Liputan6.com, Jakarta - Setiap 2 Oktober diperingati sebagai Hari Batik Nasional. Penetapan tersebut dirayakan setelah batik ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi oleh UNESCO pada 2009.
"Sejak itu pengusaha batik, perajin batik, perancang batik kian bertambah banyak. Berbagai aktivitas yang dilakukan yayasan, perusahaan, dan lainnya aktif sekali menyuarakan tentang batik," ujar desainer Musa Widyatmodjo saat dihubungi Liputan6.com, Selasa, 29 September 2020.
Baca Juga
Advertisement
Namun, batik sebagai fesyen atau mode pakaian merupakan produk yang tak bisa bertahan lama, karena karakter manusia ingin selalu berbeda. Hal tersebut yang menjadi masalah.
"Oleh karena itu, pengusaha batik dan perajin batik harus mendengarkan selera konsumen. Perlu diingat bahwa pembeli itu raja," ujar Musa.
Saat ini, kata Musa, produk batik yang menjadi persoalan. Sekarang ini orang digembar-gemborkan untuk berbisnis batik secara online, padahal, pekerjaan rumah (PR) para perajin itu belum selesai.
PR mereka adalah menciptakan motif-motif baru, produk-produk baru yang keren dan menarik di pasaran. Saat ini mereka belum mampu memperbaiki kondisi tersebut.
"Tapi tiba-tiba mereka dibombardir dengan training, edukasi, bisnis online. Padahal, hal itu bisa dikerjakan oleh orang lain. Jadi, biarkanlah perajin itu memperbaiki produknya, bukan memperbaiki cara jualannya," kata Musa Widyatmodjo.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Motif Zaman Dulu
Bagi Musa, jika batiknya tidak bagus, maka cara penjualannya bagaimana pun tetap saja tidak laku. Namun, kalau barangnya bagus dan dijual semahal apapun, maka akan tetap laku.
"Itu sudah dicontohkan dengan tas-tas yang harganya jutaan dan bahkan miliaran, tetap saja orang antre untuk membelinya. Jadi, intinya pemahaman untuk meng-update produk menjadi kekinian," tutur Musa.
Musa menilai, produk-produk batik yang ada saat ini adalah motif-motif batik zaman dulu semua. Zaman tahun 1700 hingga 1800 di mana motif itu diciptakan sesuai era dan selera gaya hidup saat itu.
"Apa yang terjadi pada tahun itu, tidak bisa diduplikasi, terus disuruh beli oleh orang Indonesia yang sudah kekinian pula, boro-boro orang Indonesia yang milenial mau beli, terus harus dibawa ke luar negeri pula, itu sudah nggak mungkin," imbuh Musa.
Musa menegaskan, kita harus jujur dan terbuka bahwa inti persoalan batik itu soal produk. Saat ini banyak orang yang terkecoh dengan kondisi yang ada yang justru memecah fokus PR yang harus dikerjakan.
"Bagaimana mereka menciptakan motif-motif baru dan bagaimana mereka menjadi orang yang kreatif dalam inovasi produk batik. Itu yang penting," tegas Musa Widyatmodjo.
Advertisement