Serikat Pekerja Sebut Sistem Pesangon di UU Cipta Kerja Tak Masuk Akal

KSPI mempertanyakan pengurangan nilai pesangon yang tercantum dalam Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 10 Okt 2020, 14:00 WIB
Presiden KSPI Said Iqbal dalam diskusi publik bertajuk “Partai Politik Buruh, Melawan Arus Deparpolisasi” di Jakarta, Kamis (28/4). Diskusi membahas wacana berdirinya partai politik sebagai alat politik perjuangan buruh. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPI) mempertanyakan pengurangan nilai pesangon yang tercantum dalam Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja. Adapun dalam aturan tersebut, dituliskan uang pesangon bagi pegawai akan mengerucut dari 32 kali menjadi 25 kali.

Pembayaran uang pesangon sebanyak 25 kali tersebut bakal dilakukan oleh pemberi kerja dan BPJS Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek. Dengan rincian, sebanyak 19 kali ditanggung oleh pemberi kerja, sementara 6 kalinya (cash benefit) diberikan melalui program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang dikelola melalui BPJS Ketenagakerjaan.

Presiden KSPI Said Iqbal mengaku heran dengan sistem baru ini. Menurutnya, pembayaran uang pesangon yang turut melibatkan BPJS Ketenagakerjaan merupakan suatu hal di luar nalar.

"Ketentuan mengenai BPJS Ketenagakerjaan yang akan membayar pesangon sebesar 6 bulan upah tidak masuk akal. Dari mana sumber dananya? Pengurangan terhadap nilai pesangon, jelas-jelas merugikan kaum buruh," cibirnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (10/10/2020).

Selain itu, Iqbal menilai aturan pembayaran uang pesangon di UU Cipta Kerja juga tidak jelas berapa besarannya, apakah sebanyak 6 kali atau 6 bulan.

"Lagipula masih belum jelas, yang oleh JKP itu 6 kali atau 6 bulan, karena kami tidak menemukan hal ini dalam Omnibus Law. Di mana bisa saja besarnya hanya sekian ratus ribu rupiah selama 6 kali," ungkapnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Alasan DPR

Sejumlah menteri kabinet Indonesia Maju foto bersama Pimpinan DPR usai pengesahan UU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta (5/10/2020). Rapat tersebut membahas berbagai agenda, salah satunya mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU. (Liputan6.com/JohanTallo)

Sebelumnya, DPR RI sempat melontarkan alasan mengapa nilai pesangon buruh dikurangi dari 32 kali menjadi 25 kali.

Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin mengutarakan, jika menengok pelaksanaan pembayaran sebanyak 32 kali seperti yang diatur dalam UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, hanya 7 persen perusahaan yang patuh memberikan pesangon sesuai ketentuan tersebut.

Oleh karenanya, ia menilai, pekerja selama ini nyatanya tidak diberi kepastian mengenai besaran pesangon yang diterima. Selain itu, ia menyatakan, angka pesangon yang tinggi tersebut turut berdampak pada lemahnya minat investasi ke Indonesia.

"Jumlah besaran pesangon yang sangat tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain menimbulkan keengganan investor untuk berinvestasi di Indonesia karena tingginya beban biaya perusahaan," jelasnya kepada Liputan6.com beberapa waktu lalu.

Aziz pun memberikan perhatian khusus pada program JKP yang akan dilaksanakan BPJS Ketenagakerjaan. Menurut dia, skema baru terkait jaminan ketenagakerjaan ini tidak akan mengurangi manfaat dari berbagai jaminan sosial lainnya. Seperti Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun.

"JKP tidak menambah beban bagi pekerja/butuh. Program JKP selain memberikan manfaat cash benefit juga memberikan manfaat lainnya yaitu peningkatan skill dan keahlian melalui pelatihan serta akses informasi ketenagakerjaan," ujar dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya