Liputan6.com, Jakarta - Seiring dengan perkembangan kasus Covid-19 saat ini, Ekonom BCA, David Sumual menyebutkan ada sinyal pemulihan konsumsi dan aktivitas bisnis untuk kuartal III 2020. Namun, berdasarkan hasil observasi dari Big Data BCA, trennya mulai melambat pada akhir Agustus hingga awal September 2020.
“Harga komoditas 1-2 bulan terakhir ini cukup membaik. Dan ini memberikan harapan buat kita sebenarnya karena kita ekspor sebagian besar kan masih komoditas,” ujar di dalam Dialogue Kita, Jumat (2/10/2020).
Advertisement
David menambahkan, segmen ekonomi Indonesia yang hampir dipastikan pulih di Q3 adalah eksportir komoditas, terutama mineral logam. Hal ini didukung terutama oleh pemulihan ekonomi Tiongkok.
Merujuk pada data BPS dan Big Data, menunjukkan aktivitas ekonomi yang cukup solid di daerah penghasil bijih logam (Papua, Sulawesi)
“Jadi kalau ada perbaikan dari harga tembaga, nikel, lalu juga CPO, karet, itu pasti akan pengaruh yang sangat positif buat kita paling tidak untuk daerah luar Jawa seperti Sumatera, Kalimantan Sulawesi akan ada topangan. paling tidak dari perbaikan harga komoditas,” kata David.
Di sisi lain, David menilai Indonesia juga tertolong oleh Tiongkok dari segi finansial. Dimana optimisme akan ekonomi Tiongkok memicu inflow ke Emerging Market (EM) Asia dan outflow dari AS. Sehingga menjaga kurs USD/IDR, meski ada tekanan sentimen akibat isu PSBB.
“Outflow dari AS juga didorong oleh ekspektasi kebijakan Fed dan risiko politik dari Pemilu AS November mendatang,” kata dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Anggaran Pemulihan Ekonomi Indonesia Masih Rendah Dibandingkan Negara Lain
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Gita Wirjawan, memprediksi pertumbuhan ekonomi kuartal III dan IV akan terkontraksi minus lagi di 2020.
“Pertumbuhan ekonomi Q3 bisa -2 sampai -3 persen, kemungkinan terjadinya kontraksi lagi di Q4 masih nyata apalagi dengan belum terlihat nya perubahan-perubahan sikap yang signifikan terkait pemulihan daya beli,” kata Gita kepada Liputan6.com, Jumat (25/9/2020).
Apalagi menurutnya, terkait daya produksi yang semakin merosot dikarenakan menurunnya daya beli, serta belum adanya perhatian yang optimal terhadap pengusaha, UMKM, BUMN, dan korporasi.
Saat ini negara-negara tetangga telah menggelontorkan lebih dari 10 persen dari PDB untuk kepentingan pemulihan ekonominya. Namun, Indonesia baru mengalokasikan sekitar 3-4 persen dari PDB untuk pemulihan ekonomi di masa pandem. Hal ini dinilai sangat kurang.
Menurutnya, interkoneksi Indonesia dengan negara-negara lain penting sekali. Termasuk dalam konteks perdagangan, investasi, dan pariwisata. Sebab, negara-negara tetangga akan sangat memperhatikan dan mempertimbangkan kesiapan Indonesia dalam penanganan kesehatan.
“Ini sangat tergantung dengan jumlah testing yang dilakukan. Sekarang testing nya masih sangat minim dan prihatin, sekitar 10 ribu tes per 1 juta manusia, dibanding negara-negara tetangga yang sudah melakukan ratusan ribu tes per 1 juta manusia,” jelasnya.
Sehingga jika Indonesia lebih fokus dalam penanganan dampak pandemi di sektor kesehatan, maka secara tidak langsung pertumbuhan ekonomi Indonesia juga akan bangkit dengan sendirinya. Denga begitu, kepercayaan negara-negara lain terhadap Indonesia akan kembali, jika angka Covid-19 di Indonesia menurun dan terkendali.
“Perekonomian sangat terkait dan kental dengan kepastian ataupun ketidakpastian. Skala testing yang masif akan bantu memberikan lebih banyak kepastian mengenai apa yang terjadi dan apapun yang harus diantisipasi kedepan,” pungkasnya.
Advertisement