Indonesia Deflasi 3 Kali Berturut-turut Akibat Pengangguran Meningkat

Deflasi dinilai sebagai implikasi dari meningkatnya pengangguran.

oleh Maulandy Rizki Bayu Kencana diperbarui 04 Okt 2020, 15:00 WIB
Pencari kerja mencari informasi lowongan pekerjaan saat acara Job Fair di kawasan Jakarta, Rabu (27/11/2019). Job Fair tersebut digelar dengan menawarkan lowongan berbagai sektor untuk mengurangi angka pengangguran. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka deflasi pada September 2020 sebesar 0,05 persen. Deflasi ini menjadi yang ketiga kalinya secara beruntun sepanjang kuartal III 2020, atau selama periode Juli, Agustus dan September.

Kepala BPS Suhariyanto menyatakan, deflasi yang terjadi selama kuartal ketiga tahun ini mengindikasikan daya beli masyarakat Indonesia yang sangat lemah pada masa pandemi Covid-19. Di sisi lain, pasokan terbilang cukup dengan adanya penurunan harga dari beberapa komoditas.

Senada, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menilai, fenomena deflasi merupakan suatu bentuk akibat dari terbatasnya kegiatan sosial ekonomi selama masa pandemi.

"Deflasi terjadi karena demand yang rendah di tengah menurunnya daya beli kelompok bawah, sementara kelompok menengah atas menahan konsumsi. Hal ini adalah dampak dari pandemi yang membatasi aktivitas sosial ekonomi," ujarnya kepada Liputan6.com, Minggu (4/10/2020).

Piter lantas berkesimpulan bahwa deflasi tidak akan banyak berakibat terhadap kegiatan ekonomi nasional. Sebaliknya, deflasi merupakan buntut dari tingginya angka pengangguran saat ini.

"Jadi menurut saya deflasi tidak berdampak misalnya (kepada) pengangguran dan sebagainya. Deflasi adalah implikasi dari sudah terjadinya pengangguran," jelas dia.

Sebagai informasi, deflasi yang terjadi berturut-turut sebenarnya juga pernah terjadi pada 1999. Pada saat itu, deflasi terjadi selama 7 bulan beruntun sejak Maret hingga September.

Menurut Piter, kondisi saat ini masih lebih baik ketimbang era pasca reformasi tersebut. Dia mengutarakan, kondisi sistem keuangan di masa pandemi Covid-19 ini cenderung masih terjaga daripada 1999.

"Lebih buruk saat itu. Ketika itu secara kelembagaan sistem keuangan kita hancur. Saat ini hampir semua masih stabil. Masalah kita sekarang masih terpusat di pandemi," tukas Piter.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Deflasi Berturut-turut jadi Tanda Daya Beli Masyarakat Belum Pulih

Pedagang telur melayani pembeli di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Senin (1/10). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada bulan September 2018 terjadi deflasi sebesar 0,18 persen. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat selama September 2020 terjadi deflasi sebesar 0,05 persen. Deflasi ini menjadi tiga kali berturut-turut sejak kuartal III-2020 atau selama periode Juli, Agustus, dan September.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Nathan Kacaribu mengatakan, deflasi yang terjadi berturut-turut tersebut menunjukan daya beli atau permintaan masyarakat belum pulih secepat yang dibayangkan. Sebab, selama ekonomi belum pulih inflasi bakal terus rendah.

"Sepanjang pertumbuhan ekonomi masih negatif, biasanya inflasi akan rendah dan dalam konteks ini 3 bulan berturut-turut deflasi kecil," kata dia dalam video conference di Jakarta, Kamis (1/10).

Menurutnya, kondisi deflasi berturut-turut tersebut juga menjadi lampu kuning bagi pemerintah. Artinya dari sisi permintaan masih juga belum cukup pulih di tingkat masyarakat.

Sebab itu, pemerintah terus mendorong berbagai program pemulihan ekonomi nasional (PEN) utamanya pada program perlindungan sosial. Bantuan sosial (Bansos) masih akan digulirkan sampai akhir tahun yang jumlahnya hampir mencapai Rp200 triliun lebih.

"Kemudian keluarkan program banpres produktif itu juga masih dalam konteks itu. Bentuknya hibah, bukan pinjaman, diberikan ke pengusaha ultra mikro. Selain gunakan pakaian dan makanan, juga utk dunia usaha," kata dia.

Sementara di sisi lain, untuk meningkatkan daya beli masyarakat pemerintah juga memberikan subsidi bantuan upah (SBU) untuk 15,7 juta orang yang terdaftar BPJamsostek. Itu dilakukan dalam konteks menaikan jumlah permintaan. "Ini harus dilakukan terus," singkatnya.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com 


Tantangan Inflasi 2021 Lebih Berat

Pembeli membeli sayuran di pasar, Jakarta, Jumat (6/10). Dari data BPS inflasi pada September 2017 sebesar 0,13 persen. Angka tersebut mengalami kenaikan signifikan karena sebelumnya di Agustus 2017 deflasi 0,07 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengakui tantangan inflasi tahun 2021 diperkirakan lebih berat sesuai dengan asumsi dasar ekonomi makro yang mematok inflasi sebesar tiga persen.

“Inflasi tiga persen meskipun memang tantangan inflasi tahun depan lebih berat,” kata Perry Warjiyo dalam rapat kerja virtual membahas postur sementara Rancangan APBN 2021 bersama pemerintah dan Badan Anggaran DPR RI di Jakart, seperti dikutip dari Antara, Jumat (11/9/2020).

Tantangan inflasi lebih berat itu seiring dengan tema kebijakan fiskal dalam Rancangan APBN 2021 yakni percepatan pemulihan ekonomi imbas pandemi COVID-19.

Meski mengaku lebih berat, namun Perry Warjiyo mendukung asumsi dasar ekonomi makro itu, termasuk pertumbuhan ekonomi sesuai kesepakatan di Panja A yakni sebesar lima persen hingga nilai tukar rupiah sebesar Rp 14.600 per dolar AS.

“Nilai tukar 14.600 semua itu masih dalam risk kami, kami dukung untuk asumsi makro,” kata Perry Warjiyo.

Selama imbas pandemi COVID-19, tingkat inflasi tergolong rendah atau berada di bawah kisaran tiga persen.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi per Juni 2020 mencapai 0,18 persen, untuk inflasi tahun kalender selama semester pertama 2020 mencapai 1,09 persen dan secara tahunan sebesar 1,96 persen.

Sementara itu Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah berharap agar Bank Indonesia menjaga stabilitas sistem keuangan tahun 2021.

“Karena kami khawatir upaya yang dilakukan Gubernur BI akan menjadi sia-sia bagi kita semua, kalau tidak ada di antara kita koordinasi baik di semua lini,” ucapnya.

Ia juga mendorong Bank Indonesia mendukung stabilitas pasar Surat Berharga Negara (SBN) sebagai salah satu basis pembiayaan dalam APBN 2021.  

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya