Alasan Perempuan Dalam Video Vina Garut Gugat 8 UU Pornografi ke MK

Perempuan dalam video porno di Garut mengajukan pengujian Pasal 8 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi ke Mahkamah Konstitusi MK.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 03 Okt 2020, 14:11 WIB
Dengan pengawalan ketat aparat, VN, salah satu terdakwa kasus Vina Garut, mulai memasuki ruang persidangan di ruang persidangan Pengadilan Negeri Garut (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Liputan6.com, Jakarta Perempuan dalam video porno di Garut mengajukan pengujian Pasal 8 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dia meminta pasal tersebut dihapuskan.

Kuasa Hukum Pemohon, Fandi menyampaikan, ada empat dalil pokok yang membuat pihaknya meminta MK menghapus pasal tersebut.

"Pertama, kalau Pasal 8 itu nyata-nyatanya, dalam hal ini konteksnya, nggak melindungi perempuan di tengah budaya patriarki. Lebih jauh, justru Pasal 8 itu malah menyerang korbannya. Mestinya dia melindungi, dalam hal ini kelompok perempuan, anak, malah justru berbalik ketentuan pasal itu," tutur Fandi saat dihubungi Liputan6.com, Sabtu (3/10/2020).

Yang kedua, Fandi melanjutkan, Pasal 8 itu terlalu jauh masuk ke dalam ranah kehidupan pribadi masyarakat. Padahal, ada pengecualian di Pasal 4 bahwa seseorang diperbolehkan untuk menjadi objek suatu adegan pornografi, sepanjang itu hanya untuk kepentingan pribadinya.

"Nah konteks kasus ini kan sebenarnya ketika membuat video yang beredar di sosial media itu, baik yang sedang sama suaminya atau yang ada laki-laki lainnya, itu hanya konteks kepentingan pribadi. Di mana dia itu ditipu daya oleh almarhum suaminya agar supaya mau mengikuti hasrat seksualnya, agar mau membuat video, baik yang berdua atau berpasangan dengan laki-laki lainnya," jelas dia.

Fandi menyatakan, pemohon adalah korban yang semestinya dilindungi oleh UU Pornografi. Bukan malah dipukul oleh Pasal 8 yang isinya berbanding terbalik dengan semangat UU Pornografi, sehingga menjadi pihak yang diganjar hukuman. 

"Dalil ketiga itu terkait dengan ketentuan Pasal 8 yang sudah tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kalau baca di permohonannya, BPHN juga sudah pernah mengasih kajian tentang ketidakefektifan Pasal 8, baik dalam perumusan maupun aplikasinya," kata Fandi.

Terakhir, sambungnya, ketentuan Pasal 8 ini dinilai sangat berpotensial menyerang banyak orang. Seperti yang belakangan banyak terjadi kasus penyebaran video antar pasangan di sosial media lantaran putus cinta atau alasan lainnya.

"Nah si pasangan itu kan ketika membuat video konsennya kan dalam kapasitas bukan untuk menyebarkan luas. Mereka hanya untuk konsumsi pribadi. Namun dengan adanya Pasal 8 itu, justru akan membuat ruang korban yang harusnya dilindungi malah dirugikan dengan keberadaan Pasal 8 itu," Fandi menandaskan.

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Korban Ekspoitasi Seksual

Perempuan dalam video porno di Garut mengajukan pengujian Pasal 8 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Dia merasa sebagai korban eksploitasi seksual dan perdagangan orang yang dilakukan almarhum suaminya.

Dikutip dari laman Mahkamah Konstitusi, Jumat, 2 Oktober 2020 pemohon yang berusia 20 tahun itu dalam permohonannya menceritakan kisah hidupnya, mulai dari kondisi keluarga hingga karier bernyanyi dari desa ke desa.

Kemudian pada saat masih berusia 16 tahun, pemohon menikah siri dengan mantan suaminya yang lebih tua 14 tahun dan mengaku diperdagangkan kepada lelaki lain untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.

"Pemohon hanyalah seorang anak yang dimanipulasi secara kognitif untuk menuruti kehendak suami yang memiliki penyimpangan aktivitas seksual," kata pemohon dalam permohonannya, seperti dikutip dari Antara.

Menurut pemohon, ia tidak pernah melihat dan mengetahui isi video yang selalu direkam mantan suaminya itu saat melakukan hubungan suami istri. Termasuk video porno berisi seks beramai-ramai yang disebar mantan suaminya melalui media sosial untuk mendapatkan uang.

Namun, pemohon diproses hukum sebagai pelaku sehingga ia menilai Pasal 8 UU Pornografi yang berbunyi, "Setiap orang dilarang dengan sengaja atau persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi", justru tidak memberikan perlindungan hukum.

Untuk itu, pemohon yang divonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri Garut selama tiga tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider tiga bulan tersebut meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 8 UU Pornografi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya