Semarang - Aksi unjuk rasa atau demo Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang berlangsung di depan Gedung DPRD Jateng, Kota Semarang, Rabu (8/10/2020), diwarnai dugaan tindakan intimidasi dari aparat kepolisian kepada sejumlah wartawan yang meliput.
Para jurnalis itu dilarang mengambil gambar maupun merekam video aksi penangkapan para pendemo yang diduga melakukan tindakan anarkistis.
Baca Juga
Advertisement
Seorang wartawan dari media online nasional, Suara.com, DY, membenarkan tindakan intimidasi dari aparat kepolisian itu. Ia diminta menghapus rekaman video saat aparat melakukan penangkapan yang disertai pemukulan terhadap pendemo yang diduga masih berstatus pelajar.
“Saya diminta menghapus videonya. Mereka mengerubungi saya dan memerintahkan untuk menghapus. Ada sekitar 15-an orang yang meminta,” ujar DY kepada Semarangpos.com, Kamis (8/10/2020).
DY tidak sendirian mendapat intimidasi. Sejumlah wartawan yang meliput aksi penolakan Omnibus Law juga mendapat perlakuan sama.
Intimidasi terhadap wartawan itu terjadi sesaat setelah polisi membubarkan aksi massa dengan menembakan gas air mata dan water canon. Massa yang berhamburan lantas dikejar aparat kepolisian ke berbagai arah.
Simak Video Pilihan Berikut Ini:
Respons AJI Semarang
Upaya pengejaran itu pun berhasil. Sejumlah pendemo berhasil ditangkap dan digiring masuk ke dalam Gedung DPRD Jateng. Saat proses penangkapan, sejumlah wartawan mencoba mengabadikan momen tersebut. Namun, polisi melarang wartawan merekam aksi dalam bentuk video maupun foto.
“Ngapain kamu merekam-rekam. Hapus!,” ujar seorang aparat kepada seorang jurnalis yang sedang merekam penangkapan terhadap pendemo.
Ketua Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Semarang, Edi Faisol, menyayangkan aksi intimidasi terhadap wartawan dari aparat kepolisian. Ia menilai tindakan itu melanggar UU No.40/1999 tentang Pers.
“Jurnalis itu profesi yang mulia karena memberikan kabar dan fakta ke publik tentang apa yang terjadi di lapangan. Ketika kerja jurnalis dihalangi itu berarti melanggar UU Pers. Negara harusnya melindungi kerja jurnalis karena sudah diatur UU,” ujar Edi di Sekretariat AJI Semarang, Kamis.
Edi mengatakan seharusnya polisi memiliki kecerdasan dalam menilai mana jurnalis dan pendemo. Polisi harusnya bisa membedakan antara pendemo dan jurnalis yang sedang bekerja. “Saya rasa ada motif menghalang-halangi kerja jurnalis karena adanya potensi pelanggaran HAM,” imbuh Edi.
Edi pun mengajak para wartawan yang merasa mendapat tindakan intimidasi dari aparat kepolisian saat demo Omnibus Law UU Cipta Kerja di Semarang untuk melapor. Terlebih lagi, informasi yang diperolehnya ada juga wartawan yang tak hanya diintimidasi tapi juga dipukul.
“Kami dari AJI Semarang siap mendampingi secara hukum aduan dari teman-teman wartawan. Kita harus proses kasus ini hingga ke ranah hukum. Wartawan adalah profesi yang mulia dan patut dihargai,” tegas Edi.
Dapatkan berita menarik Solopos.com lainnya, di sini:
Advertisement