Liputan6.com, Jakarta - Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin mengatakan, enam jurnalis yang sempat diamankan di Polda Metro Jaya saat demo penolakan Omnibus Law Cipta Kerja telah dibebaskan. Mereka dibebaskan pada Jumat malam 9 Oktober 2020.
"Benar, semalam sekira 20.30 malam," ujar Ade saat dihubungi Liputan6.com, Sabtu (10/10/2020).
Advertisement
Ade menyebut, kondisi mereka saat dibebaskan dalam keadaan baik. Namun, dua dari enam jurnalis tersebut terluka di beberapa bagian tuhuhnya.
"Pertama Ponco dari merahputih.com itu mukanya luka dan bagian perut memar akibat benda tumpul. Kedua Aldi dari Radar Depok itu kena pukulan di bibirnya sehingga bibirnya luka," jelas Ade.
Ade menambahkan, status bebasnya enam jurnalis ini adalah bebas murni. Artinya, mereka tidak terjerat pasal apa pun dan tidak ada kewajiban apa pun setelah proses penahanan kemarin.
"Tapi jika mereka ingin melakukan gugatan karena tidak terima atas perlakuan yang menyebabkan luka, atau sebagainya, bisa saja. Dan kami siap mendampingi. Namun sampai sekarang belum ada pengajuan dari pihak prinsipal atau korbannya belum," tandas Ade.
Enam jurnalis yang dibebaskan pada Jumat malam 9 Oktober adalah 1 dari merahputih.com, 1 orang dari Radar Depok, 2 orang dari Berdikari, dan 2 orang dari NTMC Polri. Mereka diamankan dan ditahan polisi di Polda Metro Jaya karena diduga terlibat aksi mengganggu keamanan dan ketertiban selama demonstrasi menolak disahkannya RUU Cipta Kerja di Jakarta.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Penjelasan Polri Terkait Dugaan Kekerasan pada Jurnalis yang Meliput Demo
Sejumlah awak media peliput aksi unjuk rasa memprotes RUU Cipta Kerja diduga mengalami kekerasan oleh aparat Kepolisian. Terkait hal ini Polri angkat bicara.
Menurut Kadiv Humas Polri Irjen Raden Prabowo Argo Yuwono, pihaknya selalu menjaga para jurnalis. Namun, keadaan yang memanas di lokasi membuat petugasnya mempertahankan diri.
"Kita memang harus jujur mengakui bahwa kita sebetulnya melindungi wartawan ya, tapi ketika situasinya chaos, anarkis, kadang anggota pun melindungi dirinya sendiri," tutur Argo di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (9/10/2020).
Menurut Argo, perlu adanya komunikasi di awal saat melakukan peliputan aksi unjuk rasa. Hal itu dapat mencegah terjadinya kesalahpahaman antara aparat dan wartawan.
"Tentunya kita bisa saling komunikasi di lapangan, menunjukkan identitas jelas, nanti bisa terlindungi oleh teman-teman anggota. Sampaikan saja saya wartawan, saya meliput, kan tidak mungkin juga di depan anggota lempar-lemparan ya, di belakang biar terlindungi oleh anggota itu sendiri," jelas Argo.
Jurnalis CNNIndonesia.com atas nama Thohirin mengaku mengalami kejadian tidak menyenangkan itu di kawasan Jalan Jendral Sudirman, Jakarta. Saat peliputan, polisi merampas ponsel miliknya dan membantingnya.
Thohirin yang mengenakan identitas pers berikut rompi khusus wartawan pun tidak habis pikir. Kepalanya juga dipukul, meski mengenakan helm pelindung.
"Jangan mentang-mentang wartawan. Kerja yang benar," kata Thohirin menirukan ucapan petugas, Jumat (9/10/2020).
Selain Thohirin, jurnalis Suara.com atas nama Peter Rotti juga mengalami kekerasan dari aparat kepolisian di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Peristiwa itu terjadi sekitar pukul 18.00 WIB, saat dirinya merekam video sejumlah polisi yang mengeroyok seorang peserta aksi di sekitar Halte Transjakarta Bank Indonesia.
Saat itu, dia berdua dengan rekannya yang juga videografer atas nama Adit Rianto S, melakukan live report via akun YouTube.
Polisi yang melihat Peter sedang merekam langsung menghampirinya disusul enam anggota Brimob. Mereka meminta kamera Peter, namun ditolak sambil menjelaskan bahwa dirinya adalah jurnalis yang sedang meliput.
Peter mengatakan, petugas memaksa dan berusaha merampas kameranya. Akhirnya dia menawarkan akan menghapus video aksi kekerasan aparat polisi terhadap seorang peserta aksi saja. Namun, petugas tetap bersikukuh dan merampas kamerana.
"Saya sudah jelaskan kalau saya wartawan, tetapi mereka tetap merampas dan menyeret saya. Tadi saya sempat diseret dan digebukin, tangan dan pelipis saya memar," kata Peter.
Setelah merampas kamera, lanjutnya, memori yang berisikan rekaman peliputan aksi unjuk rasa mahasiswa dan pelajar di sekitar Patung Kuda, Jakarta itu diambil.
"Kamera saya akhirnya kembalikan, tetapi memorinya diambil sama mereka," Peter menandaskan.
Advertisement