Liputan6.com, Jakarta - Menanggapi pengesahan RUU Cipta Kerja (Ciptaker) menjadi undang-undang, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyatakan pengesahan RUU Cipta Kerja menunjukkan kurang komitmennya pemerintah Indonesia dan anggota DPR RI untuk menegakkan hak asasi manusia.
“Mereka yang menentang karena substansi Cipta Kerja dan prosedur penyusunan UU baru ini sama sekali tidak menjadi pertimbangan para pembuat kebijakan. Anggota dewan dan pemerintah tampaknya lebih memilih untuk mendengar kelompok kecil yang diuntungkan oleh aturan ini. Sementara hak jutaan pekerja kini terancam,” kata Usman dalam keterangannya, Selasa (6/10/2020).
Advertisement
Usman menegaskan serikat pekerja dan kelompok masyarakat sipil seharusnya dilibatkan secara terus-menerus dalam pembahasan RUU Cipta Kerja ini dari awal. Sebab, mereka yang akan menanggung langsung dampak dari berlakunya Omnibus Cipta Kerja.
“Peristiwa penting di rapat paripurna hari ini akan memberikan lebih banyak ruang bagi perusahaan dan korporasi untuk mengeksploitasi tenaga kerja dan akan berujung pada kurangnya kepatuhan pengusaha terhadap upah minimum menurut undang-undang,” ucapnya.
“Belum lagi, perusahaan tidak lagi berkewajiban mengangkat pekerja kontrak menjadi pegawai tetap. Aturan seperti ini berpotensi menyebabkan perlakuan tidak adil bagi para pekerja karena mereka akan terus-menerus menjadi pegawai tidak tetap,” ucapnya.
Amnesty Internasional Indonesia mendesak mendesak anggota DPR untuk merevisi aturan-aturan bermasalah dalam UU Ciptaker. Hak asasi manusia harus menjadi prioritas di dalam setiap pengambilan keputusan. Pemerintah juga harus melindungi dan menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi dari mereka yang dirugikan atas pengesahan RUU Cipta Kerja ini
“Pandemi Covid-19, lagi-lagi, tidak boleh dijadikan alasan untuk melindungi hak mereka karena bersuara adalah satu-satunya jalan untuk didengar bagi mereka yang haknya dirampas,” terangnya.
“Jangan sampai pengesahan ini menjadi awal krisis hak asasi manusia baru, di mana mereka yang menentang kebijakan baru dibungkam,” ia menandaskan.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pasal-Pasal yang Disorot
Berikut pasal-pasal yang menjadi catatan Amnesty Internasional:
1. Masuknya Pasal 88B yang memberikan kebebasan kepada pengusaha untuk menentukan unit keluaran yang ditugaskan kepada pekerja sebagai dasar penghitungan upah (sistem upah per satuan). Tidak ada jaminan bahwa sistem besaran upah per satuan untuk menentukan upah minimum di sektor tertentu tidak akan berakhir di bawah upah minimum
2. Penghapusan Pasal 91 di UU Ketenagakerjaan, yang mewajibkan upah yang disetujui oleh pengusaha dan pekerja tidak boleh lebih rendah daripada upah minimum sesuai peraturan perundang-undangan; apabila persetujuan upah tersebut lebih rendah daripada upah minimum dalam peraturan perundang-undangan, maka pengusaha diwajibkan untuk membayar para pekerja sesuai dengan standar upah minimum dalam peraturan perundang-undangan. Jika dilanggar pengusaha akan mendapat sanksi.
Menghapus Pasal 91 UU Ketenagakerjaan ini akan berujung pada kurangnya kepatuhan pengusaha terhadap upah minimum menurut undang-undang. Dengan kata lain, kemungkinan besar pengusaha akan memberikan upah yang lebih rendah kepada pekerja dan tidak melakukan apa-apa karena tidak ada lagi sanksi yang mengharuskan mereka melakukannya.
3. Pencantuman Pasal 59 UU Ketenagakerjaan terkait perubahan status PKWT menjadi PKWTT. Meski demikian, jangka waktu maksimum perjanjian kerja sementara dan jangka waktu perpanjangan maksimum belum secara spesifik diatur seperti dalam UU Ketenagakerjaan, namun disebutkan akan diatur dalam PP. Catatan: aturan teknis apapun yang dibuat menyusul pengesahan Omnibus jangan sampai membebaskan pengusaha dari kewajiban mereka untuk mengubah status pekerja sementara menjadi pekerja tetap. Hal ini menghilangkan kepastian kerja
4. Batasan waktu kerja dalam Pasal 77 ayat (2) masih dikecualikan untuk sektor tertentu. Detail skema masa kerja dan sektor tertentu yang dimaksud akan dijabarkan lebih lanjut melalui peraturan pemerintah (PP). Ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya perbedaan batas waktu kerja bagi sektor tertentu dan kompensasinya akan dapat merugikan pekerja di sektor-sektor tertentu, karena mereka dapat diminta untuk bekerja lebih lama dan menerima pembayaran untuk lembur yang lebih rendah dibandingkan pekerja di sektor lain.
Advertisement