Desak Cabut UU Cipta Kerja, Buruh Jatim Bawa Tujuh Poin Tuntutan

Juru Bicara KSPI Jatim, Nurudin Hidayat mengatakan, agenda aksi menolak UU Cipta Kerja dimulai 6 Oktober 2020 di berbagai daerah di Jawa Timur (Jatim).

oleh Dian Kurniawan diperbarui 06 Okt 2020, 15:39 WIB
Ratusan elemen buruh dari berbagai organisasi melakukan aksi demo menolak UU Cipta Kerja, Selasa (6/10/2020). (Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Liputan6.com, Surabaya - Ratusan elemen buruh dari berbagai organisasi seperti Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Surabaya, mendesak pemerintah dan DPR mencabut Undang-Undang (UU) Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).

Selain berorasi dari atas mobil komando dan membagikan selebaran terkait pernyataan sikap penolakan terhadap UU Cipta Kerja, para buruh juga membawa tujuh poin tuntutan. 

"Ayo kita bersama-sama memperjuangkan nasib kita ke depan. Tanggal 8 besok harus lebih banyak perwakilannya," ujar salah seorang koordinator dari mobil komando di depan kantor DPRD Jatim, Selasa (6/10/2020). 

Sementara itu, Juru Bicara KSPI Jatim, Nurudin Hidayat mengatakan, agenda aksi menolak UU Cipta Kerja dimulai 6 Oktober 2020 di berbagai daerah di Jawa Timur (Jatim).

"Sesuai kesepakatan serikat buruh, aksi hari ini dipusatkan di daerah masing-masing kabupaten maupun kota. Mulai dari kawasan industri untuk mensosialisasikan bahwa tanggal 8 kita mogok massal mendesak pemerintah dan DPR mencabut UU Cipta Kerja," ujar Nurudin. 

Nurudin berharap, aksi pada 8 Oktober 2020 bisa diikuti seluruh elemen buruh di Jatim. Selain itu, pihaknya juga terus konsolidasi dengan elemen lain termasuk elemen mahasiswa. "Kami memperluas konsolidasi bersama elemen rakyat lainnya. Karena Omnibuslaw ini menyengsarakan seluruh lapisan rakyat," ujar dia. 

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini


Tuntutan Buruh

Ratusan elemen buruh dari berbagai organisasi melakukan aksi demo menolak UU Cipta Kerja, Selasa (6/10/2020). (Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Berikut ini tujuh poin tuntutan buruh pada UU Cipta Kerja:

1. UMK Dibuat Bersyarat

Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dibuat bersyarat memerhatikan laju inflasi atau pertumbuhan ekonomi dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) dihapus dalam RUU Cipta Kerja.

2. Pesangon Dikurangi Menjadi 25 Kali Upah

Buruh menolak pengurangan nilai pesangon dari 32 kali upah menjadi 25 kali upah yang mana 19 bulan dibayar pengusaha dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan. Kita patut mempertanyakan dari mana BPJS mendapat sumber dana untuk membayar pesangon?, kemungkinan dana tersebut akan dipotongkan dari upah kita setiap bulannya untuk iuran pesangon.

3. Kontrak Kerja Seumur Hidup

Jika kontrak kerja (PKWT) dilakukan tanpa ada batasan waktu dan jenis pekerjaan yang boleh dikontrak, maka dapat dipastikan pekerja/buruh yang bekerja puluhan tahun lamanya jika terPHK tidak akan mendapatkan pesangon.

4. Baru Dapat Kompensasi Jika Minimal Bekerja Selama 1 Tahun

Dalam RUU Cipta Kerja disebutkan, buruh kontrak yang mendapat kompensasi adalah yang memiliki masa kerja minimal 1 tahun. Pertanyaannya, bagaiamana kalau pengusaha hanya mengontrak buruh di bawah satu tahun?, semisal 6 bulan sekali atau 3 bulan sekali kontrak kerjanya. Berarti buruh kontrak tidak akan mendapatkan konpensasi.

5. Outsourcing Seumur Hidup dan Tanpa Batasan

Dalam peraturan sebelumnya (UU No. 13/2003) penggunaan tenaga kerja outsourcing hanya dibatasi untuk jenis-jenis pekerjaan yang bersifat penunjang saja. Namun, dalam RUU Cipta Kerja ini batasan-batasan tersebut dihilangkan, sehingga semua jenis pekerjaan dapat dialihkan kepada pihak ketiga. Tentu hal tersebut tidak memberikan kepastian jenjang karir dalam perusahaan.

6. Waktu Kerja yang Eksploitatif

Waktu kerja dalam RUU Cipta Kerja diatur lebih fleksibel untuk pekerjaan paruh waktu menjadi paling lama 8 jam per hari atau 40 jam per minggu. Sedangkan untuk pekerjaan khusus seperti di sektor migas, pertambangan, perkebunan, pertanian dan perikanan dapat melebihi 8 jam per hari.

7. Tidak Ada Hak Cuti

Cuti haid dan melahirkan bagi pekerja perempuan hilang, karena hak upahnya atas cuti tersebut hilang. Cuti panjang dan hak cuti panjang juga hilang. 


DPR Tetapkan RUU Cipta Kerja Jadi Undang-Undang

Fraksi Partai Demokrat Marwan C.A memberikan pendapat akhir partainya kepada Ketua DPR Puan Maharani disaksikan Wakil Pimpinan DPR Azis Syamsuddin, Sufmi Dasco Ahmad, dan Rachmad Gobel saat Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta (5/10/2020). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU). Kesepakatan tersebut dicapai dalam sidang pripurna pembicaraan tingkat II atas pengambilan keputusan terhadap RUU tentang Cipta Kerja.

Wakil Ketua DPR, Aziz Syamsuddin mengatakan, dari sembilan fraksi, enam diantaranya menerima RUU Cipta Kerja untuk disahkan menjadi UU. Kemudian 1 fraksi menerima dengan catatan, dan dua diantarang menolak.

"Mengacu pada pasal 164 maka pimpinan dapat mengambil pandangan fraksi. Sepakat? Tok!," kata dia dalam sidang rapat paripurna di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin, 5 Oktober 2020.

Mewakili pemerintah, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menyambut baik dan mengucapkan terima kasih, apresiasi dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada ketua dan wakil ketua panitia kerja RUU Cipta Kerja, badan legislatif, legislasi DPR, yang telah melakukan proses pembahasan dengan berbagai pandangan masukan dan saran yang konstruktif.

"Alhamdulillah sore ini undang undang tersebut diketok oleh DPR," kata dia.

Sebelumnya, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, rapat kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan pemerintah telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja untuk disetujui menjadi Undang-Undang (UU) dalam Rapat Paripurna.

"RUU Cipta Kerja disetujui untuk pengambilan keputusan di tingkat selanjutnya," kata Supratman saat memimpin rapat kerja pengambilan keputusan tingkat I dengan pemerintah di Jakarta,

Dalam rapat tersebut sebanyak tujuh fraksi melalui pandangan fraksi mini fraksi telah menyetujui yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional dan Partai Persatuan Pembangunan.

Sedangkan, dua fraksi menyatakan menolak RUU Cipta Kerja ini yaitu Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat. "Tujuh fraksi menerima dan dua menolak, tapi pintu komunikasi tetap dibuka, hingga menjelang Rapat Paripurna," kata Supratman.

 


Menaker Sebut RUU Cipta Kerja Sudah Libatkan Buruh dan Pengusaha

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (8/7/2020). Rapat tersebut membahas mengenai perlindungan Pemerintah terhadap ketahanan struktur ketenagakerjaan saat Pandemi Covid-19. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, menegaskan pembahasan RUU Cipta Kerja telah dijalankan secara Tripartit dan sesuai dengan kesepakatan antar pihak yang terkait.

“Rumusan klaster ketenagakerjaan yang ada dalam RUU Cipta Kerja saat ini merupakan intisari dari hasil kajian pakar/ahli, focus group discussion (FGD), Rembug Tripartit (pemerintah, pekerja/buruh dan pengusaha) yang sejak lama dilakukan atas beberapa materi ketenagakerjaan yang krusial,” kata Ida dalam keterangannya, di Jakarta, Selasa, 6 Oktober 2020.

Dia menuturkan, Pemerintah menegaskan bahwa proses penyusunan RUU Cipta Kerja sejatinya telah melibatkan partisipasi publik, baik unsur pekerja/buruh yang diwakili serikat pekerja/serikat buruh, pengusaha, kementerian/lembaga, praktisi dan akademisi dari perguruan tinggi serta lembaga lainnya, seperti International Labour Organization (ILO).

Bahkan pada saat RUU Cipta Kerja telah masuk dalam tahap pembahasan di DPR. Sesuai arahan presiden pada tanggal 24 April 2020, Pemerintah melakukan kembali pendalaman rumusan klaster ketenagakerjaan yang melibatkan pengusaha (APINDO) dengan perwakilan Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

“Dalam pertemuan tersebut, pemerintah banyak menerima masukan dari serikat pekerja/serikat buruh. Dengan proses yang telah dijalankan ini, pemerintah telah dengan seksama menyerap berbagai aspirasi, khususnya dari unsur pekerja/buruh,” ujarnya.

Kendati begitu, Pemerintah menyadari dalam proses penyusunan RUU Cipta Kerja, terdapat perbedaan pandangan pro-kontra. Perbedaan pandangan ini tentu saja merupakan hal yang wajar dalam dinamika sosial dan demokrasi.

Namun demikian, pada akhirnya Pemerintah harus memutuskan dan menyiapkan draf yang akan dibahas bersama DPR. Disisi lain, proses pembahasan RUU Cipta Kerja antara Pemerintah dan DPR berjalan secara transparan.

Kata Ida, ini untuk pertama kalinya pembahasan suatu RUU dilakukan secara terbuka dan disiarkan melalui kanal-kanal media sosial yang tersedia. Hal ini dimaksudkan agar publik dapat mengawal proses pembahasan RUU Cipta Kerja secara seksama.

“Kita telah menyaksikan bahwa proses pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR berjalan dinamis, demokratis dan konstruktif. Pemerintah menerima banyak masukan dari Panja DPR sehingga menghasilkan perubahan rumusan ketentuan dalam klaster ketenagakerjaan,” pungkasnya.

    

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya