Pentingnya Ruang Terbuka Hijau untuk Warga Perkotaan Seperti Jakarta

Berbulan-bulan berada di dalam ruangan, tentu saja menimbulkan rasa jenuh bagi manusia yang merupakan makhluk sosial.

oleh Yusron Fahmi diperbarui 17 Okt 2020, 12:37 WIB
Suasana Taman Suropati di kawasan Menteng, Jakarta, Selasa (24/3/2020). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menutup semua Ruang Terbuka Hijau terhitung sejak 14 Maret 2020 hingga 14 hari ke depan sebagai antisipasi merebaknya virus Corona Covid-19. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Tujuh bulan sejak diumumkan oleh Presiden Jokowi pada awal Maret 2020, belum ada tanda-tanda pandemi Covid-19 akan mereda. Tren yang muncul justru semakin naik dan terus bertambah kasusnya setiap hari.  Sebagian masyarakat pun tetap memilih mengurangi aktivitas di luar rumah selama masa pandemi.

Berbulan-bulan berada di dalam ruangan, tentu saja menimbulkan rasa jenuh bagi manusia yang merupakan makhluk sosial.

Selain pergi ke bioskop yang rencananya akan dibuka kembali, ada cara lain yang bisa menimbulkan rasa bahagia dan meningkatkan imunitas, yaitu berada di alam.

Riset dari para peneliti di Universitas Warwick dan Universitas Sheffield di Britania Raya, pada tahun 2018 lalu, seperti ditulis Misha Ketchell dari theconversation.com, menyebutkan bahwa interaksi manusia dengan alam sekitarnya bisa menimbulkan perasaan nyaman sehingga membuat kesehatan mental membaik.

Akibat pandemi ini, masyarakat mulai menyadari betapa berharganya berada di alam dan pentingnya kawasan hijau sebagai salah satu cara menghilangkan kejenuhan dan kebosanan.

Sayangnya, peranan ruang terbuka hijau (RTH) ini belum begitu populer di perkotaan di mana pusat perbelanjaan mendominasi sebagai sarana hiburan dan pelepas jenuh.

Manfaat RTHRuang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu area atau jalur yang berada dalam kota atau wilayah yang penggunaannya bersifat terbuka.

Disebut sebagai ‘kawasan hijau’ karena menjadi tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh alami atau sengaja ditanam untuk memberikan kesan hijau dan teduh.

Sebagai contoh, taman kota, jalur hijau di sepanjang jalan, dan areal di sepanjang sungai.

Fungsi utama RTH adalah membantu menyeimbangkan kondisi ekologis kota karena pohon dan tanaman akan membantu menyerap karbon dioksida sekaligus menyimpan air.

Fungsi ini cenderung menurun di kota-kota besar yang memiliki tingkat polusi tinggi dan jauh dari kesan teduh.

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Manfaat Ekologis

Suasana Taman Lapangan Banteng yang tutup di Jakarta, Minggu (20/9/2020). Seluruh taman kota dan hutan kota ditutup kembali untuk sementara terkait pemberlakuan PSBB total di Jakarta guna menekan penyebaran virus covid-19. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Selain manfaat ekologis, manfaat RTH lainnya antara lain sebagai tempat berinteraksi sosial, sarana pendidikan dan penelitian, seperti di Kebun Raya Bogor.

Ketiga, RTH bisa dimanfaatkan secara ekonomi sebagai tempat wisata alam atau ekowisata bagi penduduk di daerah perkotaan. Misalnya, kawasan Setu Babakan di Jakarta Selatan.

Kawasan Setu Babakan merupakan salah satu kawasan hijau sekaligus pusat budaya Betawi yang berlokasi di Jakarta Selatan.

Terakhir, manfaat RTH adalah memberikan kenyamanan dan keindahan lingkungan (estetika) bagi perkotaan yang hanya merupakan deretan bangunan semata.

Selain 4 manfaat tersebut, fungsi ruang terbuka juga bisa menjadi media eskapisme, terutama saat kita sedang berjuang menghadapi pandemi corona.

RTH bisa menjadi tempat yang terjangkau untuk membebaskan diri serta menghindari tekanan dengan minim risiko. Tentu saja, dengan disiplin mematuhi protokol COVID-19, yaitu menjaga jarak, memakai masker, dan sering mencuci tangan.

Kondisi pandemi ini bisa menjadi kesempatan bagi masyarakat untuk merasa lebih terkoneksi dengan alam dan kawasan hijau, dibandingkan kawasan tertutup.

Dan tentu situasi ini harus tetap dipertahankan ketika pandemi selesai agar kawasan hijau semakin meluas dan pembangunan RTH makin digiatkan.

Kawasan hijau idealnya, setiap kota harus memiliki setidaknya 30% RTH dari total keseluruhan luas wilayah.

Sayangnya, keberadaan RTH di Indonesia masih jauh dari ideal.

Jakarta, contohnya, dengan luas kawasan 661,5 kilometer persegi, setidaknya harus memiliki kawasan hijau seluas 200 kilometer persegi.

Namun, ini tidak tercapai karena terbentur karena hadirnya infrastruktur seperti gedung tinggi dan pusat perbelanjaan modern.

Kebutuhan lahan untuk pemukiman penduduk akhirnya mengalahkan kewajiban RTH 30% di perkotaan. Pemerintah kota Bekasi mengakui bahwa mereka tidak bisa menyanggupi kebutuhan RTH 30% karena areal sudah terlanjur berubah menjadi perumahan dan minimnya dana untuk pemebasan lahan.

Masalah kota Bekasi ini menjadi hal yang umum terjadi di kawasan urban Indonesia.

Hasilnya, secara nasional, keberadaan kawasan hijau mengalami penurunan selama 30 tahun terakhir akibat masifnya pembangunan infrastruktur yang belum berwawasan lingkungan.

Menurut data terbaru dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sampai medio 2019 kemarin, baru 13 dari 174 kota di Indonesia yang memahami pentingnya RTH bagi pembangunan dan pengembangan wilayah. Jumlah ini tidak bertambah sampai tahun 2020.

 


Masih Jadi Monopoli

Suasana Taman Lapangan Banteng yang tutup di Jakarta, Minggu (20/9/2020). Seluruh taman kota dan hutan kota ditutup kembali untuk sementara terkait pemberlakuan PSBB total di Jakarta guna menekan penyebaran virus covid-19. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Kajian World Economic Forum pada tahun 2020 menyebutkan bahwa akses untuk kawasan hijau masih menjadi monopoli ‘kaum berada’ karena mereka mampu untuk membeli hunian yang dekat dengan kawasan hijau dan nuansa alam.

Hal ini menjadi tantangan untuk membuat kawasan hijau terjangkau bagi semua kalangan, terlebih masa pandemi.

Namun, menciptakan ruang terbuka hijau tidak perlu menunggu hingga ada taman kota atau membeli rumah dengan taman yang luas.

Kita masih bisa mensiasati kebutuhan kawasan hijau ini, misalnya dengan kegiatan berkebun yang sederhana dan relatif mudah dilakukan di lahan terbatas.

Ada 3 cara berkebun yang bisa dilakukan di rumah atau hunian wilayah perkotaan, yaitu taman atap atau mencoba memanfaatkan area atas rumah untuk berkebun, taman vertikal atau memanfaatkan dinding atau area vertical untuk berkebun, dan taman gantung atau berkebun dengan menggantungkan tanaman di sisi rumah yang relatif sempit.

 Berkebun vertikal seperti ini mulai menjadi tren bagi masyarakat urban yang ingin rehat dari jenuhnya berada di rumah akibat pandemi. A papun cara yang dilakukan, aktivitas berkebun ini bisa membantu mengurangi risiko depresi dan stres dalam menghadapi pandemi.

Dengan berkebun, kita bisa meminimalisir kejenuhan akibat “di rumah saja” karena pandemi COVID-19 dengan cara sederhana.

 

*** Penulis: Lengga Pradipta, Peneliti LIPI. Artikel ini sebelumnya tayang di The Conversation pada 9 September 2020

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya