Liputan6.com, Barru - Mata air Botto Sajang, Dusun Bunne, Desa Kading, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan menjadi sengketa. Polemik itu bermula dari kesalahan pahaman yang terjadi antara Ridwan, pemilik lahan dan warga setempat.
Berdasarkan penelusuran Liputan6.com, awal mula polemik itu berawal pada Juni 2020 lalu. Sejumlah warga protes lantaran pipa dari air Ridwan, memiliki posisi yang lebih rendah sehingga air yang mengaliri pipa air milik Ridwan lebih deras. Sejumlah warga pun mengaku debet air mereka berkurang karena hal tersebut.
"Iya memang betul, pipa saya lebih rendah dari yang lain, tapi itu tidak mengganggu aliran air warga lain," aku Ridwan saat dikonfirmasi, Jumat (2/10/2020).
Baca Juga
Advertisement
Belakangan persoalan itu kemudian ditengahi oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Barru, Lukman T. Sejumpah poin kesepakatan pun disepakati antara pemilik lahan dan warga.
"Ada beberapa poin kesepakatan waktu itu, dan saya setujui. Diantaranya adalah warga bisa mensejajarkan pipanya dengan punya saya," jelas Ridwan.
Ridwan menjelaskan bahwa poin kesepakatan itu tiba-tiba berubah, ada sejumlah kesepakatan baru yang sebelumnya tidak pernah dibahas tertuang dalam berita acara pertemuannya. Diantaranya adalah mata air Botto Sajang tidak boleh dimiliki oleh satu orang saja dan diserahkan ke pemerintah Desa Kading.
"Saya pun tidak mau menandatangani berita acara itu," jelas Ridwan.
Ridwan pun merasa dizalimi atas tuntutan tersebut. Pasalnya ia seolah dipaksa untuk menyerahkan tanah dan mata airnya yang notabene adalah hak miliknya.
"Tanah itu milik saya, ada sertifikatnya kok. Saya beli itu tahun 2013 lalu," terangnya.
Meski mata air itu masuk dalam lahan milik Ridwan, ia memastikan selama ini dirinya tidak pernah mempermasalahkan siapa saja warga yang menikmati air tersebut. Ia juga tidak pernah memungut biaya sepeserpun kepada warga yang menikmati mata air itu.
"Dari pemilik lahan sebelumnya sudah begitu, tidak pernah dipermasalahkan. Kenapa baru sekarang bermasalah," dia memungkasi.
Simak juga video pilihan berikut:
Pengakuan Kepala Desa
Sementara itu, Kepala Desa Kading, Akmal mengatakan bahwa dirinya sejauh ini berusaha mencari jalan tengah antara warga dan Ridwan selaku pemilik lahan. Namun hingga kini pelemik itu belum menemukan jalan keluar.
"Kalau mau lebih jelas silahkan bicara ke kuasa hukumnya warga," kata Akmal saat dikonfirmasi Liputan6.com, Jumat (2/10/2020).
Menurut Akmal, titik permasalahannya ada pada pemilik lahan yang enggan menandatangani berita acara hasil mediasi yang dilakukan oleh Ketua DPRD Barru. Masalah kemudian semakin menjadi keruh usai Ridwan memagar lahannya tersebut beserta mata airnya.
Padahal, lanjut Akmal, kesepakatan sebelumnya adalah mata air itu tidak boleh dipagari dan dimiliki oleh satu orang. Alasannya adalah karena mata air itu menanggung hajat hidup orang banyak.
"Ada rekamannya bahwa Pak Ridwan menyepakati itu, ada rekamannya. Mohon maaf saya tidak bisa sebar sembarang," bebernya.
Akmal menyebutkan bahwa saat pengukuran lahan ketika Ridwan membeli lahan itu untuk dan hendak membuat sertifikatnya ada kesepakatan antara Ridwan dan warga lainnya bahwa lahan di sekitar mata air Botto Sajang tidak boleh dimasukkan ke dalam sertifikat.
"Jadi ada kesepakatan waktu itu, tapi belakangan terbit sertifikat mata air itu malah masuk lahannya Pak Ridwan," ungkapnya.
Anehnya, tuding Akmal, ukuran lahan milik Ridwan seharusnya hanya 500 meter persegi malah menjadi 795 meter persegi.
"Saya kurang paham kenapa bisa demikian, karena itu terjadi pada masa pemerintahan sebelum saya. Yang jelas dalam permohonannya itu hanya 500 meter dan terbit sertifikat malah 795 meter," ucapnya.
Advertisement