Liputan6.com, Jakarta - Omnibus Law RUU Cipta Kerja disahkan DPR dalam rapat paripurna yang digelar hari ini, Senin (5/10/2020).
Buruh pun menolak disahkannya Omnibus Law RUU Cipta Kerja dengan berbagai alasan. Misalnya saja, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menegaskan, pihaknya masih konsisten untuk menolak pengesahannya.
Advertisement
Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, ada tujuh alasan pihaknya menolak RUU Cipta Kerja. Alasan pertama adalah UMK bersyarat dan UMSK dihapus, karena setiap daerah nilainya berbeda.
"Jadi tidak harus sama rata sama rasa, karena faktanya setiap industri berbeda kemampuannya. Karena itu masih dibutuhkan UMSK," kata Said dalam keterangannya, Senin (5/10/2020).
Bahkan, empat serikat buruh di Indonesia menegaskan menolak ikut serta dalam aksi mogok nasional yang direncanakan pada 6-8 Oktober 2020.
Keempat serikat buruh itu yakni Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) dan Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (KSARBUMUSI).
Berikut rentetan alasan buruh tolak disahkannya Omnibus Law RUU Cipta Kerja dihimpun Liputan6.com:
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tak Ikut Mogok Nasional, Tapi Tetap Tolak RUU Cipta Kerja
Empat serikat buruh di Indonesia menegaskan menolak ikut serta dalam aksi mogok nasional yang direncanakan pada 6-8 Oktober 2020.
Keempat serikat buruh itu yakni Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) dan Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (KSARBUMUSI).
Pernyataan yang diterima di Jakarta, Minggu (4/10/2020) menyebutkan, keempat serikat buruh tersebut merasa perlu mempertegas sikap untuk memberi kepastian kepada buruh atau pekerja menanggapi situasi terkini, yaitu pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang yang akan dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR pada Kamis (8/10/2020) mendatang.
Seperti dikutip Antara, adapun poin-poin pernyataan sikap keempatnya antara lain, advokasi serikat pekerja soal Omnibus Law RUU Cipta Kerja sudah melalui jalan panjang dengan melakukan kajian kritis, kirim surat masal bersama, lobi-lobi atau audiensi ke pemerintah dan DPR RI.
Demikian pula dengan aksi unjuk rasa, termasuk publikasi media sampai masuk terlibat dalam Tim Tripartit untuk menyuarakan kritisi soal subtansi Omnibus Law RUU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan.
Proses perjuangan tersebut sekarang disebut sedang dikawal terus agar sesuai harapan pekerja atau buruh Indonesia.
Pada prinsipnya, serikat buruh menyatakan akan melakukan koreksi dan penolakan atas segala kebijakan apa pun yang merugikan rakyat, khususnya pekerja atau buruh Indonesia, termasuk soal Omnibus Law RUU Ciptaker.
Adapun soal cara jalan perjuangan, tentu tidak harus sama dengan komponen serikat pekerja atau serikat buruh lain untuk tujuan yang sama.
Keempat serikat juga memperhatikan dan mempertimbangkan situasi dampak pandemi Covid-19 yang belum berakhir dan menghantam sektor ekonomi dan kesehatan, dan dinilai sangat berbahaya bagi masyarakat Indonesia.
Serikat juga menimbang saran dan masukan yang berkembang terutama dari daerah-daerah dan pengurus tingkat perusahaan akan situasi dan kondisi ribuan anggota yang masih banyak dirumahkan serta belum selesainya kasus ribuan PHK pekerja atau buruh anggota serikat.
Advertisement
Alasan KSPI
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menegaskan, pihaknya masih konsisten untuk menolak pengesahan RUU Cipta Kerja.
Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, ada tujuh alasan pihaknya menolak RUU Cipta Kerja. Yang pertama adalah UMK bersyarat dan UMSK dihapus, karena setiap daerah nilainya berbeda.
"Jadi tidak harus sama rata sama rasa, karena faktanya setiap industri berbeda kemampuannya. Karena itu masih dibutuhkan UMSK," kata Said dalam keterangannya, Senin (5/10/2020).
Alasan kedua diklaim KSPI, adalah menolak pengurangan nilai pesangon yang dibayar melalui BPJS Ketenagakerjaan. Dia pun mempertanyakan sumber dananya. "Dengan kata lain, nilai pesangon berkurang walaupun dengan skema baru," tutur Said.
Ketiga soal tidak ada batas waktu kontrak, yang menurutnya membebani buruh, yang poinnya juga sama tak mentolelir adanya pekerja outsourching terus menurus. Karena semuanya tak akan mendapatkan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
"Sekarang saja jumlah karyawan kontrak dan outsourcing berkisar 70 % sampai 80 % dari total buruh yang bekerja di sektor formal. Dengan disahkannya omnibus law, apakah mau dibikin 5% hingga 15% saja jumlah karyawan tetap?," kata Said.
Untuk alasan kelima, Said menjelaskan, buruh menolak jam kerja yang eksploitatif. Kemudian, keenam hak cuti, hak upah atas cuti, cuti haid dan melahirkan hilang, serta hak cuti panjang hilang.
Ketuju, potensinya jaminan pensiun dan kesehatan hilang karena terus menggunakan karyawan kontrak dan outsourching.
"Karena itulah, sebanyak 2 juta buruh sudah terkonfirmasi akan melakukan mogok nasional yang berlokasi di lingkungan perusahaan masing-masing," tegas Said.
Gekanas Juga Menolak
Kelompok buruh yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Kesejahteraan Nasional (Gekanas) bersikukuh tetap menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat FSP TSK SPSI yang juga Presedium Aliansi Gekanas Roy Jinto Ferianto, upaya penghalangan aksi buruh oleh aparat kepolisian dengan acara mencegat rombongan buruh yang akan berangkat ke DPR RI, memblokade kawasan-kawasan industri di Bekasi, Tangerang dan Jakarta.
“Tanggal 6 sampai dengan 8 Oktober 2020 kaum buruh siap melakukan aksi nasional secara serentak di seluruh kabupaten dan kota se-Indonesia, untuk menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Aksi ini upaya terakhir kaum buruh untuk menjegal agar Omnibus law RUU Cipta Kerja ini tidak disahkan,” kata Roy dalam keterangan resmi, Senin (5/10/2020).
Roy menjelaskan aksi kelompok buruh dilaksanakan secara konstitusional sesuai dengan UUD 1945, UU Nomor 9 Tahun 1998 dan pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2000. Dalam melaksanakan aksinya, buruh tetap melaksanakan protokol kesehatan Covid-19 dengan memakai masker, bawa hand sanitizer, jaga jarak dan lainnya, serta akan berjalan secara tertib dan damai.
Roy menyebutkan RUU Cipta Kerja bukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan melindungi buruh. Malah sebaliknya ucap Roy, yaitu hanya untuk kepentingan kelompok pemodal.
"Oleh karena itu, sikap kami kelompok buruh jelas menolak Omnibus Law Cipta Kerja dan meminta klaster ketenagakerjaan dikeluarkan dan juga menolak pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja diparipurnakan," kata Roy.
Roy menuturkan kesepakatan Panja DPR RI dan pemerintah, khususnya klaster ketenagakerjaan sangat merugikan kelompok buruh. Antara lain dengan dibebaskannya sistem kerja PKWT dan outsourcing tanpa ada batasan jenis pekerjaan dan waktu.
Hal itu terang Roy, membuat buruh tidak ada kepastian pekerjaan. Selain itu dihapusnya upah minimum sektoral, diberlakukannya upah per jam ungkap Roy, mengakibatkan tidak adanya kepastian pendapatan, PHK dipermudah, pesongon dikurangi, hak cuti dihapus sangat merugikan kelompoknya.
"Dalam situasi pandemi seperti ini, kami menilai Omnibus Law RUU Cipta Kerja tidak akan menjawab persoalan ekonomi maupun investasi. Karena dengan terus meningkatnya angka positif COVID-19 di Indonesia, investor pun tidak akan masuk ke Indonesia," ungkap Roy.
Seharusnya ucap Roy, pemerintah dan DPR RI fokus pada penanganan COVID - 19 sehingga dunia internasional percaya kepada Indonesia mampu menangani COVID - 19. Namun faktanya lanjut Roy, justru sebaliknya malah mempercepat pembahasan dan pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Buruh beranggapan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja di tingkat pertama pada tanggal 3 Oktober 2020 sudah ditandai dengan pandangan mini fraksi. Hanya dua fraksi yang menolak yaitu Demokrat dan PKS soal pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja diteruskan ke tingkat kedua yaitu paripurna.
"Sedangkan tujuh fraksi lainnya setuju dilanjutkan ke paripurna, keputusan Baleg dan pemerintah tersebut sangat membuat kelompok buruh kecewa dan marah kepada DPR RI. Karena DPR RI tidak mencerminkan sebagai wakil rakyat, dimana rakyat khususnya kelompok buruh jelas menolak," tutur Roy.
Tetapi pembahasan terus dilakukan baik pada hari libur sampai tengah malam. Hal ini mengindikasikan bahwa RUU Cipta Kerja sedang kejar tayang pembahasan terus dilakukan di tengah pandemi COVID-19.
Advertisement
Ada 7 Substansi yang Ditolak
Sejumlah kalangan menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker).
Bahkan, kalangan buruh akan mengadakan demo besar-besaran sebagai aksi penolakan RUU Ciptaker.
Dilansir dari berbagai sumber, berikut rangkuman yang menjadi substansi penolakan kalangan buruh terhadap RUU Ciptaker:
Pertama, adanya aturan upah minimum kabupaten/kota bersyarat dan penghapusan upah minimum sektoral kabupaten/kota.
Kedua, penurunan pesangon dari 32 bulan menjadi 25 bulan upah saja.
Ketiga, adanya penetapan perjanjian kerja waktu tertentu dan kontrak tanpa ada batas waktu.
Keempat, adanya pekerja alih daya tanpa batas waktu dan jenis pekerjaan.
Kelima, tambahan waktu kerja tetap.
Keenam, penghilangan hak upah atas cuti.
Ketujuh, penghilangan jaminan pensiun dan kesehatan karena karyawan bisa dikontrak dan alih daya seumur hidup.