Liputan6.com, Jakarta - Resesi ekonomi akhirnya sampai juga di Indonesia, tepatnya pada kuartal ketiga tahun ini. Masuknya Indonesia ke zona resesi tidak lain merupakan dampak dari pandemi Covid-19 yang menyerang nyaris seluruh negara di dunia.
Beberapa negara bahkan telah lebih dulu dihantam resesi. Untuk tidak memiliki pertumbuhan ekonomi yang negatif, amat sulit di tengah situasi pandemi seperti sekarang.
Advertisement
Pada kuartal II 2020 pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat negatif yakni minus 5,32 persen secara tahunan. Kemudian pada kuartal III 2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga negatif yaitu pada minus 2,9 persen hingga minus 1,0 persen.
Sebelum pengumuman pertumbuhan ekonomi akhir September 2020, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, sudah menyatakan bahwa Indonesia akan memasuki resesi. Pemerintah merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2020 menjadi minus 2,9 persen sampai minus 1,1 persen, lebih dalam apabila dibandingkan dengan proyeksi awal sebesar minus 2,1 persen hingga 0 persen.
Di sisi lain, setelah direvisi, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2020 diprediksi minus 1,7 persen sampai minus 0,6 persen, di mana sebelumnya diperkirakan mencapai minus 1,1 persen hingga positif 0,2 persen.
Resesi sendiri menurut Forbes yakni penurunan signifikan dalam kegiatan ekonomi yang berlangsung selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Sementara para ahli menyebut resesi sebagai negatifnya produk domestik bruto (PDB) yang diakibatkan penurunan signifikan aktivitas ekonomi.
Pandemi Covid-19 menghantam sektor ekonomi di seluruh dunia. Dalam situasi pandemi seperti sekarang, resesi seakan tidak terelakkan. Untuk mendorong konsumsi dan investasi kembali normal masih amat susah.
Resesi biasanya erat kaitannya dengan peningkatan angka pengangguran, penurunan produksi, penurunan penjualan ritel, dan kontraksi di pendapatan manufaktur dalam periode waktu yang panjang. Dampaknya, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) berlanjut dan kian merata di hampir semua sektor usaha.
Selain itu, daya beli masyarakat juga menurun sehingga menyebabkan bertambahnya jumlah orang miskin. Untuk dampak sosialnya, angka kriminalitas juga berpotensi meningkat. Untuk Indonesia, dampak resesi ekonomi di antaranya, tidak stabilnya kurs dolar, yang membuat rupiah melemah. Suku bunga akan meningkat dengan tidak stabilnya kurs dolar, yang berimbas pada terjadinya inflasi tinggi.
Minat investor pun langsung menurun dan diikuti pelaku pasar saham banyak yang memilih keluar pasar modal. Resesi ekonomi juga bakal memukul sektor ekspor dan impor Indonesia.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, menilai resesi yang terjadi tahun ini lebih parah dari 2008. Menurut dia, dampaknya tahun ini ke semua sektor.
"Tahun 2008 itu juga ada resesi ekonomi global dan Indonesia terdampak. Tapi yang paling terdampak itu adalah sektor keuangan, khususnya perbankan. Sehingga ada bailout Bank Century. Tapi situasi sekarang ini beda karena resesinya lebih dalam dari 2008," kata Bhima kepada Liputan6.com.
"Resesi sekarang tidak hanya berdampak pada sektor keuangan, tapi juga sektor riil, dunia usaha dan UMKM. Jadi, UMKM yang di 2008 masih bisa bertahan, sekarang hampir 90 persen terdampak resesi dan pandemi."
"Tahun 2008 juga tidak ada pandemi, beda dengan sekarang. Pandemi membuat mobilitas masyarakat, pelaku usaha, terganggu sekali, baik dari sisi supply maupun permintaan. Ini lebih parah dari 2008, karena dampaknya relatif ke semua sektor termasuk mikro."
Saksikan Video Resesi Berikut Ini
Prasyarat Pemulihan Ekonomi
Sejak awal pandemi Covid-19, pemerintah Indonesia berupaya memenangkan dua pertarungan sekaligus, yakni sektor ekonomi dan kesehatan. Sayang, sejauh ini kedua sektor itu masih belum bisa diatasi.
Belakangan, tepatnya 7 September lalu, Presiden Joko Widodo, baru menekankan kepada jajarannya supaya memprioritaskan penanganan kesehatan selama pandemi Covid-19, sehingga pemulihan ekonomi segera terwujud.
Langkah yang tepat memang harus diambil agar resesi tidak berkepanjangan. Resesi dinilai sebagai bagian yang tak terhindarkan dari irama teratur ekspansi dan kontraksi yang terjadi dalam ekonomi sebuah negara.
Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, menjelaskan, penanganan kesehatan menjadi prasyarat pemulihan ekonomi. Sebab, dia berpendapat, saat ini relatif indikator ekonomi di Indonesia stabil.
"Inflasi bahkan turun. Nilai tukar juga stabil, dan lain-lainnya. Karena faktornya bukan dari internal sistem ekonomi. Ini eksternal, jadi karena Covid-19," papar Yustinus Prastowo ketika dihubungi Liputan6.com.
Yustinus mengungkapkan, resesi 2020 berbeda dengan krisis ekonomi 1998, yang memiliki beberapa pemicu fundamental sehingga berubah secara signifikan, seperti nilai tukar mata uang hingga inflasi.
"Secara indikator ekonomi, sekarang ini relatif stabil. Maka, faktor yang bisa memengaruhi adalah penanganan Covid-19. Kalau penanganan Covid-19 bagus dan cepat, otomatis cepat pulih ekonominya. Kalau krisis 1998, itu faktor internal. Kalau fundamentalnya belum baik, ya akan lama pulihnya, seperti resesi 2008 dulu."
Untuk penanganan Covid-19 dan stimulus mendukung Program PEN, Pemerintah menganggarkan dana sebesar Rp695,2 triliun. Rinciannya, Rp87,55 triliun untuk anggaran kesehatan, perlindungan sosial Rp203,9 triliun, insentif usaha sebesar Rp120,61 triliun, menggerakkan sektor UMKM sebesar Rp123,46 triliun, pembiayaan korporasi Rp53,57 triliun, dan dukungan sektoral kementerian/lembaga dan Pemda sebesar Rp106,11 triliun.
Ekonom Indef, Bhima Yudhistira, menerangkan, ada beberapa negara yang terhindar dari resesi karena mengambil kebijakan yang tepat menghadapi situasi pandemi.
"Kalau kita lihat di Tiongkok dan Vietnam, mereka cuma satu kuartal negatif pertumbuhan ekonominya, itu karena mereka fokus dulu pada dunia kesehatan," ucap Bhima.
"Sementara kita tidak bisa berharap pada vaksin. Banyak penyakit yang sampai sekarang vaksinnya pun belum ditemukan. Untuk ekonomi pulih, angka penularannya yang harus dikendalikan dulu. Mobilitas masyarakat harus dijaga dulu, baru perekonomiannya pulih."
"Mungkin pemulihan baru bisa pada kuartal tiga di 2021. Saat itu bisa positif lagi di atas 0 persen angka pertumbuhan ekonominya," ia menambahkan.
Advertisement
Strategi Pemerintah Redam Resesi
Menkeu Sri Mulyani menyebut tiga strategi agar Indonesia terhindar dari resesi berkelanjutan yakni akselerasi eksekusi Program PEN, memperkuat konsumsi pemerintah, dan konsumsi masyarakat.
"Strategi percepatan penyerapan untuk kuartal III 2020 menjadi kunci agar kita bisa mengurangi kontraksi ekonomi atau bahkan diharapkan bisa menghindari dari technical ressesion yaitu dua kuartal negatif berturut-turut," terang Sri Mulyani.
Pemerintah sudah mencoba melakukan beberapa langkah untuk meredam resesi. Salah satunya dengan pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat. Namun, menurut Bhima Yudhistira, hal ini belum terlalu efektif.
"Kalau BLT hanya menyasar masyarakat paling bawah, sementara masalahnya sekarang ini, kelas menengah ke atas lebih banyak menyimpan uangnya. Karena mereka tidak percaya diri untuk berbelanja di saat pandemi, angka penularannya masih tinggi," kata Bhima.
"Makanya kalau mau mendorong konsumsi rumah tangga atau daya beli, yang pertama kali harus dipulihkan adalah sisi kesehatan masyarakat. Pandeminya harus dikendalikan dengan testing, tracing dan treatment."
Sementara itu, pemerintah Indonesia sendiri untuk menghadapi situasi dan kondisi saat ini mengandalkan APBN. DPR telah menyetujui Peraturan pengganti undang-undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Disease 2019 (Covid-19) menjadi undang-undang (UU) pada Mei lalu.
Dengan keputusan itu, maka DPR menyetujui pemerintah melebarkan defisit APBN 2020 menjadi 5,07% terhadap PDB. Pemerintah juga harus mencari pembiayaan sekitar Rp 852 triliun untuk menutupi defisit anggaran.
"Dari awal kita tegaskan bahwa untuk menghadapi situasi dan kondisi saat ini mengandalkan APBN, karena itu kan instrumen yang dimiliki pemerintah, termasuk di dalamnya tentang kebijakan fiskal dan moneter," terang Yustinus Prastowo.
"Memperlebar defisit, menambah belanja, memberikan stimulus dan insentif baik perlindungan sosial maupun UMKM dan pelaku usaha, termasuk anggaran kesehatan. Jadi, itu satu kesatuan."
Selain itu, pemerintah telah meluncurkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), yang sampai sekarang programnya terus berkembang dan masih dijalankan. Yustinus mengatakan, mau tidak mau APBN menjadi harapan pemerintah untuk digunakan dalam menghadapi resesi.
"Karena swasta praktis lumpuh. Masyarakat juga praktis harus ditolong. Ini yang sekarang diandalkan ya pemerintah. Maka dengan segala kebijakan, pembiayaan sharing dengan bank Indonesia. Untuk stimulus diperbanyak skemanya. Belanja pemerintah didorong supaya lebih cepat dan terserap," ujarnya.
"Itu adalah strategi yang ditempuh, termasuk menggunakan instrumen fiskal, misalnya, memberi insentif bagi para pelaku usaha yang memang relatif aman Covid-19, tetapi produktif. Misalnya, beberapa industri alat kesehatan dan obat-obatan. Lalu, UMKM yang memproduksi barang2 substitusi didukung dengan cara kita mengecilkan kran impor untuk barang-barang jadi. Ini dilakukan dengan terus menerus. Kira-kira itu desainnya."
Yustinus menjelaskan, pertumbuhan ekonomi, walaupun negatif, arahnya mengecil. Dari minus 5,32 persen, proyeksinya menuju ke minus 2,9 persen sampai minus 1,0 persen. Pemerintah berharap, pada kuartal IV 2020, dengan spending yang lebih besar, pertumbuhan ekonominya bisa mendekati nol.
"Targetnya sebenarnya sudah positif pada kurtal IV nanti. Harapannya kalau sudah sudah positif, target pada 2021 nanti APBN baru, kita bisa lebih fokus terus melanjutkan penanganan kesehatan," imbuhnya.
Yustinus meminta masyarakat tetap tenang dan beraktivitas normal dan tidak perlu khawatir. Sebab, dia menganggap secara fundamental ekonomi Indonesia realtif stabil dan pemerintah memiliki respons kebijakan yang pas dan tepat menghadapi resesi.
"Tetap disiplin, patuhi protokol Covid-19 supaya kita juga segera pulih. Lalu, tidak perlu khawatir berlebihan tadi artinya, menabung secukupnya, tetap berkonsumsi, berbelanja tanpa perlu boros. Hidup normal saja, rasanya itu sudah cukup membantu pemerintah untuk menciptakan prakondisi supaya pemulihan lebih cepat," katanya.
"Ini saatnya kita semua menjadi kreatif, lalu bekerjasama memanfaatkan peluang. Misalnya, UMKM bisa masuk ke market place. Jualan bisa dengan online. Lalu, substitusi dalam negeri juga saat ini ada peluang, karena kran impor juga dibatasi, sehingga ini kesempatan untuk memproduksi mengisi kebutuhan dalam negeri agar nanti yang menikmati kue ekonomi kita sendiri."
Ancaman Depresi Ekonomi
Fase resesi berpotensi berubah menjadi depresi ekonomi. Seperti diketahui, depresi ekonomi adalah resesi yang terjadi selama lebih dari satu tahun. Depresi ekonomi terjadi apabila kontraksi ekonomi tidak kunjung berhenti.
Melihat situasi pandemi Covid-19 Indonesia yang belum bisa ditekan kasusnya, potensi resesi berkelanjutan bukan mustahil terjadi. Dampak depresi ekonomi lebih besar dari resesi.
"Depresi itu kan berarti resesi yang berkepanjangan. Kita berharap dengan vaksin ditemukan, Covid-19 nanti bisa diatasi, itu ekonomi akan bergeliat dengan sendirinya. Ini kan sebenarnya tidak ada problem, karena semua infrastruktur ekonomi, semua alat produksi, kan normal semuanya. Pesawatnya ada, kapalnya ada, busnya ada, barang-barangnya ada, tapi tidak ada mobilisasi karena Covid-19," bebernya.
Depresi ekonomi pernah terjadi selama lima tahun, yang disebut Great Depression, tepatnya pada 1929-1934. Berapa besar peluang depresi ekonomi menimpa Indonesia? Lalu, apakah pemerintah siap apabila depresi terjadi?
Pemerintah dalam hal ini mencoba optimistis. Menurut Yustinus Prastowo, resesi bisa dihadapi, karena salah satu faktor penting untuk meredamnya melalui kerja sama global. Sebab, dia menilai, semua negara di dunia mengalami situasi yang sama, sehingga bisa bahu-membahu agar ekonomi pulih kembali.
"Kalau depresi ekonomi yang terjadi 1930-an dulu kan karena perang dunia, yang menciptakan dua kubu besar, jadi tidak terjadi kesepakatan. Kalau sekarang lebih terjaga, karena musuh kita itu covid-19, bukan ada perang atau yang lain."
"Jadi, tetap saja dampaknya berat dampaknya, karena memukul supply demand, tetapi kalau kesehatan bisa ditangani, pemulihannya akan lebih cepat sehingga kita harus optimis ini terhindar dari depresi," tambah Yustinus.
Advertisement