Liputan6.com, Jakarta - Sudah 11 tahun sejak batik Indonesia diakui UNESCO sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Non-bendawi. Peringatan tahunan lewat Hari Batik Nasional pun tak pernah absen. Tapi, seberapa jauh sebenarnya progres industri salah satu wastra sarat nilai ini?
Menurut desainer kenamaan, Didiet Maulana, lompatan pemberdayaan kain batik sebenarnya sudah bagus. Dalam artian, telah banyak generasi muda terjun langsung jadi perajin batik. "Hanya saja karena pandemi, beberapa daerah setop (produksi kain batik) karena demand-nya berkurang," katanya lewat pesan pada Liputan6.com, Jumat, 2 Oktober 2020.
Ungkapan senada pun diutarakan Ketua Humas Yayasan Batik Indonesia (YBI), Nita Azis. Menurutnya, perkembangan kain batik dalam negeri telah berada di titik menggembirakan. Hal ini terefleksi dari terus bertambahnya anak-anak muda memakai kain batik dengan desain sesuai selera.
Baca Juga
Advertisement
"Lebih sporty dan kasual. Jadi, tak seperti dulu," ucapnya melalui sambungan telepon, Kamis, 1 Oktober 2020. Sementara dari segi desain, sambung Nita, karena ada perpaduan motif, kain batik Indonesia lebih bisa diterima sebagai busana sehari-hari.
Didiet menambahkan, generasi penerus perajin batik Indonesia pun sekarang sudah banyak memasukkan motif dan warna baru. "Contohnya di Lasem," imbuh figur di balik lini busana IKAT Indonesia tersebut. Upaya ini dilakukan tanpa meninggalkan akar ciri khas kain batik dari setiap daerah.
Progres serupa dilakukan para perajin di Kampung Batik Tulis Giriloyo Yogyakarta. Menurut Nur Ahmadi selaku Ketua 2 Paguyuban Batik Tulis Giriloyo Yogyakarta, dengan pendampingan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) DIY, pihaknya tengah mengembangkan motif batik baru dengan tak meninggalkan motif klasik.
"Dilanjut pendampingan selama tiga bulan dengan narasumber dari ISI Yogyakarta," Ahmadi menjelaskan lewat teks. Rencananya, pada akhir tahun ini, para perajin bakal memproduksi kain batik dengan motif minimalis.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Upaya Regenerasi Perajin Batik
Berbicara soal regenerasi, Ahmadi menjelaskan, tiap sekolah di wilayah Bantul telah menyisipkan batik sebagai muatan lokal wajib. Kendati, praktiknya jadi kian menantang di masa pandemi karena tak ada tatap muka.
Karenanya, sekarang pembelajaran didapatkan sebatas oleh mereka yang ibunya masih memproduksi kain batik. "Yang belajar saat ini ada 540 (orang) di Dusun Giriloyo, Cengkehan, dan Karang Kulon," paparnya.
Menurut Ahmadi, kesejahteraan para perajin batik sebenarnya akan otomatis membaik saat sudah lebih banyak orang memahami apa itu kain batik. Keberadaan tekstil motif batik atau yang lebih familiar disebut batik print diakuinya sebagai pesaing terbesar.
"Di Bantul, Dinas Kebudayaan mulai menggelar acara peningkatan sejarah lokal dengan mengangkat salah satunya batik. Guru-guru diberi pemahaman tentang sejarah batik, serta teknik pembuatan alat dan bahan bakunya," katanya.
Sedangkan, Didiet mengatakan, sebelum pandemi, kesejahteraan perajin batik sebenarnya sudah relatif baik. Pasalnya, Indonesia tengah nyaring menyuarakan pembelian produk dalam negeri. Momen ini pun dimanfaatkan para perajin untuk membuat produk turunan, seperti masker kain, sajadah, dan perlengkapan rumah, seperti selimut.
Advertisement
Kontribusi Nyata, Jangan Sekadar Selebrasi
Nita mengungkap, memasarkan produk adalah tantangan terbesar para perajin batik di masa pandemi. Maka itu, YBI berupaya memfasilitasinya lewat berbagai upaya, mulai dari online, sampai offline walau dengan segala keterbatasan dan penerapan protokol kesehatan yang ketat.
Saat PSBB dilonggarkan di Jakarta, pihaknya membuka Rumah Cikatomas untuk memasarkan kain batik karya para perajin kecil. "Sampai waiting list karena kami tak bisa menerima kunjungan dalam jumlah banyak," ucapnya.
Tapi, setelah PSBB kembali diterapkan, pihaknya tak hilang akal dan memindahkan pemasaran ke digital. "Tiap minggunya kami pasarkan mulai dari Selasa--Jumat setiap pukul 14 (WIB). Lalu, beberapa pihak dengan pengikut cukup banyak juga berkontribusi dalam memasarkan kain batik para perajin," katanya.
Perajin yang masuk kategori ini adalah mereka yang skala penjualannya masih kecil. Nita mengatakan, ada kurasi ketat yang dilakukan supaya upaya membantu para perajin ini tepat sasaran. "Sejauh ini kami sudah menjual lebih dari dua ribu kain batik tulis, cap, dan kombinasi karya 100 perajin dari berbagai daerah," paparnya.
Ke depan, YBI bakal memberi dukungan dengan menyokong bahan baku bagi perajin batik yang membutuhkan. Berbagai upaya ini tentu berujung pada kesadaran publik membeli kain batik karya para perajin.
"Tidak membeli (kain batik) yang print, melainkan batik cap dan tulis yang di baliknya ada pengusaha dan pembatik yang tertolong. Support dengan beli produk," ungkap Didiet.
Ia menyambung, kebijakan memakai produk kain batik di hari-hari tertentu pun membantu. "Semoga (kebijakan memakai produk kain batik) bisa disambut lebih banyak instansi non-government," tandas sang desainer.