Liputan6.com, Jakarta Ketua Corps Puteri Muslimin Indonesia (COPMI) Perempuan Tsuraya Zahra menyatakan, buruh migran perempuan banyak dirugikan jika RUU Cipta Kerja disahkan. Hal tersebut terjadi karena buruh perempuan migran jauh dari keluarga, dan disaat itulah peran Negara harusnya menjadi penting bagi buruh perempuan.
"Harusnya Negara mengisi kekosongan peran keluarga untuk menjaga buruh perempuan yang jauh dari keluarganya. Harusnya Negara melindungi buruh pekerja perempuan," ujarnya Selasa (6/10/2020).
Advertisement
Dalam RUU Cipta Kerja, ada dua isu yang terkait dengan buruh perempuan, diantaranya yaitu menyatakan bahwa adanya penghapusan hak cuti dan penghapusan hak upah atas cuti. Selain itu adalah hak untuk cuti selama pekerja perempuan haid. Itu sebabnya para buruh perempuan ramai menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini.
Sebelumnya, dalam Undang-Undang 13 Tahun 2003, hak-hak perempuan disebutkan normatif seperti pekerja perempuan bisa mendapatkan cuti hamil sekitar 1,5 bulan sebelum dan sesudah melahirkan. Akan tetapi dalam Omnibus Law, tidak ada penjelasan terkait cuti hamil pekerja perempuan tersebut.
Sedang Dalam Pasal 18 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa perempuan yang sedang haid hari pertama dan hari kedua tidak diwajibkan bekerja. Dan dalam RUU Cipta Kerja tidak terdapat isu ini.
"Tidak adanya keberpihakan RUU Omnibus Law kepada buruh pekerja perempuan menunjukan bahwa negara semakin tidak perduli dengan pekerja perempuan,” kata Zahra.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Penjelasan Menaker
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, menegaskan pembahasan RUU Cipta Kerja telah dijalankan secara Tripartit dan sesuai dengan kesepakatan antar pihak yang terkait.
“Rumusan klaster ketenagakerjaan yang ada dalam RUU Cipta Kerja saat ini merupakan intisari dari hasil kajian pakar/ahli, focus group discussion (FGD), Rembug Tripartit (pemerintah, pekerja/buruh dan pengusaha) yang sejak lama dilakukan atas beberapa materi ketenagakerjaan yang krusial,” kata Ida dalam keterangannya, di Jakarta, Selasa (6/10/2020).
Menurutnya Pemerintah menegaskan bahwa proses penyusunan RUU Cipta Kerja sejatinya telah melibatkan partisipasi publik, baik unsur pekerja/buruh yang diwakili serikat pekerja/serikat buruh, pengusaha, kementerian/lembaga, praktisi dan akademisi dari perguruan tinggi serta lembaga lainnya, seperti International Labour Organization (ILO).
Bahkan pada saat RUU Cipta Kerja telah masuk dalam tahap pembahasan di DPR. Sesuai arahan presiden pada tanggal 24 April 2020, Pemerintah melakukan kembali pendalaman rumusan klaster ketenagakerjaan yang melibatkan pengusaha (APINDO) dengan perwakilan Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
“Dalam pertemuan tersebut, pemerintah banyak menerima masukan dari serikat pekerja/serikat buruh. Dengan proses yang telah dijalankan ini, pemerintah telah dengan seksama menyerap berbagai aspirasi, khususnya dari unsur pekerja/buruh,” ujarnya.
Advertisement