Jumlah Perokok Anak di Indonesia Meningkat, Iklan Jadi Faktor Pemicu

Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas) menyebut jumlah perokok anak usia 10-18 tahun terus meningkat dari 7,2% pada 2013 menjadi 9,1% atau sekitar 3,2 juta (Riskesdas 2018).

oleh Liputan6.com diperbarui 09 Okt 2020, 22:59 WIB
Ilustrasi Rokok (Ist)

Liputan6.com, Jakarta - Jumlah perokok anak di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pemerintah diminta semakin tegas meredam peningkatan jumlah perokok anak dengan aturan-aturan yang sudah ada.

Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas) menyebut jumlah perokok anak usia 10-18 tahun terus meningkat dari 7,2% pada 2013 menjadi 9,1% atau sekitar 3,2 juta (Riskesdas 2018). Padahal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019 menargetkan perokok anak harusnya turun menjadi 5,4% pada 2019.

Data ini menunjukkan bagaimana pemerintah belum berhasil mengendalikan konsumsi rokok dan menurunkan prevalensi perokok anak. Kenaikan prevalensi perokok anak salah satunya didorong faktor iklan, promosi dan sponsor rokok yang sangat massif. Selain itu, akses rokok juga sangat mudah karena harganya murah, dijual per batang dan dapat dibeli di mana-mana.

Berbagai studi menunjukkan terpaan iklan, promosi dan sponsor rokok sejak usia dini meningkatkan persepsi positif dan keinginan untuk merokok. Studi Uhamka 2007 menunjukkan, 46,3% remaja mengaku iklan rokok mempengaruhi mereka untuk mulai merokok. Studi Surgeon General menyimpulkan iklan rokok mendorong perokok meningkatkan konsumsinya dan mendorong anak-anak untuk mencoba merokok serta menganggap rokok adalah hal yang wajar (WHO 2009).

Hasil monitoring iklan rokok yang dilakukan Yayasan Lentera Anak, SFA dan YPMA di 5 kota pada 2015 menemukan 85% sekolah dikelilingi iklan rokok. Pemantauan yang dilakukan Forum Anak di 10 kota pada 2017 menunjukkan ada 2.868 iklan, promosi, dan sponsorship rokok. Di satu sisi anak dan remaja dikepung iklan, promosi dan sponsor rokok yang massif, di sisi yang lain peraturan yang melindungi anak dari rokok sangat lemah.

Indonesia sebenarnya sudah memiliki peraturan yang bertujuan mengendalikan konsumsi rokok, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan atau PP 109/2012. Pemerintah diminta memberikan sanksi tegas, di mana hal itu tidak ada dalam PP 109/2012.

Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey 2019, sebanyak 19,20% pelajar adalah perokok aktif, dan sebanyak 65,2% pelajar melihat iklan rokok di tempat penjualan. Di samping itu, ada 60,9% pelajar melihat iklan rokok di luar ruang, ada 56,8% pelajar melihat iklan rokok di televisi, dan sebanyak 36,2% pelajar melihat iklan rokok di internet. Yang menyedihkan, ada sebanyak 60,6% pelajar tidak dicegah ketika membeli rokok, dan ada 71% pelajar membeli rokok batangan.

Pemerintah sejatinya tidak berpangku tangan menghadapi kegagalan meredam kenaikan perokok anak. Pada Februari 2020, Presiden sudah mengeluarkan Perpres No. 18/2020 tentang RPJMN 2020-2024. Di mana strategi dan arah kebijakan RPJMN 2020-2024 adalah melarang total iklan dan promosi rokok untuk menargetkan prevalensi perokok anak turun menjadi 8,7% pada 2024.

Saksikan Video di Bawah Ini


Inisiatif Pemda

Ratusan batang rokok. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Komitmen presiden untuk menurunkan prevalensi perokok anak semestinya didukung semua pihak, termasuk pemerintah daerah. Fakta di lapangan menunjukkan sudah ada beberapa pemerintah daerah memulai inisiatif melarang iklan rokok untuk melindungi anak-anak menjadi perokok.

Ketua Lentera Anak, Lisda Sundari, menyatakan hingga Mei 2020 ada 16 kota/kabupaten yang telah melarang IPS rokok melalui berbagai peraturan. Adapun aturan tersebut mulai dari surat himbauan, surat instruksi, Peraturan Bupati, Peraturan Walikota hingga Peraturan Daerah.

"Beberapa Pemda seperti Bogor, Sawahlunto dan kabupaten Banggai berinisiatif melarang iklan rokok dalam ruang dan melarang display atau memajang rokok di tempat penjualan untuk melindungi anak dari target industri rokok dan mencegah mereka menjadi perokok pemula," kata Lisda. Kota Padang dan Depok malah melakukan revisi terhadap Perda KTR untuk memasukkan pasal tentang pelarangan iklan rokok.

Wali kota Bogor Bima Arya mengaku, sangat penting bagi pemerintah daerah melakukan pemetaan seberapa besar kontribusi reklame rokok terhadap seluruh pendapatan pajak daerah.

"Di Bogor, pendapatan pajak reklame hanya menyumbang 1,8% hingga 2,1% terhadap seluruh pendapatan pajak di Kota Bogor. Sehingga masih banyak sekali potensi pendapatan pajak di luar reklame rokok yang bisa dioptimalkan," ucap dia.

Di Bogor, jumlah reklame rokok berkurang dari 382 iklan pada 2008 menjadi nol pada 2013. Namun hal itu tidak malah membuat PAD Kota Bogor meningkat dari Rp97,73 miliar pada 2008 menjadi Rp913,39 miliar pada 20018. Hal ini karena Bapenda Bogor aktif mencari langkah-langkah progresif untuk merealisasikan terget penerimaan pajak. Di mana penerimaan pajak Kota Bogor didominasi sembilan sektor, yaitu pajak hotel/restoran, hiburan, reklame, penerangan jalan, pajak parkir, air tanah, pajak bumi dan bangunan (PBB) serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB).


Rp 5 Miliar untuk Rokok Setahun

Sejumlah pelajar menunjukan spanduk saat menggelar aksinya di depan Istana Presiden, Jakarta, Sabtu (25/2). Mereka meminta kepada Presiden Jokowi agar sama-sama melawan perusahaan rokoknya yang menargetkan para pelajar. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Wali Kota Sawahlunto Deri Asta mengatakan, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, telah lama memberlakukan regulasi tentang kawasan tanpa rokok (KTR). Peraturan daerah (Perda) Nomor 3 tahun 2014 itu berkomitmen mengamankan anak-anak dari paparan rokok yang merupakan zat adiktif berbahaya. Berdasarkan survei pada 2014, perilaku hidup bersih dan sehat rumah tangga di Sawahlunto masih rendah atau 31,4%.

Ironisnya, kota berpenduduk sekitar 66.000 tersebut, ternyata angka perputaran uang untuk pembelian rokok selama satu tahun bisa mencapai Rp5 miliar. Dari data survei itu, Pemerintah Kota (Pemkot) Sawahlunto membuat Perda KTR untuk menurunkan jumlah perokok aktif, sekaligus meminimalisir geliat iklan rokok. Di sisi lain, Pemkot Sawahlunto juga melarang reklame rokok dengan mengeluarkan Peraturan Walikota (Perwako) Nomor 70 Tahun 2019.

"Ini ke depan perlu evaluasi lagi. Kalau masih kurang kami bisa mengajukan Perda khusus untuk regulasi rokok di Kota Sawahlunto, tetapi langkah ini sudah sangat tepat sekali,” papar Deri.

Berkat regulasi ini, Kota Sawahlunto telah menggaet penghargaan dari Pemerintah Pusat sebagai kota layak anak tingkat Nindya pada 2019. Menurut Deri, kebanyakan yang tidak setuju dengan regulasi ini hanya pemilik toko atau warung.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya