Pengamat soal Permintaan Kenaikan UMP 8 Persen di 2021: Hitungan dari Mana?

Pengamat Ketenagakerjaan Timboel Siregar, menilai permintaan serikat pekerja Upah Minimum Provinsi (UMP) 2021 sebesar 8 persen terlalu tinggi.

oleh Tira Santia diperbarui 02 Okt 2020, 14:15 WIB
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) membawa berbagai atribut ketika menggelar aksi di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (1/6). Kedatangan mereka sebagai rangkaian 'Buruh Geruduk Balai Kota dan KPK 2 Hari Berturut-turut'. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Ketenagakerjaan Timboel Siregar, menilai permintaan serikat pekerja Upah Minimum Provinsi (UMP) 2021 sebesar 8 persen terlalu tinggi.

“Saya mau bilang 8 persen itu hitungannya dari mana? Saat ini  undang-undang regulasi operasional yang existing yang mengatur kenaikan upah minimum itu ada di pasal 44 PP 78 tahun 2015 yaitu pertumbuhan ekonomi plus inflasi nasional itu rumusnya, cukuplah kita minta kenaikan upah periode 2021 disesuaikan saja dengan inflasi yakni 1,5 – 2 persen,” kata Timboel kepada Liputan6, Jumat (2/10/2020).

Menurutnya yang terpenting daya beli tidak terhapus oleh inflasi, meskipun para pengusaha meminta UMP 2021 0 persen artinya terlalu rendah tidak ada pertumbuhan, dan serikat Pekerja meminta 8 persen terlalu tinggi dan tidak sesuai dengan kondisi pandemi covid-19.

Meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal I masih positif 2,97 persen dan kuartal II masih dikatakan cukup baik walaupun minus 5,32 persen, tapi di kuartal III dan IV masih diprediksikan minus.

“Artinya inflasi yang saya sebutkan upah kita jadi termakan inflasi, maksud saya kondisi ini juga harus dilihat oleh Serikat Pekerja kalau minta sampai 8 persen itu susah untuk dipenuhi, dampaknya akan terjadi penolakan besar-besaran, terjadi perselisihan di lapangan,”ujarnya.

Selain itu, para pengusaha juga akan menempuh usaha menggugat kenaikan UMP dan meminta penundaan UMP kepada Pemerintah, bahkan kemungkinan mereka  tidak mau bayar sesuai yang diputuskan oleh Gubernur.

“Ini kan akan runyam lagi, dalam kondisi yang tidak normal akan terjadi perselisihan lagi, kalau misalnya Gubernur memenuhi keinginan serikat pekerja kenaikan UMP 8 persen,” katanya.

Oleh sebab itu, Timboel menyarankan Pemerintah harus lebih bijak saja dalam menaikkan UMP di 2021 yang akan ditetapkan 1 November 2020. Karena disaat pandemi covid-19 ini masih untung perusahaan masih bisa beroperasi dan pekerja tidak terdampak PHK.

“Perusahaan sudah jalan saja sudah bagus, jadi persoalannya adalah bagaimana  serikat pekerja dengan perusahaan saling berempati. Pekerja tidak meminta tinggi, pengusaha juga tidak meminta 0, harus  ada titik temu di tengah yaitu mengacu pada inflasi yaitu 1,5 – 2 persen,”pungkasnya.   

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Buruh Tuntut Kenaikan Upah Minimum 8 Persen di 2021

Ribuan buruh dari berbagai elemen melakukan longmarch menuju depan Istana Negara, Jakarta, Kamis (29/9). Dalam aksinya mereka menolak Tax Amnesty serta menaikan upah minumum provinsi (UMP) sebesar Rp650 ribu per bulan. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) meminta kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) tahun 2021 sekurang-kurangnya sebesar 8 persen.

Di mana kenaikan sebesar 8 persen tersebut, setara dengan kenaikan upah minimum dalam tiga tahun terakhir. Demikian disampaikan Presiden KSPI Said Iqbal di Jakarta, Sabtu (5/9).

“Walaupun pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi minus dalam 2 kwartal terakhir, tetapi daya beli masyarakat harus tetap dijaga. Dengan demikian, adanya inflansi harga barang tetap terjangkau dengan adanya kenaikan upah yang wajar,” kata Said Iqbal di Jakarta, Sabtu (5/9/2020).

Dengan kenaikan upah minimum sekurang-kurangnya 8 persen tersebut, kata Said Iqbal, bertujuan untuk menjaga daya beli masyarakat, sekaligus sebagai upaya untuk melakukan recovery ekonomi.

“Dalam situasi seperti sekarang ini, eksport belum bisa diharapkan. Oleh karena itu, untuk menjaga agar recovery ekonomi tetap terjadi, yang harus dilakukan adalah meningkatkan nilai konsumsi dengan cara meningkatkan kenaikan upah minimum tahun 2021,” tegasnya.

Said Iqbal membandingkan dengan apa yang terjadi pada tahun 1998, 1999, dan 2000. Sebagai contoh, di DKI Jakarta, kenaikan upah minimum dari tahun 1998 ke 1999 tetap naik sekitar 16 persen, padahal pertumbuhan ekonomi tahun 1998 minus 17,49 persen. Begitu juga dengan upah minimum tahun 1999 ke 2000, upah minimum tetap naik sekitar 23,8 persen, padahal pertumbuhan ekonomi tahun 1999 minus 0,29 persen.

“Jadi tidak ada alasan upah minimum tahun 2020 ke 2021 tidak ada kenaikan, karena pertumbuhan ekonomi sedang minus,” tambahnya.

Justru karena pada saat itu pemerintah tetap menaikkan upah meskipun pertumbuhan ekonomi sedang minus, akhirnya konsumsi tetap terjaga.

“Jadi bukan hal yang baru, ketika ekonomi minus, upah tetap dinaikkan,” tegas pria yang juga menjabat sebagai Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) ini.

Untuk itu, KSPI akan memerintahkan seluruh kadernya yang duduk di dalam Dewan Pengupahan di seluruh Indonesia untuk memperjuangkan kenaikan upah minimum 2021. 


Perusahaan yang Kena Dampak Covid-19

Ribuan buruh berjalan menuju Istana Negara, Jakarta, Kamis (29/9). Dalam aksinya mereka menolak Tax Amnesty serta menaikan upah minumum provinsi (UMP) sebesar Rp650 ribu per bulan. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sementara itu, bagi perusahaan di industri tertentu yang terpukul akibat resesi ekonomi dan covid 19 seperti hotel, maskapai penerbangan, restoran, dan sebagian industri padat karya domestik, jika memang keberatan dengan kenaikan upah minimum dapat mengajukan penangguhan sebagaimana yang sudah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Itu pun harus ada pesetujuan dengan serikat pekerja dan dibuktikan dengan laporan keuangan yang menyatakan benar-benar rugi.

“Intinya, KSPI berpendapat kondisi ini tidak bisa dipukul rata. Hanya karena pertumbuhan ekonomi minus, seluruh perusahaan kemudian tidak naik upah minimumnya,” ujarnya.

Di saat yang sama, Sadi Iqbal kembali menegaskan, bahwa KSPI meminta agar klaster ketenagakerjaan dikeluarkan dari RUU Cipta Kerja atau isi dari Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jangan ada yang dikurangi sedikitpun.

“KSPI tetap menolak omnibus law RUU Cipta Kerja khusus klaster ketenagakerjaan sebagaimana sikap di atas. Sikap KSPI ini juga menjadi sikap serikat pekerja dalam tim perumus RUU Cipta Kerja khususnya klaster ketenagakerjaan bersama DPR RI,” ungkap Said Iqbal.

“Terhadap sikap ini, KSPI tidak akan kompromi. Bilamana ada hal-hal terkait ketenagakerjaan yang akan diatur dalam omnibus law, sebaiknya hanya menyangkut penguataan pengawasan perburuhan, meningkatkan produktifitas melalui pendidikan dan pelatihan, serta segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerja di industri startup, UMKM, dan tranpostrasi online. Sedangkan isi dari Undang-Undang No 13 tahun 2003 tidak boleh direvisi,” pungkasnya. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya