BMKG Kembali Peringatkan Potensi Curah Hujan Tinggi pada Oktober hingga November

BMKG mencatat historis menunjukkan bahwa La Nina dapat menyebabkan terjadinya peningkatan akumulasi curah hujan bulanan di Indonesia 20% hingga 40% di atas normalnya,

oleh Muhammad Ali diperbarui 08 Okt 2020, 08:28 WIB
Awan mendung menggelayut di langit Jakarta, Kamis (1/2). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi potensi curah hujan dari sedang hingga tinggi akan terjadi hingga 1 minggu ke depan. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati menyampaikan pada awal Oktober 2020, BMKG, NOAA, JMA, dan BoM Australia telah memastikan terjadinya fenomena La Nina pada level moderate seiring dengan dimulainya awal musim hujan pada bulan Oktober - November. Hal ini berpotensi menyebabkan peningkatan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia.

“Dengan adanya fenomena La Nina moderate ini diprediksi akan ada peningkatan curah hujan mulai bulan Oktober sampai November dan akan berdampak di hampir seluruh wilayah Indonesia, kecuali di Sumatera. Oleh karena itu saya mengajak bapak dan ibu semua untuk bersiap, karena ini sudah di depan mata,” jelasnya dalam keterangannya, Kamis (8/10/2020).

Dwikorita menambahkan, catatan historis menunjukkan bahwa La Nina dapat menyebabkan terjadinya peningkatan akumulasi curah hujan bulanan di Indonesia 20% hingga 40% di atas normalnya, bahkan bisa lebih. Namun demikian, dampak La Nina tidak seragam di seluruh Indonesia.

"Pada bulan Oktober-November 2020, diprediksikan peningkatan curah hujan bulanan dapat terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia kecuali Sumatra. Selanjutnya, pada Desember hingga Februari 2021, peningkatan curah hujan akibat La Nina dapat terjadi di Kalimantan bagian timur, Sulawesi, Maluku-Maluku Utara dan Papua," kata dia.

Sementara itu, untuk data kejadian gempa bumi, imbuh Dwikorita, berdasarkan data monitoring kegempaan yang dilakukan BMKG, sejak tahun 2017 telah terjadi trend peningkatan aktivitas gempa bumi di Indonesia dalam jumlah maupun kekuatannya.

Kejadian gempa bumi sebelum tahun 2017 rata-rata hanya 4.000-6.000 kali dalam setahun, yang dirasakan atau kekuatannya lebih dari 5 sekitar 200-an. Namun setelah 2017, jumlah kejadian itu meningkat menjadi lebih dari 7.000 kali dalam setahun. Bahkan tahun 2018 tercatat sebanyak 11.920 kali dan tahun 2019 sebanyak 11.588 kejadian gempa.

“Ini bukan lagi peningkatan, tapi sebuah lonjakan yang cukup signifikan. Dengan data dan fakta bahwa kejadian tsunami yang terjadi di dunia sebagian besar dipicu oleh gempa bumi tektonik, tentunya trend kejadian gempa yang melonjak ini juga mengakibatkan meningkatnya potensi tsunami. Sehingga perlu diperkuat kehandalan Sistem Mitigasi gempa bumi dan Peringatan Dini Tsunami, mengingat hingga saat ini belum ada teknologi yang mampu memprediksi kapan terjadinya gempa bumi,” jelas Dwikorita.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Tsunami

Lain daripada itu, fakta menunjukkan tsunami tidak hanya dipicu oleh gempa bumi tektonik. Pada Desember 2018, terjadi peristiwa typical tsunami Selat Sunda pada 22 Desember 2018 yang diakibatkan oleh aktivitas gunung api di laut yang menurut statistik, kejadian tsunami tersebut sangatlah langka yaitu sebanyak 5% dari total kejadian tsunami di dunia.

Berdasarkan data tersebut, Dwikorita menjelaskan mitigasi serta peringatan dini gempa bumi dan tsunami serta cuaca dan iklim ekstrem merupakan hal yang mendesak untuk dipersiapkan dan diperkuat. Masalah dan gap antara pusat dan daerah harus segera diidentifikasi untuk meningkatkan efektivitas dalam mewujudkan Zero Victims .

“Sebagai contoh, pada tanggal 6 Oktober kemarin kami baru saja melaksanakan gladi evakuasi tsunami IOWave 20 yang diselenggarakan secara nasional dan internasional. Di situ teridentifikasi ternyata beberapa sirine tsunami tidak berfungsi, sementara untuk memperbaiki atau mengganti sudah tidak ada yang menyediakan suku cadangnya. Ini adalah masalah teknis atau mikro tapi dampaknya bisa besar sehingga perlu koordinasi yang lebih baik antara pusat dengan daerah, antara BNPB sebagai Koordinator dengan Kepala Daerah atau BPBD,“ tutur Dwikorita.

“Sehingga mari kita rumuskan bersama alternatif solusi dari permasalahan-permasalahan yang nanti akan teridentifikasi dan pada akhirnya akan kita rumuskan rencana aksi bersama untuk mewujudkan Zero Victims dalam menghadapi multi-bencana hidrometeorologi, gempa bumi, dan tsunami,” pungkas Dwikorita.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya