Liputan6.com, Jakarta - Sejak munculnya penyebaran virus corona di kluster perkantoran, Sour Sally Group membuat kebijakan baru bagi karyawan yang harus bekerja di kantor. Salah satunya memperbolehkan karyawan bekerja menggunakan kaos dan celana pendek agar tetap nyaman saat bekerja.
"Sejak ada kabar virus corona bisa menular lewat airborne, jendela kantor di bukan, karyawan boleh pakai kaos dan celana pendek atau berpakaian lebih santai," kata Pendiri dan CEO Sour Sally Group, Donny Pramono di Jakarta, Selasa (6/10).
Advertisement
Donny mempersilakan karyawan mengenakan kaos lantaran jendela kantor harus dibuka agar terjadi sirkulasi udara. Sebab dia ingin para pegawainya tetap fokus bekerja meski menghilangkan suasana formal di kantor.
Meski begitu, pihaknya tetap mempekerjakan sebagian karyawannya bekerja dari rumah. Mereka yang berkantor hanya pegawai di bidang tertentu saja. Sementara itu, berbagai rapat dan pertemuan tetap dilakukan secara virtual lewat video konferensi.
"Karyawan masuk kantor yang perlu saja seperti operasional buat outlet. Sebisa mungkin pakai digital online," kata dia.
Pun dengan training karyawan baru tetap dilakukan secara virtual. Sementara itu untuk tim pengawasan outlet, dia mengandalkan aplikasi. Sehingga semua outlet bisa diawasi secara langsung meski dari jarak jauh.
Pengusaha kuliner ini menambahkan melakukan rapid tes bagi 60 karyawannya seminggu sekali. Sejauh ini pun hanya ada satu karyawan yang hasil tesnya reaktif. Diduga dia terpapar saat menumpang transportasi umum lantaran tidak memiliki kendaraan pribadi saat beraktivitas.
"Satu yang reaktif kita langsung karantina mandiri dan kita beri dukungan yang lain. Satu orang ini memang memakai kendaraan umum. Tetapi karyawan di outlet enggak ada yang positif (Covid-19)," kata dia mengakhiri.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Wowteg, Konsep Warteg Masa Kini ala Pendiri Sour Sally
Warteg, bisnis rumah makan yang merakyat kini mulai dirambah Sour Sally Group. Bukan sekadar warung makan yang menjajakan beragam pilihan lauk dan sayur, kualitas warteg pun ditingkatkan agar citranya lebih baik.
Founder dan CEO Sour Sally Group Donny Pramono Ie menamai bisnis barunya dengan Wowteg. Dengan misi merevolusi industri warteg yang ada saat ini, pihaknya menonjolkan aspek jaminan kebersihan dengan pilihan makanan lebih beragam dan menyesuaikan dengan tren makanan di pasaran sebagai konsep utama.
Menurut Donny, bisnis warteg terbukti bukan hanya tren semata. Pertama kali muncul sekitar 1960-an, warteg terus bertahan, bahkan menjelma jjadi budaya bagi mayoritas masyarakat Indonesia. Berdasarkan survei internal, di Jabodetabek saja terdapat lebih dari 35 ribu warteg.
Banyak orang mengandalkan warteg sebagai tempat makan dengan harga terjangkau. Nyaris semua kalangan makan di warteg untuk mengatasi rasa lapar sekaligus menghemat pengeluaran. Maka itu, ia menyebut bisnis tersebut sangat menjanjikan, lantaran market size yang besar dan peluang terbuka lebar.
Namun, berdasarkan survei pada 72 responden, banyak yang belum mau makan di warteg, lantaran aspek kebersihan dan kenyamanan.
"Masalah warteg saat ini biasanya yang dikeluhkan bukan perokok, tapi bau asap rokok tercium. Terus, maaf ya, sering di video yang disebar terlihat tikus atau kecoa. Waktu makan ingin sendiri malah ditemani kucing atau anjing," katanya dalam jumpa pers di area SIAL Interfood, JIExpo, Jakarta, Rabu, 13 November 2019.
Keluhan lainnya adalah soal peralatan yang dicuci kurang higienis. Ada lagi yang mempermasalahkan tempatnya panas dan berdempetan saat makan. Belum lagi saat melayani, tangan pelayan tak menggunakan sarung tangan saat menyendokkan makanan, padahal baru memegang uang hasil pembayaran dari pembeli.
"Jadi, yang belum makan di warteg itu bukan tidak mau, tetapi mereka meragukan kualitas dan kebersihannya," ujar Donny.
Advertisement
Dapur Terpusat
Berdasarkan hasil riset itu pula, ia mengklaim responden tak masalah membayar Rp5 ribu hingga Rp7 ribu lebih mahal dari harga pasaran saat ini asal kualitas makanan dan pelayanan terjamin. Untuk itu, pembenahan dimulai dari dapur tersentralisasi yang tersertifikasi HACCP.
Dapur akan memastikan seluruh bahan baku sesuai standar dan mengolahnya jadi produk dengan kualitas yang sama. Selanjutnya, produk akan didistribusikan ke warteg dalam kemasan kecil pada hari-hari tertentu. Hal itu untuk meminimalisir makanan terbuang percuma karena tidak habis.
"Kalau tidak habis, makanan pasti harus dibuang. Daripada terbuang banyak, kemasannya kecil-kecil, pemilik bisa jadi sampai lima kali (porsi) menghangatkan makanan, tapi tidak apa-apa daripada kebanyakan dibuang," kata Donny.
Berbeda dengan kebanyakan pemilik warteg yang mengolah makanan dan menjajakan di tempat yang sama, nantinya pemilik hanya akan memanaskan dan menyajikan menu sesuai kebutuhan.
"Paling nanti dari mereka akan menggoreng saja, kan tidak mungkin gorengan dimakan dingin. Itu pun ketika dikirimkan sudah berbumbu," ujarnya.
Menurut Donny, dengan dapur yang dibuat terpisah dari tempat penyajian, bisa mengurangi 50 persen masalah kebersihan di warteg. "Jadi, tikus atau kecoa yang ada di dapur kebanyakan datang karena bau dari bahan mentah, seperti ikan, ayam," sambungnya.
Menu yang ditawarkan juga beragam. Ia menyebut terdapat lebih dari 1.000 resep sudah tersedia dan bisa dimasak sesuai kebutuhan. Sebanyak 70 persen akan menghadirkan menu populer warteg, di antaranya orek tempe, telur balado, dan sayur sop.
Sementara, 30 persen sisanya adalah menu kekinian, seperti ayam korea, ayam geprek sambal matah, hingga ayam madu. "Soalnya target market kita adalah kalangan milenial," ujarnya.
Bahkan, kemasan pun dimodifikasi. Meski bentuknya mirip kertas nasi yang biasa dipakai, kualitasnya ditingkatkan agar lebih tahan bocor dan aman saat bersinggungan dengan makan.
Soal harga, satu paket Wowteg berisi satu porsi nasi, satu lauk, dan satu sayur dibanderol Rp20 ribu--Rp30 ribu. "Tapi, ada yang paling murah itu Rp15 ribu," kata Donny.