Rawan Covid-19, Bank Dunia Batasi Karyawan di Kantor Jakarta Maksimal 10 Persen

Bank Dunia membatasi jumlah total karyawan yang masuk atau bekerja di kantor pusat Jakarta.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 09 Okt 2020, 16:20 WIB
Pekerja berjalan usai bekerja perkantoran di kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Kamis (16/4/2020). Pemprov DKI Jakarta akan memberikan saksi berupa mencabut perizinan perusahaan yang tetap beroperasi di masa PSBB kecuali delapan sektor yang memang diizinkan. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - World Bank atau Bank Dunia menilai, wabah pandemi virus corona (Covid-19) saat ini berada pada situasi rawan. Oleh karenanya, pihak lembaga masih membatasi jumlah karyawan yang datang ke kantornya, termasuk di Indonesia.

Senior Public Sector Management Specialist Bank Dunia, Erwin Ariadharma mengatakan, pihaknya memandang kondisi di Jakarta masih di tier 3, dan masih jauh dari situasi new normal versi mereka.

"Karena kami masih tier 3, terus terang kami masih belum bisa lakukan physical (contact), face to face meeting dengan government, dan juga kami juga tidak bisa melakukan mission secara pergerakan," ujarnya dalam sesi webinar, Jumat (9/10/2020).

Berkaca pada situasi tersebut, Erwin menjelaskan, Bank Dunia membatasi jumlah total karyawan di kantor pusat Jakarta maksimal 10 persen. Jika harus ke kantor, maka pekerja tersebut juga harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.

"Kalau katakan Bank Dunia di Jakarta ada 300 orang (pekerja), berarti maksimalnya masih boleh 30 (orang datang ke kantor). Tapi karena ada recent situation, and then we put a lot of consideration, jadi kita hanya per day allowing maksimum not more than 10 percent," bebernya.

"Itu pun kami harus mengisi form secara aplikasi elektronik untuk disetujui. Karena kami tidak boleh ada apapun kasus covid-19 di paper kami," dia menambahkan.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


WFH

Namun demikian, Erwin bercerita, beban tugas yang diberikan kantornya selama work from home (WFH) justru terasa lebih berat dan banyak.

"Memang secara duration of work, kami dari pagi sampai sore kami butuh fokus kerja dan sebagainya. Sehingga secara efektivitas dan productivity terasa lebih tinggi ketimbang sebelum Covid-19," ungkap dia.

Begitu pun dari sisi pengeluaran. Dia menilai sistem WFH bisa menguras kocek para pekerja untuk hal-hal yang sebenarnya bukan prioritas utama.

"Mungkin untuk biaya transport, makan dan sebagainya itu bisa dilimpahkan buat yang lain. Tapi kita harus hati-hati juga, karena kalau kita belanja, shoping itu kita bisa enggak tahan sehingga pengeluaran bisa lebih," tukas dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya