Cerita Mbah Margo Temukan Tengkorak di Sumur Pembantaian PKI Gua Grubug

Gua Grubug merupakan salah satu gua yang dijadikan tempat pembuangan jenazah korban pembantaian anggota PKI

oleh Hendro diperbarui 05 Okt 2020, 00:07 WIB
Margo Utomo (70) warga Padukuhan Dawung, Kalurahan Girikarto, Kapanewon Panggang, Gunungkidul menemukan tengkorak korban keganasan PKI, di Gua Grubug, Gunungkidul. (Foto: Liputan6.com/Hendro Ary Wibowo)

Liputan6.com, Gunungkidul - Margo Utomo (70) warga Padukuhan Dawung, Kalurahan Girikarto, Kapanewon Panggang, Gunungkidul, mengaku menjadi yang pertama kali menuruni Gua Grubug yang terletak di Padukuhan Jetis, Kalurahan Pacarejo, Kapanewon Semanu.

Seperti yang diketahui, Gua Grubug merupakan salah satu gua yang dijadikan tempat pembuangan jenazah anggota Partai Komunis Indonesia atau PKI , dalam operasi pembersihan, kala itu.

Margo Utomo, nama tua yang dikenal masyarakat Girikarto, merupakan salah satu orang yang berani menuruni gua vertikal untuk mencari sarang burung walet. Keahliannya dalam bidang pekerjaan ini menjadikannya dicari oleh polisi dan tentara waktu itu.

"Saya kerja sama Cina yang nyewa gua di pesisir untuk cari burung wallet, sebulan saya dikasih upah Rp50," ucap Margo saat ditemui di ladang.

Margo menceritakan, kala itu, ia ingat betul sekitar tahun 1970-an, ia didatangi oleh polisi dengan perintah untuk mencari sarang burung walet di Gua Grubug. Merasa dimintai tolong, ia tak berpikir panjang. Ia mengiyakan permintaan dari polisi yang ia, sayangnya, lupa namanya.

"Saya dikasih tau, ada babu (induk) walet di bawah, sepertinya banyak burung walet disana," ujar dia, yang tentu tak mengira bakal menemukan tengkorak korban pembunuhan oleh, diduga, PKI.

 

Simak Video Pilihan Berikut:


Dijemput 5 Aparat

Gua Grubug, Yogyakarta. (blog.misteraladin.com)

Sembari mengingat kejadian, dia bercerita, sekitar pukul 06.00 WIB pagi, dirinya dijemput lima aparat untuk menuju ke Gua Grubug. Margo lantas berpamitan kepada anak dan istrinya.

"Perjalanan sekitar satu jam menggunakan kendaraan roda empat," kata Margo.

Sesampainya di lokasi, ia kemudian menggunakan sejumlah pengaman berupa tali yang berbentuk seperti tampar. Tali tersebut dirangkai seperti tangga untuk ia turun. Sebelum turun ia dipesani oleh pria yang berseragam polisi untuk membawa apa saja yang ditemukan di bawah sebagai bukti.

Ada dua rekannya yang menunggu di atas karena tak berani turun. Namun, tanpa berpikir panjang ia lantas menuruni gua vertikal tersebut.

Sesampainya di bawah, ia lantas menemukan pertemuan sumber sungai. Aliran sungainya pun cukup deras. Namun ia justru menemukan tengkorak manusia yang tersangkut pada batu besar di dasaran.

"Ingat betul sama pesan, kalau menemukan apapun harus dibawa naik ya saya ambil tulang iga tengkorak tersebut," jelas dia.

Dia menjelaskan, belulang yang tersangkut tersebut hanya bagian punggung saja. Pria yang memiliki tiga istri ini kemudian mengambil satu tulang tersebut.

 


Tengkorak Orang Kuat

Margo Utomo (70) warga Padukuhan Dawung, Kalurahan Girikarto, Kapanewon Panggang, Gunungkidul menemukan tengkorak korban keganasan PKI, di Gua Grubug, Gunungkidul. (Foto: Liputan6.com/Hendro Ary Wibowo)

"Tulang itu saya ikat di tali, terus saya bawa naik. Saya yakin itu jasad orang kuat. Saya di bawah sama sekali tidak menemukan apapun selain tulang yang tersangkut batu itu," papar Margo.

Meskipun Margo juga melihat beberapa burung walet, tetapi lokasi sarangnya cukup berbahaya untuk diakses. Selain itu juga jumlahnya sangat sedikit.

"Ya ada sarang walet, tapi tempatnya nyempil-nyempil, susah, saya kalau ke sana berisiko," dia mengungkapkan.

"Saya turun jam 7 sampai atas jam 3 sore, saya berikan tulang itu kepada orang yang merintah saya, kemudian di atas dilihat banyak orang, saya kemudian pulang," ucapnya.

Simbah yang kini tinggal bersama istri ketiganya ini mengaku, dari ratusan gua vertikal yang ia susuri untuk mencari sarang walet hanya Goa Grubug yang justru ditemukan tulang belulang. Namun demikian, seusai menyusuri Gua Grubug dan menemukan tulang ia tidak memiliki rasa takut atau perasaan apapun.

"Kemudian saya melanjutkan kehidupan tetap mencari sarang walet, sampai gempa 2006, saya berhenti mencari karena banyak bebatuan yang gempil dan takut juga," ujar Mbah Margo yang kini memiliki enam cucu ini.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya