Serikat Pekerja BUMN Tolak Ikut Mogok Kerja Nasional, Ini Alasan

Konfederasi Serikat Pekerja (KSP) BUMN menyatakan tidak ikut dalam aksi mogok kerja nasional dalam rangka menolak pengesahan RUU Cipta Kerja.

oleh Maulandy Rizki Bayu Kencana diperbarui 06 Okt 2020, 16:20 WIB
Ratusan buruh menggelar aksi demo di kawasan industri Pulogadung, Jakarta, Selasa (24/11/2015). Buruh menuntut dicabutnya Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Liputan6.com, Jakarta - Jutaan buruh dan pekerja mulai Senin hari ini (6/10/2020) hingga Kamis (8/10/2020) mendatang kompak melakukan aksi mogok kerja nasional guna menentang pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU).

Sikap berbeda diambil Konfederasi Serikat Pekerja (KSP), yang mengajak anggotanya untuk tetap bekerja meski tidak setuju dengan pengesahan tersebut. Kelompok ini memilih mengajukan gugatan Judicial Review melalui Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai bentuk penolakan.

Sekretaris Jenderal KSP BUMN Achmad Yunus mengatakan, pihaknya tetap memprotes UU Cipta Kerja lantaran aturan baru ini bakal lebih menguatkan perusahaan dan justru melemahkan pekerja.

"Intinya, kami sependapat dengan organisasi yang lain bahwa disahkannya RUU ini menjadi UU mengkonfirmasi bahwa demokrasi kita dibangun dari, untuk dan oleh kapitalisme," ujar Yunus kepada Liputan6.com, Selasa (6/10/2020).

Namun, ia menambahkan, para pekerja yang mencari nafkah di perusahaan pelat merah berdedikasi untuk tetap bekerja lantaran masyarakat Indonesia masih membutuhkan kehadiran BUMN di tengah krisis pandemi saat ini.

"Saat ini kita harus mengawal dan memastikan BUMN kita betul-betul menjadi buffer perekonomian di tengah ancaman resesi, jadi tetap harus bekerja," tegasnya.

Yunus menyatakan KSP BUMN bakal terus mengawal UU Cipta Kerja. Sebab, pihaknya tidak ingin perusahaan pelat merah secara korporasi turut dirugikan oleh aturan baru ini.

"Terus terang kami belum membaca ribuan pasalnya karena belum sapat diakses UU yang sudah disahkan seperti apa. Apa benar UU ini justru berpihak pada swasta dan bagaimana dengan BUMN kita?" cibirnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Menaker Sebut RUU Cipta Kerja Sudah Libatkan Buruh dan Pengusaha

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (8/7/2020). Rapat tersebut membahas mengenai perlindungan Pemerintah terhadap ketahanan struktur ketenagakerjaan saat Pandemi Covid-19. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, menegaskan pembahasan RUU Cipta Kerja telah dijalankan secara Tripartit dan sesuai dengan kesepakatan antar pihak yang terkait.

“Rumusan klaster ketenagakerjaan yang ada dalam RUU Cipta Kerja saat ini merupakan intisari dari hasil kajian pakar/ahli, focus group discussion (FGD), Rembug Tripartit (pemerintah, pekerja/buruh dan pengusaha) yang sejak lama dilakukan atas beberapa materi ketenagakerjaan yang krusial,” kata Ida dalam keterangannya, di Jakarta, Selasa (6/10/2020).

Menurutnya Pemerintah menegaskan bahwa proses penyusunan RUU Cipta Kerja sejatinya telah melibatkan partisipasi publik, baik unsur pekerja/buruh yang diwakili serikat pekerja/serikat buruh, pengusaha, kementerian/lembaga, praktisi dan akademisi dari perguruan tinggi serta lembaga lainnya, seperti International Labour Organization (ILO).

Bahkan pada saat RUU Cipta Kerja telah masuk dalam tahap pembahasan di DPR. Sesuai arahan presiden pada tanggal 24 April 2020, Pemerintah melakukan kembali pendalaman rumusan klaster ketenagakerjaan yang melibatkan pengusaha (APINDO) dengan perwakilan Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

“Dalam pertemuan tersebut, pemerintah banyak menerima masukan dari serikat pekerja/serikat buruh. Dengan proses yang telah dijalankan ini, pemerintah telah dengan seksama menyerap berbagai aspirasi, khususnya dari unsur pekerja/buruh,” ujarnya.

Kendati begitu, Pemerintah menyadari dalam proses penyusunan RUU Cipta Kerja, terdapat perbedaan pandangan pro-kontra. Perbedaan pandangan ini tentu saja merupakan hal yang wajar dalam dinamika sosial dan demokrasi.

Namun demikian, pada akhirnya Pemerintah harus memutuskan dan menyiapkan draf yang akan dibahas bersama DPR. Disisi lain, proses pembahasan RUU Cipta Kerja antara Pemerintah dan DPR berjalan secara transparan.

Kata Ida, ini untuk pertama kalinya pembahasan suatu RUU dilakukan secara terbuka dan disiarkan melalui kanal-kanal media sosial yang tersedia. Hal ini dimaksudkan agar publik dapat mengawal proses pembahasan RUU Cipta Kerja secara seksama.

“Kita telah menyaksikan bahwa proses pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR berjalan dinamis, demokratis dan konstruktif. Pemerintah menerima banyak masukan dari Panja DPR sehingga menghasilkan perubahan rumusan ketentuan dalam klaster ketenagakerjaan,” pungkasnya.


Bukan Tarik Investasi, Omnibus Law UU Cipta Kerja Justru Buka Peluang Eksploitasi

Massa yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR) membawa poster saat berunjuk rasa di Jalan Gerbang Pemuda, Senayan, Jakarta, Jumat (14/8/2020). Dalam aksinya mereka menolak rencana pengesahan RUU Cipta Kerja atau omnibus law. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang-Undang pada Senin kemarin. Omnibus Law UU Cipta Kerja ini dimaksudkan untuk menopang ekonomi Indonesia melalui investasi.

Namun, Sejumlah ekonom justru mengatakan sebaliknya. Alih-alih menjadi ladang investasi untuk menimba untung sebesar-besarnya, Executive Director at Indonesia Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita menilai Indonesia hanya akan menjadi sasaran eksploitasi bagi negara besar.

“Bagi China, melalui UU ini Indonesia akan dengan mudah menjadi lahan eksploitasi segala jenis sumber daya alam yang akan menopang semakin meraknya industrialisasi di China. Mulai dari batu bara, bijih besi, sampai Nikel. Jadi investor yang akan datang dari China, akan sangat terkait dengan kepentingan untuk menjaga kedigdayaan China dalam supply chain dunia, bukan untuk membuat Indonesia menerima manfaat sebesar-besarnya,” kata dia kepada Liputan6.com, Selasa (6/10/2020).

Hal ini, lanjut Ronny, diperparah dengan kondisi politik Indonesia yang menurutnya tidak jelas. Sementara investor dari negara besar lainnya seperti AS, sangat sensitif terhadap isu politik dan geopolitik negara di mana mereka akan berinvestasi.

“Nah, terkait posisi Indonesia yang kurang jelas dalam konstelasi perang dagang, baik soal Huawei, Tiktok, dan Wechat, soal Uighur, soal Hong Kong, soal Taiwan, soal Laut China Selatan, dan lainya. Maka sudah bisa diperkirakan bahwa Indonesia belum akan menjadi prioritas dalam perpindahan investasi Amerika dari China,” kata dia.

Dalam kesempatan yang berbeda, Ekonom Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara mengutarakan hal serupa. Ia menilai, Omnibus Law UU Cipta Kerja ini tidak lantas membuat tren investasi meningkat secara signifikan. Terlebih saat ini Indonesia berada dalam ambang resesi. Dimana situasi ekonomi mengalami ketidakpastian, baik dari dalam maupun luar negeri.

Juga pencabutan sejumlah hak pekerja dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja ini, dapat mempengaruhi persepsi investor khususnya dari negara maju, terhadap Indonesia. Sebab, di negara maju sangat menjujung tinggi hak pekerja.

“Bahkan dengan dicabutnya hak hak pekerja dalam omnibus law, tidak menutup kemungkinan persepsi investor khususnya negara maju jadi negatif terhadap indonesia. Investor di negara maju sangat menjunjung fair labour practice dan decent work dimana hak hak buruh sangat dihargai bukan sebaliknya menurunkan hak buruh berarti bertentangan dengan prinsip negara maju,” jelas Bhima.  

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya