Liputan6.com, Aceh - Seseorang berpantun dalam sidang rakyat via konferensi video itu. Takada kata-kata satire, hanya beberapa bait, empat larik, rima a-b-a-b, seperti kaprahnya sebuah pantun, namun membawa harapan besar di dalamnya.
Harapan yang muncul seiring meningkatnya kasus kekerasan seksual terutama yang menyasar kelompok rentan, perempuan dan anak. Berikut pula kenyataan bahwa penanganannya kerap dibayangi oleh pelbagai masalah, seperti absennya negara dalam memulihkan korban.
Di satu sisi, korban yang rengkah acapkali terjebak dalam 'lingkaran setan' kekerasan seksual, masuk ke dalam dunia prostitusi yang gelap, berubah orientasi seksualnya, mengalami depresi, hingga bunuh diri. Hal ini terurai dalam sidang rakyat dengan tajuk mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) Region Sumatera, Sabtu (3/10/2020).
Baca Juga
Advertisement
Sidang rakyat ini menghadirkan 44 organisasi yang tergabung dalam jaringan masyarakat sipil Sumatera. Dipimpin oleh Rahmi Meri Yenti dari WCC Nurani Perempuan Sumbar, Ratumas Dewi dari HWDI Jambi, dan Wilton Amos Panggabean dari LBH Pekanbaru, dengan peserta, penyintas, akademisi, pendamping, tokoh adat, perempuan akar rumput, seniman, dan lainnya.
Juru Bicara Tini Rahayu mengatakan bahwa RUU PKS lahir karena kasus YY di Bengkulu, siswi sekolah menengah pertama yang dirudapaksa oleh 11 laki-laki. Para pelaku memang telah mengakui kesalahan dan menyesali perbuatannya di dalam persidangan, sayang, YY tetap tidak akan pernah kembali, ia pergi membawa kisah tragis yang tidak akan lekang oleh sekadar kata maaf dan vonis mati.
Dari kasus YY, negara sadar bahwa perundang-undangan di Indonesia masih terbatas pada formulasi bentuk, definisi, dan ruang lingkup perlindungan serta pemulihan korban. Keterbatasan hukum yang seperti ini menyebabkan korban tidak mendapatkan rasa aman, adil, dan pulih secara psikis dari bayang-bayang peristiwa yang telah menimpanya.
"RUU PKS merupakan ikhtiar untuk mencegah kekerasan seksual terjadi lagi sehingga kedaruratan kekerasan seksual yang terjadi bisa tertanggulangi dengan baik. Namun, apa dikata, saat ini DPR RI dan pemerintah agaknya lupa dengan YY yang tersebar di bumi Indonesia," ujar Tini, dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Sabtu malam, 3 Oktober 2020.
Simak Video Pilihan Berikut Ini:
Korban Menangis, Pelaku Lenggok-Lenggok
Darurat kekerasan seksual di Sumatera ditandai meningkatnya kasus-kasus kekerasan seksual dengan pelbagai modus operandi, yang kian pelik ketika berada dalam situasi khusus seperti di Aceh. Seperti diketahui, di provinsi tersebut berlaku aturan khusus, yakni Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, di mana pelaksanaan uqubat/sanksi pidana terhadap jarimah atau perbuatan yang dilarang oleh syariat Islam, termasuk kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak, telah diatur di dalam qanun tersebut.
"Dalam implementasinya, Qanun Jinayat dalam menangani kasus kejahatan seksual menimbulkan tiga permasalahan utama. Pertama, tumpang tindih peraturan perundang-undangan. Kedua, bentuk pemidanaan yang tidak adil, dan ketiga, hak atas restitusi yang tidak jelas teknis pengaturannya untuk memenuhi aspek keadilan terhadap korban kejahatan seksual," jelas Kepala Operasional YLBHI-LBH Banda Aceh, Desi Amelia.
Selain itu, juga telah muncul permasalahan lain ketika aparat penegak hukum (APH) malah membebankan pembuktian kepada para korban. Di sini, alih-alih menerapkan hukuman penjara, APH lebih memilih memedomani qanun kepada para pelaku kekerasan seksual, yang notabene cenderung ringan jika tidak disebut tidak memiliki efek jera sama sekali, dengan dalih otonomi.
"Bayangkan saja, ketika pelaku hanya dihukum cambuk beberapa kali, lantas pelaku bisa kembali berkeliaran dan berjumpa dengan korban hingga menyebabkan korban trauma dan merasa tidak mendapatkan keadilan," ketus Desi.
Sementara pelaku lenggok-lenggok, residu dari efek kerusakan psikis akibat peristiwa yang dialami oleh korban akan terus ada. Ianya hanya mengendap, sewaktu-waktu bisa muncul, meledak, dan menghancurkan.
Advertisement
Masalah dalam Masyarakat Adat
Di Sumatera mengemuka pula permasalahan seperti yang terjadi dalam masyarakat adat, di mana, apa yang dialami oleh korban cenderung ditutup-tutupi oleh pihak keluarga besarnya karena dianggap sebagai aib. Contohnya, kasus yang terjadi di Mentawai, ketika korban memilih mengakhiri hidup dengan cara meminum racun.
Jika berkaca dari tipologi kekerasan seksual, di mana korban cenderung tidak berani mengungkapkan apa yang dialami karena takut mendapat stigma bahkan persekusi dari keluarga dan masyarakat, korban akhirnya banyak yang memilih diam. Muaranya, jalan pengungkapan kasus-kasus yang demikian kian gelap, bahkan redup sama sekali.
Karena itu, tokoh adat Desa Binaga Boang Medan, Jondri Betutu, dan Merangin, Eka Anwar Arif bersuara lantang mendukung pengesahan RUU PKS agar hal serupa tidak terjadi kembali. Dukungan terhadap RUU PKS di dalam sidang tersebut juga datang dari para pendamping, penyintas, akademisi sejumlah perguruan tinggi, lembaga nonpemerintah, seniman dan lainnya.
Minum teh es sesudah makan/Dibawa pulang sebungkus jus tomat/Semoga RUU PKS segera disahkan/Oleh Dewan yang terhormat (Salah satu bait pantun yang dibacakan oleh Yudelmi dalam Sidang Rakyat mendesak pengesahan RUU PKS Region Sumatera).