HEADLINE: Omnibus Law UU Cipta Kerja Disahkan, Antara Tarik Investasi dan Nasib Pekerja

Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja akhirnya disahkan menjadi UU dalam Sidang Paripurna DPR, Senin 5 Oktober 2020.

oleh Devira PrastiwiMaulandy Rizki Bayu KencanaTira SantiaPipit Ika Ramadhani diperbarui 07 Okt 2020, 14:17 WIB
Sejumlah menteri kabinet Indonesia Maju foto bersama Pimpinan DPR usai pengesahan UU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta (5/10/2020). Rapat tersebut membahas berbagai agenda, salah satunya mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Jalan panjang Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja berakhir dengan ketuk palu tanda disahkannya RUU tersebut, dalam Sidang Paripurna DPR yang digelar Senin, 5 Oktober 2020. 

Dalam pengesahan di Sidang Paripurna, Wakil Ketua DPR, Aziz Syamsuddin mengatakan, dari 9 fraksi, 6 di antaranya menerima RUU Cipta Kerja untuk disahkan menjadi UU. Kemudian 1 fraksi menerima dengan catatan, dan 2 di antaranya menolak.

"Mengacu pada pasal 164 maka pimpinan dapat mengambil pandangan fraksi. Sepakat? Tok!," kata dia dalam sidang rapat paripurna di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (5/10/2020).

Sebenarnya, Sidang Paripurna RUU Cipta Kerja baru akan digelar pada 8 Oktober mendatang. Namun dimajukan lantaran banyak kasus Covid-19 di DPR.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, dalam sidang paripurna, menyambut baik dan mengucapkan terima kasih, apresiasi dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada ketua dan wakil ketua panitia kerja RUU Cipta Kerja, badan legislatif, legislasi DPR, yang telah melakukan proses pembahasan dengan berbagai pandangan masukan dan saran yang konstruktif.

Dia pun ikut menyampaikan pandangan pemerintah terhadap RUU Cipta Kerja. Dikatakan, RUU Cipta Kerja harus dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. "Terutama untuk masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah," ungkap Airlangga.

Berbagai manfaat tersebut tertuang dalam 15 Bab dan 186 Pasal dalam RUU Cipta Kerja. Beberapa di antaranya adalah dukungan kepada UMKM, koperasi, sertifikasi halal, perkebunan di kawasan hutan dan lainnya.

Di samping itu, lewat RUU Cipta kerja dilakukan peningkatan perlindungan kepada pekerja. Seperti tentang BPJS Ketenagakerjaan. Kemudian soal jam kerja.

"Kini pengaturan jam kerja disesuaikan dengan sistem kerja Industri 4.0 dan ekonomi digital. Bahkan RUU Cipta Kerja tidak menghilangkan hak cuti haid, cuti hamil yang telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan," jelas Airlangga.

Sedangkan para pelaku usaha akan mendapat manfaat seperti kemudahan dan kepastian dalam mendapatkan perizinan berusaha, dengan penerapan perizinan berbasis risiko dan penerapan standar.

"Adanya ruang kegiatan usaha yang lebih luas, untuk dapat dimasuki investasi dengan mengacu kepada bidang usaha yang diprioritaskan Pemerintah," ucap Airlangga.

Proses Tak Mulus

Proses pengesahan RUU Cipta Kerja di Sidang Paripurna sejatinya tak sepenuhnya berjalan mulus. Di tengah pembahasan pengambilan keputusan, fraksi Partai Demokrat memutuskan walk out dari Rapat Paripurna setelah beradu argumen dengan Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin.

"Kami Fraksi Partai Demokrat menyatakan walk out dan tidak bertanggung jawab," kata anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman.

Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengungkapkan alasan Fraksi Partai Demokrat (FPD) memutuskan menolak pengesahan RUU Cipta Kerja. 

"Kami sampaikan lagi dalam pendapat fraksi Sidang Paripurna DPR RI. Sebagai penegasan atas penolakan kami tersebut, Fraksi Partai Demokrat walk out dari Sidang Paripurna DPR RI Senin (5/10) sore ini," ujar AHY dalam keterangannya.

Penolakan sebenarnya sudah terlihat saat rapat kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan pemerintah  yang menyepakati RUU Cipta Kerja untuk disetujui menjadi UU.

Dalam rapat, hanya 7 fraksi melalui pandangan fraksi mini fraksi telah menyetujui. Ketujuhnya, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional dan Partai Persatuan Pembangunan.

Sedangkan, dua fraksi menyatakan menolak RUU Cipta Kerja ini yaitu Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat. "7 fraksi menerima dan dua menolak, tapi pintu komunikasi tetap dibuka, hingga menjelang Rapat Paripurna," kata Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas.

 

Infografis Pasal-Pasal Fokus UU Cipta Kerja. (Liputan6.com/Abdillah)

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Buruh Kecewa

Massa dari berbagai serikat buruh menggelar aksi menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja di kawasan JIEP, Jakarta, Selasa (6/10/2020). Ratusan buruh berpawai sambil berorasi mengajak pekerja turun ke jalan menolak UU Omnibus Lawa Cipta Kerja yang dinilai merugikan buruh. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Pengesahan RUU Cipta Kerja ini pun langsung menjadi perbincangan hangat dan menuai beragam respons. Khususnya dari serikat pekerja dan buruh yang memang sejak lama terang-terangan menolak keberadaan RUU ini.

Wakil Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Jumisih, mengutarakan kekecewaan terhadap DPR yang telah mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.

Pengesahan tersebut, dianggap terlalu cepat dan sangat merugikan buruh di tengah kondisi terjadi sekarang ini. "Pasti kami sangat kecewa sekali, kita marah, ingin nangis, ini kekecewaan yang luar biasa buat buruh dan pekerja yang masih bekerja di pabrik," kata dia saat dihubungi, Senin (5/10/2020).

Dia menuturkan, dengan disahkannya UU Cipta Kerja semakin menunjukan keyakinan bahwa sebetulnya pemerintah dan DPR tidak berpihak kepada rakyat. Keduanya, justru berpihak kepada pihak-pihak tertentu seperti korporasi dan pemilik modal.

"Mereka yang punya uang punya kuasa, jadi sebagai negara yang punya cita-cita tetapi secara hukum tidak mendapatkan itu dengan diberlakukannya Omnibus Law," kata dia.

Menurutnya, sikap DPR hari ini betul-betul tidak mendengarkan aspirasi dari rakyat yang setiap menit melakukan upaya untuk menggunakan ruang demokrasi untuk menyampaikan aspirasi. 

Dalam pandangannya, kehadiran UU Cipta Kerja akan sangat mengerikan. Sebab UU ini akan memberikan ruang yang sangat panjang untuk mengeksploitasi rakyat dan alam.

Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban mengatakan, sampai sejauh ini pihak bersikukuh agar RUU Cipta Kerja tetap mengakomodir dan berpihak kepada buruh atau pekerja. Terutama soal upah yang disebut masih belum jelas.

"Kalau upah dibayar per jam, otomatis upah minimum akan hilang. Terutama kalau upah sektoral dihilangkan, apakah upah buruh yang di pertambangan akan sama dengan upah buruh di manufaktur?," kata Elly dihubungi Liputan6.com.

Dia melanjutkan, kekhawatiran para serikat pekerja cukup beralasan. Apalagi soal hak-hak pekerja yang selama ini diperoleh. Mulai dari pesangon sampai terbukanya pintu Tenaga Kerja Asing (TKA).

"Memang kita melihat banyak sekali yang hilang yang telah didapatkan buruh sebelumnya, tetapi kita akan melihat apa yang akan diputuskan. Kami menyoroti tentang upah sektoral yang dihapus, nilai pesangon yang dikurangi, kontrak yang sangat panjang, outsourcing yang diperluas, PHK serta TKA," terang dia.

Saat ini pihaknya terus memantau sambil melihat kenyataan di lapangan. Yang jelas, Elly mengaku tidak akan segan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi jika dalam kenyataannya RUU tersebut justru merugikan pihak buruh.

Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja (KSP) BUMN Achmad Yunus menilai, ada beberapa pasal di RUU Cipta Kerja yang bakal memberatkan para buruh dan pekerja.

Ketidakjelasan ini semakin menguat lantaran kelompok serikat pekerja yang dibawahinya saat ini belum mendapatkan lampiran sah aturan baru tersebut.

"Kluster ketenagakerjaan memberikan ketidakpastian hukum, banyak catatan dan saya tidak hapal betul pasal-pasalnya, karena sedang tidak pegang dokumennya," ujar Yunus .

Secara garis besar, KSP BUMN disebutnya sepakat dengan kelompok buruh/pekerja lainnya, bahwa UU Cipta Kerja bakal melemahkan posisi tenaga kerja, dan justru memperkuat perusahaan pemberi kerja. Terkait penolakan ini, buruh berencana menggelar aksi penolakan UU Cipta Kerja.

 


Dipastikan Untungkan Pekerja

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan pandangan akhir pemerintah mengenai RUU Cipta Kerja saat Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta (5/10/2020). Rapat membahas berbagai agenda, salah satunya mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU. (Liputan6.com/JohanTallo)

Meski muncul kekhawatiran dari kelompok buruh terkait hak-haknya yang dinilai terancam dengan kehadiran UU Cipta Kerja ini, pemerintah memastikan UU tersebut tidak akan membuat pekerja, termasuk buruh merugi.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, UU Cipta Kerja justru membuat para tenaga kerja akan banyak terbantu.

Dalam undang-undang ini, salah satunya sudah diatur tentang bonus yang akan diterima para buruh. Bahkan telah diatur pula jam lembur para buruh.

"Dalam UU tersebut sudah diatur bonus yang diterima buruh berbasis kinerja. Jumlah maksimal jam lembur juga ditambah dari tiga jam menjadi empat jam per hari. Ini tentunya menjadikan buruh lebih produktif," ujar Airlangga di Gedung DPR RI, Senin, 5 Oktober 2020.

Dalam RUU Cipta Kerja juga menyebutkan, pemerintah akan membantu para karyawan yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan memberikan berbagai pelatihan kerja.

Selain itu, jika belum mendapatkan pekerjaan, maka pemerintah akan memberikan bantuan berupa uang tunai, yang akan dibayarkan selama 6 bulan oleh BPJS Ketenagakerjaan.

"Melalui UU Cipta Kerja, pemerintah hadir untuk membantu para karyawan yang di-PHK. Kalau belum dapat kerja, mereka akan dapat bantuan berupa gaji dari BPJS Ketenagakerjaan, formatnya adalah asuransi," papar Airlangga.

Menurut dia, selama ini, belum pernah ada jaminan terhadap tenaga kerja yang terkena PHK. Sehingga, masyarakat perlu menerima tujuan baik pemerintah melalui UU Cipta Kerja.

"Ini yang belum pernah terjadi. Sebelumnya hanya ada jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan hari tua. Siapa yang menjamin apabila terjadi PHK?," tegas Airlangga.

Dia ikut memastikan cuti hamil dan cuti haid di RUU Cipta Kerja tidak dihapus. Pekerja wanita tetap bisa memanfaatkan cuti tersebut di waktu yang dibutuhkan. Cuti tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.

"Jadi (UU) Cipta Kerja tidak menghapus cuti haid dan cuti hamil yang sudah diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan," kata Airlangga.

Selain itu, salah satu cara menyediakan lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya adalah dengan menarik investasi baik dalam maupun luar negeri. Namun permasalahan yang seringkali ditemui adalah masih banyak aturan yang tumpang tindih dan mempersulit.

"Namun tantangan terbesar adalah bagaimana kita mampu menyediakan lapangan kerja dengan banyaknya aturan atau hiper-regulasi kita memerlukan penyederhanaan sinkronisasi," ucap dia.

Atas dasar itu, kehadiran UU ini dianggap bisa menjadi solusi. Karena dengan adanya UU ini bisa menghapus dan menyederhanakan UU yang mempersulit investasi.

"Untuk itulah diperlukan UU Cipta Kerja yang mengubah atau merevisi beberapa UU yang menghambat pencapaian tujuan dan penciptaan lapangan kerja. UU tersebut sekaligus sebagai instrumen dan penyederhanaan serta peningkatan efektivitas birokrasi," jelas Airlangga.

Soal pesangon, Eksekutif I Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) Raden Pardede menyatakan, rencana pemotongan pesangon dalam RUU sapu jagat itu justru menjadi jalan tengah antara kepentingan pengusaha dan pekerja atau buruh. Mengingat nilai pesangon bagi pekerja di Indonesia termasuk tinggi di dunia.

"Pemotongan pesangon dari 32 kali mungkin menjadi 25 kali, apa itu seperti menjadi kerugian buat pekerja? mungkin iya. Tapi, kita termasuk paling tinggi dalam pesangon dibandingkan negara lain. Oleh karena itu, kita cari jalan tengah untuk meringankan beban pengusaha," jelas dia.

Pardede menilai keputusan memangkas pemberian pesangon menjadi 25 kali juga dinilai masih menguntungkan bagi buruh.

Sementara itu, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menegaskan pembahasan RUU Cipta Kerja telah dijalankan secara Tripartit dan sesuai dengan kesepakatan antar pihak yang terkait.

"Rumusan klaster ketenagakerjaan yang ada dalam RUU Cipta Kerja saat ini merupakan intisari dari hasil kajian pakar/ahli, focus group discussion (FGD), Rembug Tripartit (pemerintah, pekerja/buruh dan pengusaha) yang sejak lama dilakukan atas beberapa materi ketenagakerjaan yang krusial," kata Ida, Selasa (6/10/2020).

Menurutnya Pemerintah menegaskan bahwa proses penyusunan RUU Cipta Kerja sejatinya telah melibatkan partisipasi publik, baik unsur pekerja/buruh yang diwakili serikat pekerja/serikat buruh, pengusaha, kementerian/lembaga, praktisi dan akademisi dari perguruan tinggi serta lembaga lainnya, seperti International Labour Organization (ILO).

Bahkan pada saat RUU Cipta Kerja telah masuk dalam tahap pembahasan di DPR. Sesuai arahan presiden pada 24 April 2020, Pemerintah melakukan kembali pendalaman rumusan klaster ketenagakerjaan yang melibatkan pengusaha (APINDO) dengan perwakilan Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

"Dalam pertemuan tersebut, pemerintah banyak menerima masukan dari serikat pekerja/serikat buruh. Dengan proses yang telah dijalankan ini, pemerintah telah dengan seksama menyerap berbagai aspirasi, khususnya dari unsur pekerja/buruh," ujarnya.

Kendati begitu, Pemerintah menyadari dalam proses penyusunan RUU Cipta Kerja, terdapat perbedaan pandangan pro-kontra. Perbedaan pandangan ini tentu saja merupakan hal yang wajar dalam dinamika sosial dan demokrasi. 


Disambut Baik Dunia Usaha

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Industri (Kadin) DKI Jakarta, Sarman Simanjorang. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Pengesahan UU Cipta Kerja menuai sambutan baik dari kalangan dunia usaha. Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) Provinsi DKI Jakarta Sarman Simanjorang mengatakan disahkannya UU Cipta Kerja Indonesia memiliki harapan besar akan masa depan ekonomi pasca pandemi Covid-19 ini.

"Target pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan pemerintah di kisaran 5,7 – 6 persen dan penciptaan lapangan kerja sebanyak 2,7 - 3 juta per tahun diharapkan dapat tercapai. Mengingat angka pengangguran kita yang semakin bertambah akibat dampak pandemi Covid-19," kata Sarman kepada Liputan6.com, Selasa (6/10/2020).

Lantaran saat ini jumlah pengangguran mencapai 7,05 juta, ditambah dengan angkatan kerja baru sekitar 2,5 juta per tahun. "belum termasuk yang terkena PHK sebanyak 3 juta dan ratusan ribu yang dirumahkan, ini menjadi tantangan yang harus diatasi dengan Undang Undang Cipta Kerja ini," kata Sarman.

Ia meyakini dengan sinergitas dan saling mendukung antara pemerintah, dunia usaha serta Serikat Pekerja/Buruh akan dapat diselesaikan secara bertahap.

Termasuk bagaimana meningkatkan SDM tenaga kerja Indonesia agar memiliki kompetensi, skill dan keahlian, yang mumpuni sejalan dengan perkembangan teknologi yang ada sehingga lebih kompetitif dan berdaya saing.

"Sehingga ke depan isu upah tidak lagi menjadi polemik, karena jika kita memiliki tenaga kerja yang berkualitas tentu upahnya sudah memiliki standar kesejahteraan yang mumpuni," ujarnya.

Maka efektivitas Undang-Undang ini dapat segera diterapkan di lapangan maka Pemerintah agar segera menyusun aturan turunannya seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri (Permen) dan aturan pendukung lainnya.

"Kami juga berharap agar Pemerintah segera melakukan sosialisasi UU Cipta Kerja ke berbagai pemangku kepentingan agar semua jelas dan pasti. Karena banyak beredar di medsos draf UU tersebut yang seolah-olah terkesan lebih berpihak kepada pengusaha, padahal Undang Undang ini untuk kepentingan bersama," ujarnya.

Dia menegaskan, RUU Cipta kerja disahkan, bertujuan untuk masa depan pekerja/buruh bagaimana agar memiliki kesejahteraan yang lebih baik melalui peningkatan produktivitas dan kompetensi.   

Senada, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta Diana Dewi mengatakan disahkannya RUU Cipta Kerja memberikan dampak positif bagi perusahaan, yakni bisa mendapatkan investor dan dapat mempekerjakan tenaga profesional dengan lebih mudah.

Meski ini diakui juga menuai respons penolakan dari buruh karena sisi negatif yang ditanggung, seperti tidak memiliki jaminan jika kehilangan pekerjaan. Terlepas dari hal-hal tersebut pihaknya berharap pada tingkat implementasinya nanti, pengusaha wajib menyejahterakan karyawannya.

"Di sisi lain pekerja menganggap dan menilai dapat melemahkan kedudukan buruh di hadapan pengusaha, mulai dari ketentuan pesangon hingga perjanjian kerja yang sangat lentur. Padahal banyak regulasi yang saat implementasi diperlukan kesepakatan antara pemberi kerja dengan pekerja," kata Diana, kepada Liputan6.com, Selasa (6/10/2020).

Dia mengatakan jika praktik penggunaan Omnibus Law telah banyak dilakukan oleh banyak negara dalam mengatasi tumpang tindihnya regulasi, sekaligus juga kemudahan berusaha, terutama yang menggunakan tradisi common law system.

Sedangkan Indonesia mewarisi tradisi civil law system, sehingga pembahasan dan penyusunannya harus dapat melibatkan seluruh komponen. Demikian Pemerintah menyampaikan adanya UU Cipta Kerja akan mendorong reformasi regulasi dan debirokratisasi.

Sehingga pelayanan Pemerintahan akan lebih efisien, mudah, dan pasti, dengan adanya penerapan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) dan penggunaan sistem elektronik akan menarik investor.

 


Dampak bagi Investasi

Ilustrasi Investasi Penanaman Uang atau Modal (iStockphoto)

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan menargetkan pertumbuhan ekonomi pada 2021 sebesar 5 persen pada APBN 2021.

Untuk mencapainya, pemerintah mengaku tengah fokus untuk penanganan pandemi covid-19. Upaya lainnya, yakni reformasi birokrasi. Salah satunya melalui Undang-Undang (UU) yang baru disahkan bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yaitu UU CIpta Kerja.

"Kita menggunakan asumsi pertumbuhan 5 persen itu bukan sesuatu yang Simsalabim ini bukan sesuatu yang mudah ini yang harus kita kejar dengan kerja keras," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Febrio Kacaribu dalam diskusi daring, Selasa (6/10/2020).

Adapun kerja keras yang dimaksud adalah penanganan Covid-19, termasuk penyediaan vaksin. Selanjutnya ada dukungan ekspansi fiskal baik dari sisi demand maupun supply. Di mana pemerintah melanjutkannya hingga 2021 dan memastikan agar pelaksanaannya tepat sasaran.

Dia mengungkapkan kegembiraan karena UU tersebut telah selesai dan disahkan DPR. Harapannya, ini akan segera dapat menarik investor dan menciptakan usaha baru yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.

"Mudah-mudahan setelah ini peraturan PP, PMK, Peraturan Menteri, Perpres itu bisa diselesaikan segera supaya bisa segera dilaksanakan dan menarik banyak usaha yang baru. Sehingga bisa mempekerjakan lebih banyak orang. Sehingga recovery kita dibandingkan 2020 benar-benar bisa mencapai 5 persen tadi itu," jelas dia.

Wakil Ketua KADIN Bidang Perdagangan Benny Soetrisno mengakui jika UU Cipta Kerja diperlukan, salah satunya sebagai pendorong membangkitkan perekonomian Indonesia akibat dampak penyebaran Covid-19. Mengingat, aturan ini akan menarik para investor menanamkan modal di dalam negeri.

"Terobosan Omnibus Law sangat diperlukan sekali, agar Indonesia bisa bersaing dengan negara lain," katanya.

Menurut dia, UU Cipta Kerja bisa menarik para pengusaha dalam maupun luar negeri berinvestasi di Indonesia. Karena, aturan ini memangkas banyak birokrasi yang berkaitan dengan perijinan usaha di Indonesia.

Proses perizinan yang dilakukan oleh para investor ke instansi yang terkait dapat dilakukan lebih mudah. Diprediksi banyak pengusaha dalam maupun luar negeri yang akan menanamkan modal, meskipun masih mewabahnya Covid-19 di berbagai wilayah.

Pengamat Ekonomi memiliki pandangan lain, khususnya soal masuknya investasi ke Indonesia dengan adanya UU Cipta Kerja.

Alih-alih menjadi ladang investasi untuk menimba untung sebesar-besarnya, Executive Director at Indonesia Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita menilai, Indonesia hanya akan menjadi sasaran eksploitasi bagi negara besar.

"Melalui UU ini Indonesia akan dengan mudah menjadi lahan eksploitasi segala jenis sumber daya alam," jelas dia kepada Liputan6.com, Selasa (6/10/2020).

Hal ini, diperparah dengan kondisi politik Indonesia yang menurutnya tidak jelas. Sementara investor dari negara besar lainnya seperti AS, sangat sensitif terhadap isu politik dan geopolitik negara di mana mereka akan berinvestasi.

Ekonom Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara mengutarakan hal serupa. Ia menilai, UU Cipta Kerja tidak lantas membuat tren investasi meningkat secara signifikan.

Terlebih saat ini Indonesia berada dalam ambang resesi. Di mana situasi ekonomi mengalami ketidakpastian, baik dari dalam maupun luar negeri.

Juga pencabutan sejumlah hak pekerja, dapat mempengaruhi persepsi investor khususnya dari negara maju, terhadap Indonesia. Sebab, di negara maju sangat menjunjung tinggi hak pekerja.

"Investor di negara maju sangat menjunjung fair labour practice dan decent work di mana hak-hak buruh sangat dihargai bukan sebaliknya menurunkan hak buruh berarti bertentangan dengan prinsip negara maju," jelas Bhima.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya