Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal III-2020 mengalami kontraksi di rentang minus 2,9 persen hingga minus 1 persen. Dengan proyeksi itu, maka Indonesia dipastikan mengalami resesi pada kuartal III-2020.
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), Teten Masduki, mengharapkan meski terjadi kontraksi pertumbuhan ekonomi setidaknya masih lebih rendah dari kuartal II-2020. Di mana pertumbuhan pada periode April-Juni itu mengalami perlambatan hingga minus 5,32 persen.
Advertisement
"Kita berharap di kuartal ketiga ini kontraksi ekonomi tidak terlalu tajam, walaupun begitu dari berbagai sumber para pengamat ekonomi termasuk juga riset-riset dari berbagai lembaga memang situasi sekarang ini tidak mudah," kata dia saat menjadi pembicara di High Level Seminar: Peran Serta Pengusaha Nahdliyyin dalam Revitalisasi Ekonomi Nasional, Jakarta, Jumat (9/10).
Teten menyadari, pemerintah perlu mempersiapkan diri menghadapi segala situasi terjadi dalam jangka panjang. Bahkan, segenap upaya tengah dilakukan. Termasuk menghadirkan vaksin, agar segera mengatasi Covid-19 di Tanah Air.
"Tentu kita berharap di kuartal I tahun depan ekonomi sudah mulai membaik karena itu saya kira penting kita untuk bagaimana bisa segera mengatasi Covid-19 kuncinya," kata dia.
Jika Covid-19 bisa dikendalikan, maka seluruh kegiatan ekonomi bisa kembali dibuka. Mulai dari kegiatan industri, perkantoran, sekolah, dan sebagiannya. Dengan begitu diharapkan dapat kembali mendorong pertumbuhan ekonomi domestik.
Dwi Aditya Putra
Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Minus, Tak Ada Kenaikan UMP di 2021?
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menegaskan meskipun omnibus law UU Cipta Kerja telah disahkan pada Senin 5 Oktober 2020 lalu, pengaturan dan penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) di 2021 masih mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 78 tahun 2015 tentang pengupahan.
“Nah, terkait dengan upah minimum tahun 2021. Saya kira kalau kita sementara ini acuan tentang penetapan upah minimum itu adalah berdasarkan PP 78 tahun 2015,” kata Ida dikutip dari keterangannya, Jumat (9/10/2020).
Kata Ida, seharusnya pengaturan UMP 2021 tidak lagi mengikuti PP Nomor 78 tahun 2015, lantaran ada pengaturan bahwa dalam kurun waktu 5 tahun akan ada peninjauan Komponen Hidup Layak (KHL) yang jatuhnya pada tahun 2021.
“Memang ada perubahan komponen komponen KHL untuk tahun 2021 ini,” ujarnya.
Apalagi di masa pandemi covid-19 ini pertumbuhan ekonomi Indonesia minus hingga -5,32 persen. Maka dari itu, Ida mengatakan kemungkinan penetapan UMP tidak akan naik sebagaimana mestinya, dikarenakan kondisi perekonomian tanah air ini yang belum kondusif.
“Namun demikian kita semua tahu akibat dari pandemi Covid-19 ini pertumbuhan ekonomi kita minus. Saya kira tidak memungkinkan bagi kita menetapkan secara normal sebagaimana Peraturan Pemerintah maupin sebagaimana undang-undang peraturan perundang-undangan,” jelasnya.
Ia mengaku mendapatkan saran dari Dewan Pengupahan Nasional, terkait naik tidaknya UMP 2021. Sarannya yakni jika Kementerian ketenagakerjaan memaksakan menaikkan atau mengikuti PP 78 tahun 2015, maka akan banyak perusahaan yang tidak mampu membayar UMP.
“Kami mendapatkan saran dari dewan pengupahan nasional yang saran ini akan menjadi acuan bagi kami menteri untuk menetapkan upah minimum tahun 2021, karena kalau kita paksakan mengikuti PP 78 atau mengikuti undang-undang baru ini pasti akan banyak sekali perusahaan perusahaan yang tidak mampu membayar upah minimum provinsi,” ungkapnya.
Sementara rekomendasi yang diberikan oleh Dewan Pengupahan Nasional adalah kembali pada UMP tahun 2020, yakni besaran kenaikan upah dihitung berdasarkan besaran pertumbuhan ekonomi ditambah dengan inflasi.
“Tapi nanti pasti kami akan aktif, karena kami akan mendengarkan sekali lagi dewan pengupahan nasional,” pungkasnya.
Advertisement