2020, 18:31 WIB
Ilustrasi Covid-19, virus corona. Kredit: Gerd Altmann via Pixabay

Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo (Jokowi) menilai strategi intervensi berbasis lokal lebih efektif dalam mengendalikan penyebaran COVID-19 dibandingkan dengan penanganan yang telah dilakukan selama ini. Adapun yang dimaksud intervensi berbasis lokal ini adalah membatasi aktivitas dengan lingkup sosial yang lebih kecil seperti di tingkat Rukun Tetangga (RT)/Rukun Warga (RW) atau kampung. Jokowi mengistilahkannya dengan 'mini lockdown'.

"Ini perlu saya sampaikan sekali lagi pada komite, intervensi berbasis lokal agar disampaikan ke provinsi, kabupaten/kota, pembatasan berskala mikro di tingkat desa, kampung, RW/RT, atau di kantor, ponpes, saya kira itu lebih efektif," jelas Jokowi saat memimpin rapat terbatas secara virtual, Senin (28/9/2020).

Jokowi mencontohkan, pembatasan aktivitas hanya dilakukan pada suatu RT/RW yang ditemukan kasus positif. "Mini lockdown yang berulang ini akan lebih efektif," ujarnya.

Gagasan mengenai intervensi berbasis lokal untuk penanganan COVID-19 ini sebelumnya pernah disinggung oleh Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra ketika berbincang dengan Liputan6.com pada awal September 2020.

Hermawan mengatakan, dalam menghadapi COVID-19, perlu melibatkan masyarakat yang menurutnya bak pasukan infanteri di garis depan perlawanan. Hermawan mengistilahkannya sebagai community based fighting initiative.

"Jadi bukan kita semata membangun benteng, tetapi memperkuat di depan, siapa? Yaitu masyarakat sendiri. Jadi hendaknya masyarakat baik secara individu maupun komunitas itu diperkuat berbasis RT/RW, kampung, kelurahan atau desa yang di situ ada kolaborasi antara pemimpin formal, seperti kepala desa, lurah, RT/RW, dengan juga tenaga kesehatan masyarakat," tuturnya.

Hermawan mencontohkan, penanganan COVID-19 bisa dilakukan di tingkat RW dengan melibatkan tokoh formal seperti Ketua RW setempat. Ketua RW bisa menyeru pada seluruh warganya untuk mematuhi protokol kesehatan, terutama tidak ke luar rumah tanpa ada kepentingan mendesak, dan menghindari berkerumun. Ketua RW juga bisa mengumpulkan sumber daya di lingkungannya agar isolasi mandiri bisa berjalan ketika ada warga yang terindikasi kasus serta melengkapi kebutuhan masing-masing warganya sambil berkoordinasi dengan tenaga kesehatan untuk memantau dan memastikan tidak ada yang berisiko tertular.

"Nah inilah yang harus dilakukan. Jadi perang akar rumput dalam menghadapi COVID-19," ucapnya.

 

Load More

Saksikan juga video menarik berikut ini:


Perlu Melihat Jumlah dan Sebaran Kasus

Sementara, mengenai strategi 'mini lockdown' ini, epidemiolog Universitas Indonesia Tri Yunis Miko menyatakan bahwa perlu melihat pada data jumlah dan sebaran kasus COVID-19 dalam penerapannya. 

"Prinsipnya kalau (dibandingkan, -red.) lockdown RW dengan kelurahan, akan lebih efektif kelurahan. Kalau kelurahan dengan kecamatan, akan lebih efektif kecamatan karena lebih besar. Apalagi kalau kasusnya sudah banyak," kata Tri Yunis saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (29/9/2020). 

"Harus dilihat lagi berdasarkan sebaran kasus dan jumlah kasus. Kalau sebaran kasusnya memang per RW ya mini lockdown memang lebih tepat," ucapnya.

Epidemiolog yang juga dosen Universitas Indonesia ini mengatakan, jika kasus positif di suatu wilayah masih sedikit, maka pembatasan aktivitas di tingkat RW lebih efektif dibandingkan dengan tingkat yang lebih luas seperti kecamatan.

Namun, Tri Yunis mengatakan, tidak demikian dengan wilayah yang penyebaran kasusnya tinggi seperti DKI Jakarta.

"Kalau di Jakarta, bayangkan saja kasusnya puluhan ribu. Enggak mungkin dengan (lockdown, -red) RW, kelurahan harus dilihat, kecamatan paling tidaklah, kira-kira begitu," jelas Tri Yunis.

Untuk wilayah seperti DKI Jakarta, Tri Yunis berpendapat, setidaknya perlu pembatasan di tingkat kecamatan, kotamadya, bahkan provinsi karena kapasitas pelayanan kesehatan di wilayah tersebut telah penuh.

Menyoal kekhawatiran bahwa pembatasan aktivitas di suatu wilayah yang diterapkan secara generalisir atau pukul rata akan berdampak pada perekonomian, Tri Yunis mengatakan bahwa seberapa luas pun lockdown yang dilakukan tetap memiliki dampak ekonomi.

"(Lockdown, -red.) RW ada dampak ekonominya, jangan lupa. Tetapi dampak ekonominya lebih kecil dibanding kalau kelurahan, kecamatan. Tapi upaya penanggulangannya juga harus diukur, jangan ekonominya saja yang dilihat. Kalau (hal, -red.) itu misalnya akan memenuhi kapasitas pelayanan kesehatan kayak DKI Jakarta, tidak bisa dihitung dengan ekonomi. Apa pun harus dilakukan," kata Tri Yunis.

 


Infografis Masker Kain SNI

Infografis Pakai Masker Kain SNI, Jangan Scuba dan Buff. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya