Penelitian: 55 Persen Anggota DPR Pengusaha, Potensi Konflik Kepentingan Besar

Para pebisnis dinilai sengaja menduduki kursi DPR agar memiliki pengaruh dalam penyusunan kebijakan bersama pemerintah.

oleh Athika Rahma diperbarui 09 Okt 2020, 17:00 WIB
Fraksi Partai Demokrat Marwan C.A memberikan pendapat akhir partainya kepada Ketua DPR Puan Maharani disaksikan Wakil Pimpinan DPR Azis Syamsuddin, Sufmi Dasco Ahmad, dan Rachmad Gobel saat Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta (5/10/2020). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Belakangan, masyarakat menyuarakan ketidakpuasannya terhadap kebijakan dan regulasi pemerintah yang dianggap kontroversial dan tidak pro-rakyat. Mereka menganggap, undang-undang yang disusun pemerintah beserta DPR hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja, utamanya para pemilik modal di Tanah Air.

Para pebisnis dinilai sengaja menduduki kursi parlemen agar memiliki pengaruh dalam penyusunan kebijakan bersama pemerintah. Benarkah faktanya demikian?

Penelitian Marepus Corner bertajuk 'Peta Pebisnis di Parlemen: Potret Oligarki di Indonesia' menemukan, sebanyak 55 persen anggota DPR merupakan pengusaha yang tersebar di berbagai sektor.

"Data yang kami ambil sesuai pergantian waktu yang baru-baru ini kami lakukan, total pebisnis meningkat jadi 318 orang, 5 sampai 6 orang dari 10 anggota DPR adalah pebisnis," ujar Peneliti P2P LIPI sekaligus Pegiat Marepus Corner Defbry Margiansyah, Jumat (9/10/2020).

Sebanyak 26 persen pebisnis tersebut merupakan pemilik atau owner perusahaan, dan 25 persen menjabat sebagai direktur atau wakil direktur. Kemudian, 36 persennya masih aktif dalam melakukan kegiatan berusaha.

Persentase pebisnis terbanyak berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yaitu 23 persen, diikuti Partai Gerindra sebesar 16 persen dan Partai Golkar sebesar 16 persen.

"Dari 11 komisi DPR, kita lihat 8 komisi memiliki anggota dengan jumlah pebisnis lebih banyak daripada jumlah non pebisnisnya," ungkapnya.

Dia melanjutkan, secara sektoral, para pebisnis tersebut berkecimpung paling banyak di sektor energi dan migas (15 persen) serta teknologi, industri, manufaktur dan ritel (15 persen). Sisanya, tersebar di sektor developer dan kontraktor (12 persen), sektor perkebunan, perikanan dan peternakan (11 persen) hingga keuangan dan perbankan (6 persen).

"Melihat komposisi itu bayang-bayang konflik kepentingan agak susah kita hindari," jelasnya.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:


Potensi konflik Kepentingan

Sejumlah menteri kabinet Indonesia Maju foto bersama Pimpinan DPR usai pengesahan UU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta (5/10/2020). Rapat tersebut membahas berbagai agenda, salah satunya mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU. (Liputan6.com/JohanTallo)

Dalam argumentasi awal, Defbry menyatakan potensi konflik kepentingan ini semakin tinggi dengan adanya keterkaitan antara bidang usaha yang dimiliki dan penempatan komisi pebisnis di DPR.

"Hal ini mengindikasikan kerentanan agenda kerja komisi terhadap bisnis tertentu, terlebih absennya aturan yang mengatur penempatan anggota di komisi," katanya.

Dominasi pebisnis di DPR juga berpotensi mengukuhkan konsentrasi kekuasaan oligarki dalam pembuatan kebijakan, yang ujungnya membuat agenda politik demokratis berbasis nilai semakin sulit diperjuangkan di parlemen.

"Produk kebijakannya pun menitiberatkan pada kepentingan ekonomi bisnis dan cenderung mengabaikan aspek keadilan sosial, lingkungan, termasuk partisipasi publik yang inklusif," katanya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya