Liputan6.com, Jakarta Memasuki bulan ke-8 pandemi COVID-19 melanda Indonesia, temuan dan ketersediaan vaksin jadi suatu yang krusial. Kehadiran vaksin COVID-19 diharapkan bisa menangkal infeksi virus SARS-CoV-2, sekaligus menjadi udara segar bagi tatanan kehidupan, tak hanya di Tanah Air tetapi juga dunia yang terdampak pandemi.
Di Indonesia, sejumlah persiapan dilakukan Pemerintah guna menyambut kehadiran vaksin COVID-19 yang beberapa di antaranya tengah dalam fase uji klinis tahap III. Sejumlah kementerian bersinergi mempersiapkan pelaksanaan vaksinasi yang digadang-gadang akan dimulai pada akhir 2020 atau awal 2021.
Advertisement
Salah satu yang menjadi perhatian adalah prioritas target penerima vaksin COVID-19. Dari sekitar 267 juta penduduk Indonesia, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut vaksin tersebut bakal disuntikkan ke 170-180 juta orang.
"Insya Allah akhir tahun atau awal tahun depan vaksinnya sudah bisa disuntikkan," kata Jokowi saat memberikan Bantuan Modal Kerja kepada para pedagang kecil di Istana Merdeka, Rabu, 30 September 2020.
Angka 180 juta orang yang akan divaksin tentu bukan jumlah yang kecil. Ada banyak hal yang perlu dipersiapkan agar saat tiba waktunya nanti proses imunisasi vaksin COVID-19 berjalan lancar.
Persiapan pemerintah sedikit tergambarkan dalam paparan Menteri Koordinator Perekonomian RI Airlangga Hartarto. Pria yang juga menjabat sebagai Ketua Komite Kebijakan Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional ini mengatakan roadmap atau peta jalan pelaksanaan imunisasi tengah dipersiapkan.
Airlangga menyebut mengenai target orang yang divaksin sedikit berbeda dari angka yang disebutkan Jokowi. Ia menyebut target vaksinasi 160 juta penduduk Indonesia.
“Target vaksinasi untuk 160 juta orang dan kebutuhannya antara 320 sampai 370 (juta)," kata Airlangga pada Jumat, 2 Oktober 2020 sore.
Dari total target orang yang divaksin, 70 persen merupakan kelompok usia produktif dengan rentang usia 19-59 tahun. Pemberian vaksinasi diutamakan juga bagi mereka yang berada di garda terdepan dalam pelayanan publik termasuk tenaga kesehatan.
"Diutamakan bagi mereka di garda terdepan, baik itu dokter, perawat, petugas medis. Lalu, TNI, POLRI, Satpol PP. Dan tentunya, dipertimbangkan juga pada pasien komorbid (penyakit penyerta)," tuturnya.
Pernyataan Airlangga selaras dengan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto yang mengungkapkan bahwa tenaga medis dan mereka yang bekerja di fasilitas kesehatan akan menjadi kelompok prioritas diberikan vaksin COVID-19.
"Prioritas vaksin akan diberikan kepada garda terdepan yaitu seluruh tenaga medis dan seluruh masyarakat yang bekerja pada fasilitas medis," tutur Terawan dalam rapat koordinasi persiapan program vaksinasi di Jakarta pada Rabu, 30 September 2020.
Simak Videonya Berikut:
Prioritas Kelompok Penerima Vaksin
Mengenai kelompok prioritas lain Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito mengatakan bahwa mereka masih mengkaji pengaturan pemberian vaksin.
"Nanti saja kalau sudah lengkap progress-nya akan disampaikan pada publik secara resmi," jawab Wiku ketika dihubungi oleh Health Liputan6.com pada Jumat (2/10/2020) sore.
Hingga Selasa lalu, Wiku mengatakan bahwa pemerintah masih mengkaji sasaran prioritas dari vaksin COVID-19 sesuai dengan kelompok risikonya.
"Begitu juga dengan elemen yang diperlukan dalam vaksinasi itu tersebut, mulai dari suplai, pembiayaan, serta mekanisme dan infrastruktur yang perlu disiapkan dalam rangka vaksinasi tersebut," kata Wiku dalam konferensi persnya di Jakarta.
Sebelumnya, pemerintah berencana akan memberikan vaksin COVID-19 tahap awal kepada 6 kelompok masyarakat prioritas dengan sasaran 102,45 juta orang. Kelompok pertama yakni, tenaga kesehatan dengan jumlah sasaran 1.317.656 orang.
Kedua, kontak erat dengan sasaran 50.000 orang, ketiga kelompok pelayanan publik dengan sasaran 715.766 orang. Adapun kelompok keempat adalah masyarakat umum dengan sasaran 92.286.877 orang.
Selanjutnya, kelompok tenaga pendidik dengan sasaran 4.361.197 orang. Terakhir, kelompok aparatur negara (pemerintah dan anggota legislatif) sebanyak 3.720.004 orang.
Mereka akan dibagi ke dalam 5 tahap pemberian vaksin selama setahun mulai Januari 2021. Vaksin akan diberikan 2 dosis/orang dengan jarak 14 hari untuk membentuk kekebalan (antibodi) COVID-19.
Dalam imunisasi vaksin COVID-19, Airlangga mengatakan di kesempatan pada webinar yang diselenggarakan 20 Agustus 2020, Indonesia harus bisa memvaksin sekitar 180 juta orang dalam dua kali suntikan. Artinya dibutuhkan 360 juta dosis, dan perlu dilakukan imunisasi untuk 1 juta orang per hari.
"Nah tentu kalau 1 juta vaksin ini kita memprioritaskan kepada daerah yang terdampak lebih dulu yang 8 daerah. Kemudian tentu secara bertahap dari grup usia. Kalau kita lihat dari batas usia, umur yang efektif antara 19-59 tahun," tuturnya.
Untuk bisa memvaksin sejuta orang per hari, tentu dibutuhkan tenaga medis yang banyak serta terlatih. Jika tidak, maka bisa sulit mencapai target ini.
Advertisement
Pengadaan Vaksin
Dalam konferensi pers (Jumat, 2/10/2020) Airlangga menyebut pengadaan vaksin COVID-19 akan hadir secara bertahap.
Di kuartal keempat 2020 ditargetkan ada 36 juta vaksin kemudian di kuartal pertama 2021 ada 75 juta vaksin. Lalu, kuartal kedua ada 105 juta vaksin. Kemudian, kuartal ketiga dan kuartal keempat 2021 masing-masing 80 juta vaksin, tambahnya.
Airlangga juga menyebutkan imunisasi vaksin COVID-19 ini bakal melibatkan 10.134 puskesmas dan 2.877 rumah sakit. Bakal terlibat juga pemerintah daerah, pihak swasta, TNI dan POLRI serta 49 Kantor Kesehatan Pelabuhan di wilayah kerja masing-masing dalam pelaksanaan imunisasi.
Tak ketinggalan, sumber daya manusia yang akan melakukan vaksinasi juga tengah dipersiapkan.
"Pemerintah akan menyiapkan sumber daya manusia serta keperluan logistiknya, baik itu berupa sarana, distribusi, pelatihan berpedoman pada Kementerian Kesehatan," tutur Airlangga.
Hal-hal teknis terkait pelaksanaan vaksinasi lainnya, sebut Airlangga, bakal diselesaikan lewat Peraturan Presiden.
Untuk memenuhi kebutuhan 320-370 juta vaksin, pemerintah Indonesia bekerja sama dengan sejumlah negara yang memproduksi vaksin COVID-19.
Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi menjelaskan pemerintah telah menjalin diskusi dengan negara terkait untuk penyediaan vaksin. Mulai dari China, Uni Emirat Arab dan Inggris.
"Kami telah berkomunikasi secara rutin dengan China, Arab, maupun Inggris dalam penyediaan vaksin bagi Indonesia," kata Retno dalam Rapat Koordinasi Persiapan Program Vaksin di Jakarta, Kamis (1/10/2020).
"Kami juga telah mengatur waktu pertemuan antar negara untuk dapat meninjau lebih lanjut mengenai uji klinis serta produksi vaksin yang nantinya akan dikirim ke Indonesia tersebut," tuturnya.
Salah satu vaksin yang kini tengah menjalani uji klinis fase tiga adalah Sinovac. Untuk sementara, uji klinis yang dilakukan juga di Indonesia di bawah Fakultas Kedokteran Universitas Padadjaran Bandung dipimpin Kusnandi Rusmil berjalan lancar.
"Kami memperoleh informasi bahwa laporan yang diterima sampai saat ini, uji klinis berjalan dengan lancar dan tidak memperoleh efek yang berat. Intinya dapat berjalan dengan lancar dan sejauh ini hasilnya baik," kata Retno pada Senin, 28 September 2020.
Terkait anggaran pengadaan vaksin COVID-19, pemerintah Jokowi menyiapkan dana sebesar Rp37 triliun keseluruhan tahun depan. Untuk anggaran awal atau uang muka vaksin mencapai Rp3,3 triliun sudah tersedia. Hal ini disampaikan Airlangga pada 4 September 2020 dalam konferensi pers di kantornya.
Sementara itu, Menteri BUMN Erick Thohir mengusulkan vaksin COVID-19 dalam dua jenis, yakni bantuan pemerintah dan mandiri. Vaksin pemerintah diusulkan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara hal ini berlaku bagi masyarakat yang membutuhkan yang termasuk dalam data PBI BPJS Kesehatan. Sementara itu, bagi yang mampu dapat menggunakan vaksin mandiri.
Harga vaksin berbayar tersebut beragam tergantung penjual yang memasarkan. Harga vaksin mandiri ditentukan tanpa campur tangan pemerintah.
"Harga dinamika tinggi tergantung masing-masing penjual, dan yang menetapkan harga bukan saya, penjualnya," ujar Erick dalam konferensi pers online, Jakarta, Kamis (3/9/2020).
Respons Imun Usai Vaksinasi
Mengenai 180 juta warga Indonesia yang menjadi target vaksin COVID-19, ternyata Epidemiolog Masdalina Pane punya pemikiran lain. Ia tidak menyoroti soal jumlah, pengadaan dan pengaturan pemberian vaksin. Namun hasil respons imun dari vaksin COVID-19 yang menjadi kepeduliannya. Masih ada PR (pekerjaan rumah) besar bagi Permerintah soal penggunaan vaksin.
"Bagi kami, epidemiolog, (yang penting) hasil dari penelitian vaksin COVID-19 ini sendiri. Karena sampel kita kecil 1.620 orang (uji klinis vaksin Sinovac di Bandung, Jawa Barat). Jadi, pada sampel yang kecil, Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) itu tidak bisa terlihat," terang Masdalina kepada Health Liputan6.com melalui sambungan telepon, Jumat (2/10/2020).
"1.620 orang partisipan uji klinis vaksin COVID-19 ini kalau enggak salah separuhnya juga (diberikan) plasebo. Plasebo bahan yang mirip vaksin tapi bukan vaksin. Nanti hasilnya akan dibandingkan dengan yang diberikan vaksin."
Hasil penelitian dari 1.620 partisipan uji klinis fase tiga di Bandung dapat membuahkan hasil menggembirakan bila respons imun vaksin yang terbentuk dapat adekuat. Artinya, respons imun yang terbentuk antibodi mampu bertahan lama. Apalagi ada literatur yang menyebut antibodi pasien survivor COVID-19 rendah sekali, kurang lebih bertahan empat bulan.
"Coba diperhatikan, mau berapa vaksin COVID-19 nanti kalau diberikan. Lalu perlu diperhatikan juga kalau ternyata sama saja hasilnya (hasil penelitian uji klinis vaksin) antara partisipan yang diberikan vaksin dan plasebo," tambah Masdalina dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI).
"Antara tidak dikasih vaksin dan diberi vaksin hasilnya sama. Enggak ada efeknya juga berarti nanti vaksinnya. Kami berharap nanti hasil vaksinnya itu cukup adekuat"
Advertisement
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)
Masdalina juga menekankan menenai Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang bisa ditimbulkan dari pemberian vaksin tersebut harus diperhatikan.
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi adalah suatu kejadian sakit yang terjadi setelah menerima imunisasi. Dari jurnal Sari Pediatri, untuk mengetahui hubungan antara pemberian imunisasi dengan KIPI diperlukan pelaporan dan pencatatan semua reaksi yang tidak diinginkan yang timbul setelah pemberian imunisasi.
"Soal pemberian vaksin COVID-19 ini harus dipastikan benar KIPI-nya," tuturnya.
"Kenapa ini penting? Satu persen KIPI pada 1.620 orang--partisipan uji klinis fase tiga vaksin Sinovac di Bandung, Jawa Barat--itu kecil saja. Tapi bayangkan, kalau satu persen dari 180 juta orang. Itu besar sekali."
KIPI yang ditimbulkan bisa berupa demam, kemerahan, dan bengkak.
"Kemudian ada beberapa KIPI fatal yang bisa tidak terlihat dalam sampel kecil. KIPI fatal itu sampai meninggal atau malah jadi kena COVID-19 nanti," lanjut Masdalina.
Persiapan Hadapi KIPI Vaksin COVID-19
Untuk berjaga terhadap KIPI dari vaksin COVID-19, persiapan matang harus dilakukan. Dari perawatan hingga penanganan harus matang.
"Perhitungan KIPI biasanya sepersejuta orang. Jadi, ada sepersejuta orang yang menimbulkan efek berat (KIPI dalam kondisi berat). Artinya, tidak semua orang yang dilindungi dengan vaksin harus 100 persen terlindungi (100 persen tidak alami KIPI)," terang wanita yang bergabung dalam Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI).
Masdalina mencontohkan, pengamatan KIPI terhadap vaksin untuk orang-orang yang berangkat haji.
"Saya ingat pas haji dulu, jumlah vaksin 210.000 dosis. Ya, karena yang berangkat haji ada 210.000 orang. Nah, biasanya kami mengamati per 5 tahun. Jumlahnya kan jadi 1 juta orang. Diamati, ada enggak yang kena meningitis lalu meninggal dunia," ujarnya.
"Kalau 180 juta orang nanti diberikan vaksin COVID-19, artinya ada sepersejuta, minimal 180 orang yang alami KIPI. Dan ini harus dipersiapkan pengelolaannya. Karena kan (vaksin COVID-19) ini sesuatu yang baru."
Advertisement
Klasifikasi KIPI
Berdasarkan informasi jurnal Sari Pediatri, untuk menentukan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) diperlukan keterangan mengenai berapa besar frekuensi kejadian KIPI pada pemberian vaksin tertentu, bagaimana sifat kelainan tersebut, lokal atau sistemik.
Kemudian bagaimana derajat kesakitan resipien, apakah memerlukan perawatan, apakah menyebabkan cacat, atau menyebabkan kematian. Lalu apakah penyebab KIPI dapat dipastikan, diduga, atau tidak terbukti, dan akhirnya apakah dapat disimpulkan bahwa KIPI berhubungan dengan vaksin, kesalahan produksi, atau kesalahan pemberian.
Berdasarkan data yang diperoleh, KIPI dapat diklasifikasikan, sebagai berikut:
1. Induksi vaksin (vaccine induced)
Terjadinya KIPI disebabkan karena faktor intrinsik vaksin terhadap individual resipien. Misal, seorang anak menderita poliomielitis (kelumpuhan) setelah mendapat vaksin polio oral.
2. Provokasi vaksin (vaccine potentiated)
Gejala klinis yang timbul dapat terjadi kapan saja, saat ini terjadi karena provokasi vaksin. Contoh, kejang, demam pascaimunisasi yang terjadi pada anak yang kejang.
3. Kesalahan (pelaksanaan) program (programmaticerrors)
Gejala KIPI timbul sebagai akibat kesalahan pada teknik pembuatan dan pengadaan vaksin atau teknik cara pemberian.
Contoh, terjadi indurasi (tonjolan keras tapi tidak sakit) pada bekas suntikan disebabkan vaksin yang seharusnya diberikan secara intramuskular--injeksi ke dalam otot tubuh--justru diberikan dengan cara subkutan--penyuntikan ke area bawah kulit).
4. Koinsidensi (coincidental)
KIPI terjadi bersamaan dengan gejala penyakit lain yang sedang diderita. Misal, bayi yang menderita penyakit jantung bawaan mendadak sianosis--kulit membiru--setelah diimunisasi.